December 30, 2018

REVIEW : ASAL KAU BAHAGIA


“Jadi selama ini kamu menderita ya pura-pura cinta sama aku? Kenapa kamu nggak jujur aja kalau kamu nggak bahagia sama aku?” 

Apabila kamu cukup rutin mengikuti perkembangan musik tanah air, rasa-rasanya mustahil tidak mengenali tembang Asal Kau Bahagia yang dibawakan oleh Armada. Betapa tidak, ini adalah salah satu tembang paling populer sepanjang tahun 2017 lalu. Liriknya yang memperbincangkan tentang ketidaksetiaan dalam hubungan asmara menempatkannya sebagai anthem galau bagi kawula muda. Kamu akan mendapati lagu ini diperdengarkan di berbagai tempat: radio, kafe, sampai pusat perbelanjaan. Bahkan, official lyric video dari Asal Kau Bahagia telah ditonton lebih dari 200 juta kali sejak pertama kali diunggah di Youtube pada bulan Februari setahun silam (!). Sebuah pencapaian yang tergolong fantastis untuk ukuran lagu Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian rumah produksi Falcon Pictures bergerak cepat untuk memboyongnya ke dalam format film layar lebar – mengikuti jejak Surat Cinta Untuk Starla (2017) yang versi lagunya meledak di waktu bersamaan – dengan menempatkan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Teman Tapi Menikah) di kursi penyutradaraan. Yang kemudian menarik perhatian adalah interpretasi terhadap lirik lagu tersebut dikembangkan menjadi tontonan percintaan berselimutkan elemen fantasi yang mengulik soal out-of-body experience. Satu plot yang sejatinya sudah cukup umum dalam genre drama romantis sehingga tak salah kalau kamu mendadak teringat kepada Just Like Heaven (2005), Langit ke 7 (2012), atau If I Stay (2014). 

December 29, 2018

REVIEW : MARY POPPINS RETURNS


“Everything is possible, even the impossible.” 

“What a lovely movie!” adalah komentar pertama yang meluncur dari mulut selepas menyaksikan Mary Poppins Returns di bioskop. Memang betul film arahan Rob Marshall (Chicago, Into the Woods) ini cenderung menyerupai remake dari Mary Poppins (1964) ketimbang sekuel dengan sederet adegan kentara mereplika film terdahulu, tapi pendekatan tersebut bukanlah suatu kesalahan. Para penggemar akan menghirup aroma nostalgia sementara mereka yang sama sekali asing dengan karakter rekaan P.L. Travers ini tidak akan tersesat saat mencoba menontonnya. Saya pribadi tidak menyalahkan keputusan Walt Disney Pictures dalam menyalurkan narasi dengan cara seperti ini, toh si pembuat film sanggup melakukannya. Sanggup menangkap sisi magis dari film pertama yang kini bersatus sebagai film klasik. Jadi, apa yang harus dikeluhkan? Tidak, tidak ada. Mary Poppins Returns memberikan salah satu pengalaman terbaik bagi saya dalam menonton film di layar lebar tahun ini. Ada begitu banyak kebahagiaan, ada begitu banyak keceriaan, dan tidak tersedia kesempatan untuk bersungut-sungut. Selama durasi mengalun yang merentang hingga 130 menit, Mary Poppins Returns mengingatkan penonton dengan pesan lawas tapi tetap relevan sampai kapanpun: jangan pernah melupakan jiwa kanak-kanakmu. Karena jiwa kanak-kanak inilah yang akan menjagamu untuk tetap berpikir dan bersikap positif ditengah situasi dunia yang kian tak bersahabat. 

December 20, 2018

REVIEW : BUMBLEBEE


“The darkest nights, produce the brightest stars.” 

Saat franchise Transformers disebut, apa yang pertama kali terlintas di benakmu? Pertarungan antar robot yang gegap gempita kah? Atau karakter-karakternya semacam Optimus Prime dan Bumblebee? Atau efek khususnya yang mencengangkan mata? Atau malah justru suasananya yang begitu riuh sampai-sampai telinga pengang lantaran berisiknya minta ampun? Bagi saya, franchise yang diinisiasi oleh Michael Bay ini hanya memunculkan satu ingatan: tontonan blockbuster yang meriah dari segi tampilan, tapi nihil kandungan gizi. Pokoknya “tarung, tarung, tarung” lalu “ledak, ledak, ledak” sementara narasi tidak memiliki urgensi lantaran hanya dimanfaatkan untuk menjustifikasi keberadaan sekuens laga. Untuk sesaat sih memang seru ya, cuma untuk jangka waktu panjang ini terasa melelahkan. Itulah mengapa satu-satunya seri yang meninggalkan kesan diantara lima instalmen adalah Transformers jilid awal (2007), sementara sisanya saya bahkan tidak bisa mengingat guliran penceritaannya seperti apa kecuali diberi contekan. Mirip semua sih! Saya pun sejatinya sudah hilang harapan pada franchise ini hingga mencapai titik melontarkan satu pertanyaan bernada skeptis, “apakah masih mungkin bagi Transformers untuk memiliki satu seri saja yang bagus?.” Seolah rajukan ini didengar, pihak studio pun menelurkan sebuah spin-off bertajuk Bumblebee yang menaruh perhatian serius pada narasi dan mengaplikasikan gaya pengisahan berbeda. Tentu saja saya seketika mempertimbangkan ulang keragu-raguan ini karena mereka berhasil membuktikan bahwa kemungkinan tersebut masih ada.

December 18, 2018

REVIEW : MILLY & MAMET (INI BUKAN CINTA & RANGGA)


“Kalau orang cari suami yang ganteng, aku mah cari yang baik.” 

“Aku nggak jelek-jelek amat kaliii…” 

Saat menonton Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016), diri ini setengah terkaget-kaget. Lho kok Milly (Sissy Prescillia) bisa menikah dengan Mamet (Dennis Adhiswara)? Gimana ceritanya dua manusia paling polos dalam semesta Ada Apa Dengan Cinta? Ini bisa menjalin asmara? Apabila kamu mengikuti kisahnya Cinta (Dian Sastrowardoyo) and the gang sejak awal mula, tentunya tahu kalau Mamet naksir berat dengan si pentolan geng – meski kita semua sadar, keduanya mustahil bersatu. Kamu juga tentu tahu kalau Milly sering sengak kepada Mamet yang dianggapnya bloon nan ngerepotin. Bahkan, hingga insiden merebut mobil Mamet demi mengantarkan Cinta ke bandara, percik-percik asmara diantara keduanya pun tak tampak. Lalu, apa yang akhirnya membuat mereka saling taksir, lalu menikah dan punya anak? Subplot yang menggelisahkan para penggemar berat ini tetap dibiarkan menjadi misteri hingga ujung durasi film kedua oleh Riri Riza selaku sutradara sekaligus penulis skenario. Penonton dibebaskan menerka-nerka dengan imajinasinya sendiri sampai kemudian Miles Films mengajak tandem Starvision untuk mengkreasi sebuah spin-off atau film sempalan yang meletakkan fokusnya pada kehidupan personal dua sejoli lucu ini. Bukan lagi Rudi Soedjarwo, bukan pula Riri Riza, Mira Lesmana si produser justru merekrut Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Susah Sinyal) untuk menggarap film bertajuk Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) yang muatan komedinya begitu kental ini. Yaaa… sejalan dengan pembawaan dua karakter tituler yang jauh dari kesan serius dan keahlian sang sutradara lah. 

December 17, 2018

REVIEW : SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE

 

“One thing I know for sure. Don’t do it like me, do it like you.” 

Hanya dalam kurun waktu satu dekade, publik telah mendapatkan setengah lusin film (!) mengenai karakter superhero milik Marvel Comics, Spider-Man, yang terbagi ke dalam tiga semesta penceritaan. Yang pertama tergabung dalam trilogi gubahan Sam Raimi dengan Tobey Maguire sebagai bintang utamanya, lalu yang kedua adalah reboot pertama yang memosisikan Andrew Garfield di garda terdepan, dan yang terakhir adalah reboot kedua yang diniatkan sebagai bagian dari Marvel Cinematic Universe. Ketiga-tiganya memiliki karakter sentral serupa yakni Peter Parker dan jilid pertama dari ketiga franchise ini pun mempunyai origin story kurang lebih senada (perbedaan paling mencolok ada pada usia) sehingga muncul sekelumit pengharapan: tolong, jangan ada reboot lagi! Di saat saya – dan mungkin jutaan penonton lain – telah puas dengan keberadaan Spider-Man: Homecoming (2017) yang mengenalkan kita pada Tom Holland, Sony Pictures selaku pemilik hak cipta untuk adaptasi superhero ini membuat pengumuman mengejutkan. Kita akan mendapatkan versi layar lebar lain yang menyoroti sepak terjang Spidey dalam memberangus kejahatan. Untuk sesaat diri ini ingin berteriak, “whaaaattt?”, sampai kemudian saya mendapati bahwa versi terbaru ini akan dicelotehkan dalam format animasi dan si tokoh utama bukan lagi Peter Parker melainkan Miles Morales yang notabene merupakan karakter kulit hitam pertama di balik kostum Spidey. Hmmm… interesting

December 13, 2018

REVIEW : AQUAMAN


“A king fights only for his own nation. A hero fight for everyone.” 

Berbeda dengan rekan sejawatnya yang telah memiliki bangunan semesta yang mapan, DC Extended Universe (DCEU) masih terlihat meraba-raba mengenai apa yang seharusnya mereka perbuat selanjutnya untuk rangkaian film superhero hasil adaptasi komik keluaran DC Comics. Jajaran pemain beserta kru terus mengalami bongkar pasang (bahkan beberapa nama inti seperti Ben Affleck dan Henry Cavill pun hengkang), begitu pula dengan nada penceritaan yang diaplikasikan. Dari mulanya hobi gelap-gelapan seperti siluman, DCEU belakangan mulai merangkul tone yang cenderung ringan selaiknya superhero tetangga begitu menyadari bahwa tidak semua film membutuhkan pendekatan realitis cenderung muram bak trilogi The Dark Knight kepunyaan Christopher Nolan. Bagaimanapun juga, penonton umum membutuhkan spektakel gegap gempita kala memutuskan bertandang ke bioskop untuk menyaksikan film kepahlawanan yang disadur dari komik populer, alih-alih tontonan kontemplatif yang menyimpan bejibun subteks di dalamnya. Agree to disagree, my amigos! Upaya DCEU dalam menyesuaikan diri dengan pasar sekaligus back to basic ini pun pada awalnya tak berjalan mulus lantaran masih terkesan malu-malu meong. Kehadiran Wonder Woman (2017) yang menyuarakan pesan women empowerment tanpa pernah mengorbankan tiga poin penting bagi terwujudnya film berskala blockbuster yang impresif: laga, humor, serta hati, menjadi semacam titik balik. Berkat kesuksesannya secara finansial maupun kritikal, khalayak berkesempatan untuk melihat banyak keriaan dalam rilisan terbaru DCEU, Aquaman, yang tak lagi ragu-ragu menampakkan dirinya sebagai spektakel pelepas penat untuk memeriahkan libur akhir tahun. 

December 12, 2018

REVIEW : SESUAI APLIKASI


“Selama kita tabah, keadaan akan berubah.” 

Saat menonton suatu film, saya selalu memegang prinsip: look at the positive side. Sebisa mungkin, cari sisi positifnya sekalipun film yang ditonton adalah kreasi Nayato Fio Nuala atau diproduseri Dheeraj Kalwani yang sisi negatifnya bertebaran dengan sangat jelas di setiap sudut. Atau dengan kata lain, menemukan kebaikan dalam film mereka bak ngubek-ngubek tumpukan jerami buat menemukan satu jarum cuilik. Alamakjang, susahnyaaa! Saya pun demikian ketika akhirnya memutuskan untuk menyaksikan Sesuai Aplikasi garapan Adink Liwutang (The Underdogs) yang trailernya hanya mencuplik banyolan-banyolan dalam film tanpa pernah memberikan informasi perihal plot. Saya masih berbaik sangka ditengah ekspektasi yang sebetulnya sudah tiarap karena trailer ini sungguh garing. Mungkin si pembuat film ingin memperjelas ke calon penonton kalau film buatannya ini berada di jalur komedi. Mungkin si pembuat film menyisipkan satu twist besar yang berpotensi bocor kalau plotnya diumbar di trailer. Mungkin juga si pembuat film ingin memantik rasa penasaran calon penonton sehingga terus menerus berspekulasi karena petunjuk paling jelas yang disematkan di trailer adalah persahabatan dua driver ojek online. Apakah betul film ini semacam versi layar lebar dari sitkom Ok-Jek yang mengudara di kanal televisi Net? Jika kamu menduga demikian, well… kamu tidak sepenuhnya keliru. 

December 10, 2018

REVIEW : WIDOWS


“What I’ve learned from men like your late husband and my father is, that you reap what you sow.” 

Berpatokan pada materi promosi yang digebernya (baca: trailer), Widows memang tak ubahnya heist movie konvensional yang mengandalkan sekuens laga beserta strategi perampokan jitu penuh kecohan sebagai jualan utamanya. Mengingat seluruh karakter perempuan ditempatkan sebagai dalang utama dibalik aksi perampokan alih-alih sebatas karakter sampingan yang bertugas untuk mendistraksi, Widows pun mau tak mau mengingatkan pada Ocean’s 8 yang juga menyoroti sepak terjang sekumpulan perempuan dalam menggondol barang-barang berharga. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah kedua film ini mempunyai pendekatan senada seirama sekalipun premis besarnya terdengar serupa? Calon penonton yang mengantisipasi keserupaan – lebih-lebih ada nama Liam Neeson yang identik dengan gelaran laga meriah di jajaran pemain – mesti memahami bahwa film yang didasarkan pada novel rekaan Lynda La Plante ini (sebelumnya sempat diadaptasi pula dalam bentuk serial pada tahun 1983) bukanlah popcorn movie yang dapat disantap dengan santai seraya menyeruput minuman bersoda. Keberadaan Steve McQueen di kursi penyutradaraan sedikit banyak telah memberikan isyarat bahwa Widows bukanlah spektakel pelepas penat, melainkan film sarat komentar sosial selaiknya dua film terdahulu sang sutradara, Shame (2011) dan 12 Years a Slave (2013), yang memperbincangkan tentang kemanusiaan beserta realitas sosial. 

December 8, 2018

REVIEW : MORTAL ENGINES


“We must stop London before it destroys us.” 

Saya sebetulnya sudah berada di titik jenuh terhadap film-film yang diadaptasi dari young adult novel berlatarkan post-apocalyptic. Disamping The Hunger Games yang keseluruhan serinya mampu tampil mengikat, The Maze Runner yang cenderung tak stabil, dan Divergent yang terjun bebas begitu memasuki seri terakhir (kepedean dibagi menjadi dua film pula!), tak ada lagi adaptasi dari novel sejenis yang benar-benar mencuri perhatian lantaran garis besar dalam jalinan pengisahannya pun sejatinya tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Itulah mengapa saya kurang menunjukkan minat pada Mortal Engines yang disadur dari jilid pertama rangkaian seri rekaan Philip Reeve, sampai kemudian mengetahui keterlibatan tiga serangkai: Fran Walsh, Philippa Boyens, dan Peter Jackson, yang memberi kita trilogi epik The Lord of the Rings (2001-2003) di sektor penulisan naskah. Mudahnya sih, apa yang mungkin salah dari adaptasi ini? Bukan tidak mungkin kan Mortal Engines akan membangkitkan kembali tren adaptasi untuk subgenre post-apocalyptic yang belakangan mulai menyurut? Apabila Peter Jackson turut dipercaya sebagai sutradara, sikap optimistis yang sempat mengemuka ini mungkin masih terdengar realistis. Tapi mengingat proyek dengan suntikan dana sebesar $100 juta ini diserahkan kepada sutradara pendatang baru Christian Rivers yang memulai karir perfilmannya sebagai storyboard artist, kamu tentu tahu bahwa berekspektasi tinggi-tinggi bukanlah suatu keputusan bijak. 

December 4, 2018

REVIEW : ONE CUT OF THE DEAD


“Pom!” 

Seusai menonton One Cut of the Dead, sulit untuk tak menyebutnya sebagai film yang mengagumkan. Saya sama sekali tak menduga bahwa sajian zombie yang belakangan ini sudah mulai memudar pesonanya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dengan pendekatan yang tak terbayangkan sebelumnya. “Ini gila sih,” adalah respon yang pertama kali meluncur dari mulut begitu lampu bioskop dinyalakan yang disambut tepuk tangan malu-malu dari beberapa penonton. Ya, ada banyak kegilaan yang bisa kamu dapatkan di film ini dan catatan terbesar yang perlu saya sampaikan kepada kalian: ini tidak berhubungan dengan muncratan darah, potongan-potongan tubuh, maupun gaya membunuh si zombie yang kreatif. Sesuatu yang kerap diperkirakan oleh banyak orang, termasuk beberapa kawan baik yang sudah terlampau malas untuk menonton film teror mayat hidup. Perlu ditekankan, One Cut of the Dead bukanlah tontonan zombie konvensional dan apa yang kamu saksikan di materi promosi hanyalah mengungkap segelintir apa yang telah dipersiapkan oleh sang sutradara, Shinichiro Ueda. Benar-benar mengecoh atau dalam hal ini berfungsi untuk ‘melindungi’ film sehingga penonton dapat memperoleh kenikmatan yang mengejutkan ketika memutuskan memberi kesempatan pada film berdurasi 97 menit ini – meski ada konsekuensi akan mengalienasi calon penonton dan mengecewakan penonton dengan ekspektasi memperoleh tontonan selaiknya trailer. 

December 3, 2018

REVIEW : RALPH BREAKS THE INTERNET


“All friendships change. But the good one, they get stronger as they change.” 

Rasa-rasanya tidak banyak yang menduga bahwa Wreck-It-Ralph (2012) akan menjadi tontonan keluarga yang sangat menyenangkan buat disimak. Penonton diajak menjelajah dunia arcade game yang sudah semakin ditinggalkan, lalu disodori visual berwarna-warni, rangkaian cameo dari permainan populer di masa lampau, serta guliran pengisahan yang penuh banyolan segar sekaligus mampu menonjok hati-hati sensitif. Kesuksesan yang direngkuhnya baik dari sisi finansial maupun kritikal, membawa sajian animasi produksi Walt Disney Animation Studios yang sempat tenggelam kembali menjadi sorotan (terima kasih juga untuk Tangled, Frozen, Big Hero 6, serta Zootopia) sekaligus memberi kesempatan bagi Ralph si penghancur untuk memiliki franchise-nya sendiri. Ya, pihak studio tidak berpikir panjang-panjang dalam memberi lampu hijau pada pembuatan sekuel Wreck-It-Ralph yang ternyata membutuhkan waktu hingga enam tahun untuk direalisasikan. Pemicunya, menentukan narasi yang cocok mengenai kelanjutan petualangan serta persahabatan antara dua outsider di dunia arcade game, Wreck-It-Ralph (John C. Reilly) dan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman), yang belakangan dielu-elukan sebagai pahlawan. Usai melewati berbagai fase pertimbangan sengit – konon ada tiga naskah yang menjadi kontender untuk difilmkan – sekuel bertajuk Ralph Breaks the Internet pun memilih jalur pengisahan yang menempatkan persahabatan Ralph dengan Vanellope di ujung tanduk selepas mereka mengetahui adanya dunia baru yang kita kenal sebagai internet. 

November 19, 2018

REVIEW : FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD


“Do you know why I admire you, Newt? You do not seek power. You simply ask, "Is a thing... right?" 

Bagi Potterheads, keputusan Warner Bros. dalam memfilmkan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them jelas patut dirayakan dengan penuh sukacita. Betapa tidak, mereka mengekspansi Wizarding World – sebutan untuk semesta film yang bersentuhan dengan franchise Harry Potter – sehingga para penggemar berkesempatan untuk melongok lebih jauh world building rekaan J.K. Rowling di luar tembok Hogwarts. Kita disuguhi narasi seputar kehidupan penyihir di masa lampau secara umum, sementara secara spesifik kita bisa melihat kehidupan penyihir dewasa yang telah memasuki dunia kerja (atau dalam hal ini, Kementrian Sihir). Saya akui, ini terdengar menggiurkan. Jilid pembuka Fantastic Beasts pun mengindikasikan bahwa franchise ini berada di jalur yang tepat dengan perkenalannya terhadap dunia pra-Harry Potter yang tetap menguarkan nuansa magis. Membangkitkan segala kenangan indah terhadap tujuh seri petualangan si bocah penyihir. Tapi keputusan para petinggi untuk mengkreasi lima seri, dari rencana awal hanya tiga, mau tidak mau memunculkan kekhawatiran bahwa film akan memiliki guliran pengisahan berlarut-larut. Pengalaman kurang menyenangkan dari trilogi The Hobbit masih terpatri kuat di ingatan dan sosok Newt Scamander (Eddie Redmayne) sebagai karakter utama pun tak semenggigit Harry – bagi saya dia agak lempeng. Itulah kenapa wajar jika ada yang kemudian bertanya, “apa konflik besar yang bisa melingkungi Newt sehingga pihak studio dan Bu Rowling merasa layak untuk menceritakannya ke dalam lima instalmen?” 

November 17, 2018

REVIEW : SUZZANNA BERNAPAS DALAM KUBUR


“Memang tidak ada yang lebih menakutkan daripada setan yang masih punya urusan dendam.” 

Saat rencana untuk menggarap film Suzzanna – bintang sekaligus ikon film horor tanah air – diumumkan, respon publik terpecah ke dalam dua golongan utama; mendukung dengan alasan ingin bernostalgia, dan menentang dengan alasan trauma pada hasil akhir Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss. Direkrutnya Anggy Umbara untuk mengomandoi proyek jelas tidak membantu untuk memenangkan hati kaum kontra, lebih-lebih konsep film yang dipergunakan menyerupai Jangkrik Boss alih-alih berwujud remake atau membentuk narasi sama sekali anyar. Sikap skeptis yang membayangi sebagian masyarakat ini perlahan mulai luntur menyusul diluncurkannya foto adegan oleh Soraya Intercine Films. Foto yang menampilkan Luna Maya (kala itu namanya belum diumumkan secara resmi) sebagai Suzzanna ini menuai komentar positif dari netizen Indonesia yang dikenal julid. Komentarnya senada seirama yang bisa disimpulkan dengan beberapa kata seperti demikian: “gila, mirip bener dengan almarhumah! Penata riasnya keren banget!” Pengharapan yang tadinya telah menipis pun kembali mengangkasa utamanya berkat rentetan materi promosi Suzzanna: Bernapas dalam Kubur yang ditebar efektif – termasuk trailer yang mengundang selera. Janji-janji dari pihak Soraya jelas menunjukkan bahwa mereka tidak main-main dengan proyek ini yang kemudian melahirkan satu pertanyaan penting. Apakah materi promosi tersebut benar-benar mencerminkan kualitas film bersangkutan atau jangan-jangan film ini tergabung dalam barisan “don’t judge a movie by its trailer”? Hmmm… let’s see

November 12, 2018

REVIEW : HANUM & RANGGA (FAITH & THE CITY)


“Kamu jangan pernah menyia-nyiakan mereka yang sudah berkorban untukmu.” 

Sejujurnya, saya menyukai dwilogi 99 Cahaya di Langit Eropa (2013-2014) yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Bukan semata-mata karena mata dibikin adem karena melihat Raline Shah berhijab, melainkan lebih disebabkan oleh narasinya yang terasa tulus dan menghangatkan hati. Dalam film tersebut, Hanum Salsabiela Rais dikisahkan mendampingi suaminya, Rangga Almahendra, untuk menyelesaikan studi S3 di Vienna, Austria. Selama menetap di sana, keduanya menelusuri jejak-jejak Islam di Eropa seraya berupaya memperbaiki citra Islam yang buruk di mata sebagian pihak. Beberapa orang menyebutnya sebagai film perjalanan, lebih-lebih konfliknya tak terlalu runcing di sini. Tapi bagi saya, disitulah letak menariknya lantaran film berdiri di jalur realis yang acapkali mempersilahkan penonton untuk merenung usai diperdengarkan percakapan (atau perdebatan) antara Hanum dengan Rangga, Hanum dengan teman-temannya, maupun Rangga dengan kawannya yang membenci Islam. Lingkupnya personal saja, tak berambisi untuk membuktikan kepada seluruh umat manusia bahwa “dunia ini akan lebih baik dengan adanya Islam”. Ambisi ini, sayangnya, diterapkan ke film berikutnya, Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015-2016), yang justru membuat narasi terlalu bombastis sampai-sampai sulit dipercaya kebenarannya – plus saya paling malas dengan film dakwah yang penuh letupan kemarahan di dalamnya – dan instalmen terbaru dari Hanum-Rangga Cinematic Universe, Hanum dan Rangga (Faith and the City), yang untuk pertama kalinya diakui sebagai kisah fiksi. 

November 10, 2018

REVIEW : A MAN CALLED AHOK


“Aku tidak takut kalah, tapi aku takut berbuat salah.” 

Terlepas dari kamu mengaguminya, membencinya, atau bersikap netral, rasa-rasanya sulit untuk menyangkal bahwa Ahok adalah sosok paling fenomenal di tanah air dalam satu dekade terakhir. Kapan terakhir kali ada seorang politisi yang sepak terjangnya sedemikian disorot sampai kerap menjadi bahan omongan masyarakat dari berbagai lapisan? Almarhum Gus Dur kah? Atau justru rekan seperjuangannya, Jokowi? Meski kedua sosok ini terbilang luar biasa dengan caranya masing-masing, keduanya memiliki satu keuntungan yang tak dipunyai Ahok: privilege berasal dari kaum mayoritas. Itulah mengapa, ada keistimewaan tersendiri dalam perjuangan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sehingga tak mengherankan sosoknya pun disebut sebagai ‘pahlawan minoritas’ bagi sebagian warga yang menganggap perjalanan karirnya inspiratif. Tidak hanya pendukung setianya, jutaan pasang mata lain pun terus tertuju kepada sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini karena keputusan-keputusan yang diambilnya acapkali kontroversial. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “apa langkah berikutnya yang akan ditempuh Ahok?,” terus bersahut-sahutan di kalangan publik, sementara saya justru bertanya-tanya, “seperti apa sih Ahok di masa muda?.” Terdengar remeh temeh memang, tapi saya ingin mengetahui apa yang membentuknya sebagai pribadi yang berani, keras, dan tanpa tedeng aling-aling seperti sekarang ini sehingga kerap disalahpahami sekaligus dimurkai pihak tertentu. Apakah sifatnya ini adalah hasil gemblengan orang tua atau lahir dari pengalaman tak mengenakkan di era lampau? 

November 6, 2018

REVIEW : THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS


“The future of the realms lies with you. Be careful who you trust.” 

Untuk sebagian warga bumi – well, dalam hal ini adalah Amerika Serikat, sosok prajurit mainan yang dikenal sebagai nutcracker lekat kaitannya dengan tradisi Natal. Bonekanya kerap dipergunakan untuk dekorasi Natal, sementara pertunjukkan baletnya yang disadur dari dongeng rekaan E. T. A. Hoffmann yang berjudul The Nutcracker and the Mouse King merupakan tontonan wajib bagi keluarga tiap musim libur Natal tiba. Saking populernya, versi adaptasinya dalam format film pun bejibun termasuk dua judul paling saya ingat: The Nutcracker rilisan tahun 1993 yang menampilkan Macaulay Culkin dalam peran amat singkat dan errr… Barbie in the Nutcracker (please don’t judge me!). Upaya untuk melestarikan karya seni ini (atau lebih tepatnya, dimanfaatkan sebagai mesin pencetak uang) masih terus dilanjutkan secara berkala, bahkan Disney pun akhirnya tergoda juga untuk memvisualisasikannya ke dalam tontonan layar lebar. Tidak tanggung-tanggung, guna mewujudkan proyek yang diberi judul The Nutcracker and the Four Realms, sejumlah bintang besar pun direkrut. Beberapa yang menarik perhatian antara lain Morgan Freeman, Helen Mirren, serta Keira Knightley. Terdengar menjanjikan bukan? Ini belum ditambah keterlibatan dua sutadara, Lasse Hallstrom (The Cider House Rules, Chocolat) dan Joe Johnston (Honey, I Shrunk the Kids, Jumanji), dibalik kemudi yang memberikan isyarat bahwa saduran bebas versi dongeng beserta pertunjukkan balet ini nyaris tak mungkin keliru. Tapi benarkah demikian? 

November 4, 2018

REVIEW : BOHEMIAN RHAPSODY

 

“I love the way you move on stage. The whole room belongs to you. Don't you see what you can be?” 

Siapa sih yang tidak mengenal Queen? Kecuali kamu tinggal di dalam gua dan tidak pernah sekalipun bersentuhan dengan musik sepanjang hidup, minimal kamu pasti pernah mendengar tembang-tembang ini dikumandangkan: We Are the Champions, We Will Rock You, I Want to Break Free, sampai Love of My Life. Ya, lagu-lagu tersebut digubah oleh salah satu band terbesar yang pernah ada di muka bumi, Queen. Tidak hanya memiliki koleksi lagu yang tak lekang digerus zaman, band ini pun mempunyai sejarah panjang penuh lika-liku khususnya saat berhubungan dengan vokalisnya yang legendaris, mendiang Freddie Mercury. Ada banyak cerita yang bisa diutarakan, ada banyak pengalaman yang bisa dibagikan, dan ada banyak pula pencapaian yang bisa dirayakan. Membutuhkan lebih dari dua jam (dan lebih dari satu film dengan pendekatan berbeda) untuk bisa merangkum perjalanan karir Queen dari A sampai Z. Itulah mengapa, proses penggarapan film biopik Queen bertajuk Bohemian Rhapsody – meminjam judul dari salah satu lagu terbesar mereka – yang telah dicetuskan sedari tahun 2010 oleh dua punggawanya yang masih tersisa, Brian May dan Roger Taylor, terus menerus terbentur oleh serangkaian perbedaan kreatif. Entah itu dari pergantian pemain dari semula Sacha Baron Cohen (kalian mengenalnya sebagai Borat), perombakan skenario, sampai divisi penyutradaraan yang bermasalah: Bryan Singer (The Usual Suspects, X-Men: Days of Future Past) hengkang di menit-menit terakhir sebelum digantikan oleh Dexter Fletcher. Jika kemudian kalian merasa bahwa Bohemian Rhapsody berakhir sebagai film biopik yang kurang memuaskan, kalian tahu darimana cikal bakalnya. 

November 3, 2018

SHORT REVIEWS : A STAR IS BORN (2018) + BAD TIMES AT THE EL ROYALE


“Look, talent comes everywhere. But having something to say and a way to say it, to have people listen to it. That’s a whole other bag.” 

Dalam debut penyutradaraannya, Bradley Cooper menginterpretasi ulang film klasik A Star is Born (1937) yang jalinan pengisahannya telah empat kali diceritakan kembali oleh berbagai sineas lintas zaman lintas benua (salah satunya adalah Aashiqui 2 (2013) dari India). Tidak ada perubahan berarti dalam penceritaan yang menyoroti kisah kasih antara seorang musisi Country yang pemabuk bernama Jackson Maine (dibintangi pula oleh Bradley Cooper) dengan seorang penyanyi yang tengah naik daun bernama Ally (Lady Gaga). Durasinya yang merentang hingga 135 menit memang terasa terlampau panjang untuk sebuah film drama non-biopik dan memasuki pertengahan durasi terasa agak berlarut-larut – terhitung selepas tembang Shallow dikumandangkan – tapi film masih efektif mempermainkan emosi berkat tembang-tembang yang mudah menempel di telinga beserta chemistry mengesankan antara Cooper dengan Gaga. Penonton meyakini bahwa dua sejoli ini ditakdirkan untuk menjalani hidup bersama sedari pandangan pertama yang bukan dipicu oleh gairah bercinta melainkan hasrat bermusik. Mereka adalah dua manusia yang dipersatukan oleh kesamaan hasrat dan mimpi, lalu dihancurkan oleh toxic environment yang sulit terpisahkan dari industri hiburan. Kita ikut bergembira bersama mereka, kita ikut bersenandung bersama mereka, kita ikut dimabuk asmara bersama mereka, kita ikut menyeka air mata bersama mereka, dan kita pun ikut hancur bersama mereka. Saking dekatnya penonton dengan karakter Jackson-Ally, maka jangan heran jika kamu akan mendapati penonton yang salah mengira film ini sebagai biopik dari Lady Gaga (serius, ini ada!). 

November 2, 2018

REVIEW : THE RETURNING


“Mama ngerasa ada yang aneh ga sejak Papa balik?” 

Ada dua hal yang menggelitik rasa penasaran dalam diri terhadap The Returning garapan Witra Asliga (sebelumnya, dia menyumbang segmen Insomnights untuk film omnibus 3Sum). Pertama, pilihan makhluk penerornya yang tak lazim bagi film horor Indonesia masa kini. Ketimbang menggaet pocong, genderuwo, kuntilanak, beserta kerabat-kerabat mereka yang sudah tak canggung berlakon di depan kamera, Witra justru mendaulat makhluk misterius yang melalui materi trailer sedikit banyak mengingatkan pada creature keji dari trilogi Jeepers Creepers. Kedua, The Returning menempatkan Laura Basuki yang belum pernah mengambil peran di film horor sebagai pemeran utama. Mengingat aktris penggenggam Piala Citra ini tergolong selektif dalam menerima job, saya pun bertanya-tanya: apa keistimewaan dari naskah gubahan si pembuat film sampai-sampai Laura Basuki tergiur untuk ikut bermain? Ditambah keberadaan Ario Bayu yang belakangan sedang laris manis, Tissa Biani yang mencuri perhatian berkat aktingnya di 3 Nafas Likas (2014), serta Muzakki Ramdhan yang baru-baru ini membuat saya kagum melalui Folklore: A Mother’s Love, antisipasi saya kepada The Returning yang sudah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini pun cukup tinggi. Lebih-lebih, film ini tampak menawarkan sajian berbeda dibanding film horor Indonesia kebanyakan. 

October 29, 2018

REVIEW : A SIMPLE FAVOR


“Secrets are like margarine. Easy to spread, but bad for heart.” 

Tontonan berbasis thriller mengenai pencarian orang hilang yang ternyata menyimpan rahasia gelap tampaknya tengah digandrungi oleh Hollywood pasca meledaknya Gone Girl (2014). Beberapa film yang mengedepankan narasi senada – dan layak diberi sorotan – antara lain The Girl on the Train (2016) yang menghadirkan kasus raibnya seorang istri beserta Searching (2018) yang memberi tamparan keras kepada para orang tua yang abai terhadap anak mereka. Mengikuti jejak ketiga film tersebut, khususnya dua judul pertama menilik materinya yang sama-sama disadur dari novel populer dan sosok yang menghilang pun sama-sama seorang istri, adalah A Simple Favor. Hasil ekranisasi prosa gubahan Darcey Bell ini tak hanya menampilkan satu orang karakter utama, melainkan terdapat dua karakter yang masing-masing memendam masa lalu kelam. Keduanya adalah emak-emak dari pinggiran kota yang mendeklarasikan hubungan mereka sebagai sahabat, meski kebenarannya diragukan. Apakah benar mereka menjalin ikatan persahabatan tersebut secara tulus? …atau ada kepentingan dibelakangnya? Ditangani oleh Paul Feig yang sebelumnya menggarap film sarat banyolan semacam Bridesmaids (2011) dan Spy (2015), maka jangan heran saat mendapati A Simple Favor mempunyai muatan humor yang pekat sekalipun menjejakkan dirinya di jalur thriller dan dijual dengan embel-embel “the darker side of Paul Feig”

October 27, 2018

REVIEW : JAGA POCONG


“Di rumah ini, banyak kejadian aneh.” 

Ditugasin buat jagain pocong sebenarnya bukan masalah besar asalkan jenazah yang dikafani itu kerabat dekat dan saya bukan satu-satunya orang yang masih bernapas di lokasi. Tapi jika jenazah tersebut adalah orang asing yang tak diketahui masa lalunya macam apa, tak ada orang lain di sekeliling yang mondar-mandir, dan lokasinya jauh dari pemukiman warga… yaaa monmaap, saya undur diri. Baru mendengarnya saja sudah bikin bergidik ngeri, tidak yakin mampu menjalaninya dengan tabah. Nah, Jaga Pocong yang menandai untuk pertama kalinya bagi Acha Septriasa dalam menjajal peran di film horor (kecuali kamu menghitung Midnight Show (2016) sebagai sajian horor) menggulirkan narasi berdasarkan premis tersebut: bagaimana jadinya saat tugas menjaga jenazah yang telah dikafani justru berbuah teror? Sebuah premis yang mesti diakui menggelitik rasa penasaran lebih-lebih karena sosok pocong sudah cukup lama tak dikedepankan sebagai peneror utama – padahal dari sekian banyak hantu yang mendiami Indonesia raya, sosoknya paling menakutkan bagi saya. Tambahkan dengan keterlibatan Acha Septriasa yang tergolong selektif memilih peran, Jaga Pocong terdengar seperti proyek film horor menjanjikan… sampai kemudian saya mengetahui jajaran kru di belakangnya yang seketika mendorong saya untuk menekan ekspektasi. 

October 26, 2018

REVIEW : DEAR NATHAN, HELLO SALMA


“Mantan. Manis di ingatan. Makanya nggak ada di wishlist. Adanya di hati terus.” 

Bagi mereka yang belum pernah menyaksikan Dear Nathan (2017) – salah satu film remaja tanah air yang underrated meski tergarap sangat baik – mungkin akan menganggap remeh Dear Nathan: Hello Salma. Alasannya sederhana, 1) “halah, film cinta-cintaan remaja begini kan bisanya cuma menye-menye doang,” dan 2) “Jefri Nichol lagi, Amanda Rawles lagi, kayak nggak ada aktor lain saja.” Saya bisa memahami karena pertama kali menjajal instalmen terdahulu yang beranjak dari novel laris rekaan Erisca Febriani, sikap skeptis tersebut turut membayangi mengingat jejak rekam film percintaan remaja di Indonesia terbilang kurang kinclong dalam beberapa tahun terakhir. Hanya segelintir yang bisa dikudap, sementara sisanya bikin kepala kliyengan lantaran terlampau ngoyo buat romantis sampai-sampai mengabaikan logika. Dear Nathan, secara mengejutkan, termasuk salah satu dari yang segelintir itu. Memang sih narasinya klise, tapi film mampu tersaji memuaskan berkat pengarahan penuh sensitivitas beserta lakonan apik (Ingat, tidak semua film butuh penceritaan rumit, dan tidak semua film dengan penceritaan sederhana maupun klise secara otomatis buruk!). Adegan pamungkasnya pun, whew… manis sekali. Kapan terakhir kali ada film percintaan remaja tanah air yang ditutup dengan sedemikian mengesankan? Hmmm… sulit untuk mengingatnya. Itulah mengapa saat film kelanjutannya diumumkan, saya tak kuasa untuk menolaknya. Ada kerinduan mendengar gombalan Nathan (Jefri Nichol) dan melihat salah tingkahnya Salma (Amanda Rawles) saat digombalin Nathan. Menggemaskan! 

October 24, 2018

REVIEW : HALLOWEEN (2018)


“He’s waited for this night. He’s waited for me. I’ve waited for him.” 

Diperkenalkan pertama kali ke hadapan publik oleh John Carpenter dalam Halloween (1978), Michael Myers seketika merengkuh popularitasnya sebagai salah satu ikon di sinema horor. Dideskripsikan dalam wujud seorang pria dewasa bertubuh tinggi besar yang mengenakan topeng, Michael merupakan seorang (atau sesosok?) pembunuh berantai yang bertanggung jawab atas kematian lima orang di wilayah Haddonfield, Illinois. Motifnya masih dipertanyakan hingga kini (dan ini salah satu alasan yang membuatnya menyeramkan: misterius), tapi siapapun yang menyaksikan film pertamanya tentu mengetahui bahwa dia mendekam di rumah sakit jiwa selama belasan tahun usai kedapatan membunuh saudari kandungnya, Judith. Berhasil meloloskan diri di tahun ke-15, Michael lantas berhadapan dengan seorang remaja bernama Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) yang ditakdirkan sebagai musuh abadinya. Pada film kedua rilisan tahun 1981 terungkap fakta bahwa mereka berdua memiliki hubungan darah dan selepas beberapa film yang tidak mempertandingkan dua karakter ini, Halloween H20 (1998) memberi kesempatan bagi keduanya untuk saling melepas rindu. Menilik pencapaian box office yang masih mengesankan, pihak studio pun terus mengeksploitasi Michael Myers termasuk membuatkannya franchise anyar dibawah penanganan Rob Zombie yang terhenti di instalmen kedua. Pun begitu, usaha untuk menghidupkan lagi nama besar dari karakter berjulukan The Shape ini kembali diupayakan dalam Halloween (2018) yang dipresentasikan sebagai sekuel langsung dari film pertama. 

October 23, 2018

REVIEW : THE NIGHT COMES FOR US


“I can’t kill what’s already dead.” 

Siapa diantara kalian yang seketika mendengus kecewa begitu mengetahui The Raid 3 batal dibuat? Tolong dong tunjuk tangan dan mari bergabung dengan saya di barisan patah hati. Setelah respon buat film kedua tak segegap gempita film pendahulunya sementara ongkos produksinya lebih gede, saya sebetulnya bisa memaklumi… meski tetap saja kecewa. Terlebih saya begitu mengagumi dwilogi The Raid (serius, sampai sekarang masih nggak percaya itu film laga berasal dari Indonesia!) dan masih berharap Gareth Evans berinisiatif bikin film kelanjutan, sempalan, atau apapun jenisnya. Beberapa upaya untuk tetap menghidupkan genre ini terus dilakukan di perfilman Indonesia: dari yang penggarapannya serius sampai ngasal nggak karuan. Diantara yang serius (dan ini dikit banget jumlahnya, yaelah!) adalah sutradara spesialis sajian berdarah, Timo Tjahjanto (Rumah Dara, Sebelum Iblis Menjemput), yang merupakan salah satu dari personil The Mo Brothers. Dia melakukan eksperimen gelaran laga melalui Killers (2014) yang bertempo lambat dan Headshot (2016) yang masih terasa kurang luwes di adegan bak bik buknya sekalipun turut merekrut jebolan The Raid. Tak patah arang, Timo melaju dengan proyek jauh lebih ambisius bertajuk The Night Comes for Us yang menandai untuk pertama kalinya bagi film Indonesia tergabung dalam original content keluaran situs penyedia jasa streaming terbesar di dunia, Netflix. Melalui film yang telah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini, Timo unjuk kebolehan yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuannya dalam menggarap film laga telah menunjukkan perkembangan signifikan dan kegilaan visualnya bisa sangat melampaui batas saat sensor tak lagi membelenggu. 

October 21, 2018

REVIEW : TENGKORAK


“Kalau 2 meter itu mungkin manusia purba. Tapi yang ditemukan di Yogyakarta ini kan 1,85 kilometer.” 

Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan selalu mengenang 27 Mei 2006 sebagai salah satu hari termuram dalam hidup mereka. Betapa tidak, pada tanggal tersebut di suatu pagi yang cerah, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter menggoyang DIY. Efek samping yang ditimbulkannya pun tak main-main. Menurut laporan media massa, gempa ini mengakibatkan ribuan jiwa melayang dan ratusan ribu bangunan mengalami kerusakan dalam berbagai tingkatan. Yang tak dilaporkan oleh media massa, gempa tersebut menyingkap sebuah fosil kerangka manusia dengan ukuran gigantis: mencapai 1,85 kilometer! Tapi tentu saja, penemuan menggegerkan ini bukanlah sebuah peristiwa nyata – jika benar, sudah ributlah seantero dunia – melainkan imajinasi dari seorang dosen di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Yusron Fuadi. Oleh Yusron, imajinasinya ini dituangkan ke dalam sebuah film bertajuk Tengkorak yang menempatkannya sebagai sutradara, penulis skenario, pemain, sinematografer, sekaligus penyunting gambar. Sungguh seseorang yang multitalenta ya! Rangkap jabatan dimungkinkan lantaran skala produksi Tengkorak terbilang sangat kecil sampai-sampai tahapan produksinya pun memakan waktu hingga tiga tahun akibat kekurangan ongkos produksi. Perjuangan panjang tim produksi yang melelahkan akhirnya terbayar tuntas ketika Tengkorak yang semula berkeliling ke festival-festival film memperoleh kepastian untuk menjangkau penonton luas dengan ditayangkan di jaringan bioskop komersil. 

October 19, 2018

REVIEW : FIRST MAN


“That’s one small step for man, one giant leap for mankind.” 

Meski tak ada lagi suara gebukan drum yang intens maupun dua sejoli bersenandung dengan indah, karya terbaru dari sutradara penggenggam piala Oscar, Damien Chazelle (Whiplash, La La Land) yang bertajuk First Man masih mengusung tema kesukaannya perihal ‘ambisi dan menggapai mimpi’. Tak tanggung-tanggung, subjek kulikan Chazelle kali ini adalah sosok nyata yang namanya terukir di sejarah dunia sebagai manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan, yakni Neil Armstrong. Disadur dari buku rekaan James R. Hansen, First Man: The Life of Neil A. Armstrong, si pembuat film tak hanya merekonstruksi peristiwa bersejarah tersebut yang masih diyakini oleh sebagian umat manusia sebagai kebohongan belaka tetapi juga menelusuri sisi personal dari sang astronot yang tak banyak diketahui oleh khalayak ramai termasuk pergolakan batin yang mewarnai detik-detik jelang peluncuran Apollo 11 (kendaraan ruang angkasa yang berjasa dalam membawanya membumbung ke bulan). Sebuah materi untuk sajian biopik yang menggugah selera, tentu saja, terlebih sang sutradara memilih untuk melantunkan penceritaan dengan metode character-driven dengan memanfaatkan sosok Neil Armstrong. Metode ini memang memungkinkan bagi penonton untuk melongok masa-masa penting bagi misi penjelajahan luar angkasa ini secara intim. Namun resiko yang diboyongnya pun tak kecil terutama jika karakter yang dimanfaatkan sebagai kacamata penonton tak cukup kuat dalam menggugah ketertarikan. 

October 17, 2018

REVIEW : GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN


“Let me get this straight. We’re living a Goosebumps story right now?” 

Sebagai seorang bocah yang tumbuh besar ditemani rangkaian cerita seram Goosebumps rekaan R.L. Stine, saya tentu bahagia tatkala Sony Pictures mengumumkan rencana untuk memboyong Goosebumps ke format film layar lebar. Baru membayangkan para monster rekaan Stine berkeliaran di depan mata saja sudah bikin berjingkat-jingkat apalagi saat menontonnya di bioskop. Nostalgia masa kecil menyeruak! Dan untungnya, versi film panjang yang dilepas pada tahun 2015 silam ini tak mengecewakan dan terbilang mengasyikkan buat ditonton. Memenuhi segala pengharapan yang bisa disematkan untuk tontonan ini. Ada Slappy si boneka ventriloquist yang licik beserta konco-konconya sesama monster menebar teror yang cukup mengerikan bagi penonton cilik, ada petualangan seru dua remaja ditemani oleh Stine (diperankan oleh Jack Black) dalam upaya mereka menyelamatkan dunia dari cengkraman monster-fiktif-menjadi-nyata ini, dan tentunya, ada humor menggelitik yang menyertai. Narasinya yang menempatkan manuskrip Stine sebagai sumber mencuatnya petaka harus diakui cukup kreatif sehingga memungkinkan si pembuat film untuk mempertemukan penonton dengan karakter-karakter favorit dari berbagai judul yang sejatinya tak saling berkaitan. Syukurlah, upaya untuk mempertahankan legacy dari Goosebumps ini memperoleh sambutan hangat baik dari kritikus maupun penonton, jadi kehadiran sebuah sekuel pun tak terelakkan dan saya jelas sama sekali tak merasa keberatan. Saya malah ingin franchise ini terus berkembang! 

October 15, 2018

REVIEW : MENUNGGU PAGI


“Emang kalau udah putus masih bisa temenan, gitu?” 
“Semua cowok kan kayak gitu. Habis putus maunya musuhan. Lebih gampang buat kalian.” 

Dunia malam ibukota tak lagi asing bagi Teddy Soeriaatmadja. Dia pernah menempatkannya sebagai panggung utama untuk memfasilitasi berlangsungnya reuni dadakan antara seorang ayah dengan anak perempuannya dalam Lovely Man (2011), dan dia kembali memanfaatkannya melalui Something in the Way (2013) demi menonjolkan pergulatan hati si karakter utama yang dikisahkan taat beragama. Bagi Teddy, ada banyak cerita menarik yang bisa dikulik dari manusia-manusia kalong di Jakarta utamanya berkaitan dengan hal-hal tabu yang biasanya enggan diperbincangkan ketika cahaya matahari masih bersinar terang lantaran polisi moral bebas kelayapan. Teddy mengambil langkah berani di kedua film ini yang membenturkan moral agama dengan seks dalam upayanya untuk memaparkan realita bahwa nafsu syahwat tak tebang pilih dalam ‘berburu inang’. Mengingat topik pembicaraannya yang bernada sensitif, tidak mengherankan jika film-film tersebut lebih memusatkan peredarannya di ranah festival film yang cenderung merangkul perbedaan alih-alih bioskop komersial yang memberlakukan sensor. Berulang kali berkelana ke beragam festival film dunia – termasuk membawa About a Woman (2014) yang mengedepankan topik senada – Teddy akhirnya memutuskan untuk sedikit bermain aman demi mempertontonkan film terbarunya, Menunggu Pagi, pada khalayak lebih luas. Temanya masih berkutat dengan dunia malam, hanya saja sekali ini fokusnya adalah sekelompok remaja dan perbincangannya tak semuram, seberat, sekaligus sekontroversial dibandingkan trilogy of intimacy di atas. 

October 12, 2018

REVIEW : ASIH


“Aku mengenalnya sebagai Kuntilanak, kalian mengenalnya sebagai Asih.” 

Apakah kamu masih ingat dengan sesosok hantu perempuan yang meneror Risa Saraswati (Prilly Latuconsina) di Danur jilid pertama (2017)? Jika kamu lupa-lupa ingat – atau malah tidak tahu menahu – saya bantu menyegarkan ingatanmu. Dalam film tersebut, Risa berhadapan dengan sesosok perempuan bernama Asih (Shareefa Daanish) yang mulanya dianggap sebagai pengasuh biasa. Tak lama semenjak kehadiran Asih di sekitarnya, serentetan peristiwa ganjil mulai bermunculan satu demi satu hingga puncaknya Risa mesti menjelajah dunia astral demi menyelamatkan adiknya yang diculik oleh Asih. Kamu mungkin bertanya-tanya, siapa sih pengasuh gaib ini? Apa motif yang melatari tindakannya? Penonton telah diberi sekelumit masa lalunya yang tragis sebagai fallen woman. Dia hamil di luar nikah, dicampakkan oleh keluarga beserta tetangganya, lalu memutuskan untuk mengakhiri hidup di bawah pohon besar selepas membunuh bayinya. Penjelasan lebih lanjut mengenai kehidupannya sebelum berbadan dua tak dijabarkan seolah disimpan untuk mengisi materi bagi spin-off. Ya, disamping cerita induk, materi sumbernya turut mempunyai beberapa cerita cabang yang menyoroti kisah para hantu yang mewarnai hidup Risa termasuk Asih. Sebuah materi yang memungkinkan bagi MD Pictures untuk mengkreasi Danur universe dalam rangkaian film mereka sebagai bentuk ‘perlawanan’ bagi The Conjuring universe

October 8, 2018

REVIEW : VENOM


“Eyes, lungs, pancreas. So many snacks, so little time!” 

Rencana untuk membuatkan satu film tersendiri bagi salah satu musuh bebuyutan Spider-Man, Venom, sejatinya telah mengemuka sejak lama. Di era 1990-an, New Line Cinema pernah mencetuskan gagasan tersebut yang tak pernah mendapat tindak lanjut, dan memasuki era 2000-an, gagasan tersebut beralih ke Sony Pictures yang tergoda untuk menciptakan mesin pencetak uang baru mengandalkan nama Venom yang dikenalkan ke publik melalui Spider-Man 3 (2007). Tapi serentetan masalah dibalik cap dagang Spider-Man (meliputi perbedaan kreatif diikuti kegagalan The Amazing Spider-Man 2) memaksa pihak studio untuk meninjau ulang rencana ambisisus mereka. Terlebih, apakah publik sudah siap dalam menerima film yang mengetengahkan sepak terjang sesosok supervillain? Terus mengalami tarik ulur selama beberapa tahun, proyek ini akhirnya memperoleh kejelasan status di tahun 2016 usai Sony berinisiatif menciptakan Marvel Universe milik mereka sendiri tanpa bersinggungan dengan Marvel Cinematic Universe (MCU) sekalipun Spidey telah bersarang di sana – meski tidak menutup kemungkinan buat dipersatukan mengingat Sony kekeuh mempertahankan Venom dengan rating PG-13 demi bisa dipersatukan bersama MCU. Guna merealisasikan Venom yang sekali ini tak memiliki relasi dengan Spidey, Ruben Fleischer (Zombieland, Gangster Squad) pun dipercaya untuk mengomandoi proyek, sementara Tom Hardy diserahi posisi pelakon utama yakni seorang jurnalis yang dijadikan inang oleh si simbiot bernama Eddie Brock. 

October 5, 2018

REVIEW : SOMETHING IN BETWEEN


“Bagaimana mungkin sesuatu yang tak pernah kita alami, bisa hadir senyata kenangan?” 

Sedari Screenplay Films melepas film pertamanya, Magic Hour (2015), saya nyaris tak pernah absen untuk menyaksikan persembahan terbaru mereka di bioskop. Padahal saya tahu betul ada harga yang harus dibayar mahal usai menonton film-film tersebut, yaitu migrain berkepanjangan. Selepas London Love Story 3 tempo hari yang (lagi-lagi) bikin barisan penonton remaja tersedu-sedu sementara diri ini hanya bisa merapalkan doa kepada Tuhan supaya diberi ketabahan, saya akhirnya memutuskan untuk rehat sejenak dari aktifitas menyiksa diri sendiri ini. Terlebih, dek Michelle Ziudith yang ratapan-ratapan mautnya menjadi salah satu alasan mengapa saya rela ‘disiksa’ tidak menampakkan diri di film berikutnya. Butuh menghela nafas, butuh liburan! Proses hibernasi yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya ini lantas diputuskan untuk berakhir setelah beberapa kawan membujuk rayu saya untuk menyimak Something in Between yang mempertemukan Jefri Nichol dengan Amanda Rawles untuk keenam kalinya. Tanpa membawa sedikitpun pengharapan (kecuali filmnya bakal ajaib), saya yang membutuhkan waktu selama sepekan untuk meyakinkan diri bahwa pengorbanan ini akan sepadan sama sekali tak menduga bahwa Something in Between ternyata bisa untuk dinikmati. Siapa yang menyangka, lho? Rasanya ingin menangis bahagia karena akhirnya ada film percintaan dari rumah produksi ini yang mendingan! 

September 29, 2018

REVIEW : JOHNNY ENGLISH STRIKES AGAIN


“Let's kick some bottom!” 

Adakah diantara kalian yang merindukan sepak terjang Johnny English? Ada? Tidak? Atau malah tidak tahu siapa karakter ini? Well, jika kalian belum mengenalnya sama sekali, Johnny English adalah seorang agen rahasia asal Inggris yang tergabung dalam MI7. Jangan bayangkan dia mempunyai karisma bak James Bond atau kemampuan bertahan hidup seperti Jason Bourne, karena karakternya sendiri dibentuk sebagai parodi untuk spy movies. Penggambaran paling mendekati adalah Austin Powers dalam versi sama sekali tidak kompeten nan ceroboh, atau oh, Mr. Bean (jangan bilang kamu juga tak mengetahuinya!). Ya, Johnny English tak ubahnya Mr. Bean yang memutuskan untuk menjalani profesi sebagai mata-mata Inggris. Sang agen rahasia dideskripsikan sebagai karakter yang payah dalam hal apapun, tapi memiliki keberuntungan tingkat dewa sehingga pada akhirnya dunia selalu bisa diselamatkan. Kemiripan diantara keduanya sulit untuk dihindarkan mengingat karakter-karakter ini dimainkan oleh aktor yang sama, Rowan Atkinson, dengan gaya bercanda yang senada pula. Gaya bercanda khas Rowan Atkinson yang kerap bergantung pada mimik konyol, tingkah absurd, serta pemikiran ngasal itulah yang menjadi jualan utama rangkaian seri Johnny English yang kini telah membentang hingga tiga instalmen; Johnny English (2003), Johnny English Reborn (2011), dan Johnny English Strikes Again

September 28, 2018

REVIEW : ARUNA DAN LIDAHNYA


“Hati-hati jangan terlalu antipati. Nanti simpati, trus empati trus jatuh hati.” 

Disadur secara bebas dari novel berjudul sama rekaan Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya menyoroti perjalanan empat sekawan ke empat kota di Indonesia dalam misi menginvestigasi kasus flu burung dan pencarian makanan. Empat sekawan tersebut antara lain Aruna (Dian Sastrowardoyo), Farish (Oka Antara), Bono (Nicholas Saputra), dan Nad (Hannah Al Rashid). Mulanya, perjalanan ini diniatkan sebagai pelesiran untuk icip-icip makanan Nusantara semata oleh Aruna dan sahabat baiknya yang seorang koki, Bono, guna menindaklanjuti rencana kulineran yang terus tertunda. Tapi setelah Aruna yang menjalani profesi sebagai ahli wabah ditugaskan oleh atasannya untuk menyelidiki kasus flu burung di Surabaya, Pamekasan, Pontianak, beserta Singkawang, mereka pun seketika mengubah rencana. Bono mengikuti Aruna dalam perjalanan dinasnya, dan mereka akan berburu makanan khas daerah setempat usai Aruna menuntaskan pekerjaannya. Ditengah perjalanan ini, keduanya turut menyambut kehadiran Nad, kritikus makanan yang ditaksir Bono, dan Farish, mantan rekan kerja Aruna yang turut ditugaskan dalam investigasi ini. Keberadaan dua pendatang ini membuat perjalanan yang semestinya sederhana menjadi terasa rumit lantaran Aruna diam-diam menaruh hati kepada Farish. Aruna mengalami pergolakan batin tatkala hendak mengungkapkan cintanya lantaran dia mengetahui sang pujaan hati telah memiliki kekasih dan ditambah lagi, Nad terlihat seperti menaruh perasaan yang sama kepada Farish. 

September 27, 2018

REVIEW : MUNAFIK 2


“Kamu hanya menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan serakahmu.” 

Menurut saya, Munafik (2016) adalah salah satu film horor Asia terbaik dalam satu dekade terakhir. Syamsul Yusof yang merangkap jabatan sebagai sutradara, penulis skrip, aktor, editor, sekaligus pengisi soundtrack ini mampu memberikan warna berbeda bagi sajian horor dengan mengombinasikannya bersama unsur keagamaan – atau dalam hal ini, Islam. Memang betul Munafik bukanlah film pertama yang menawarkan pendekatan tersebut (setumpuk film horor asal Malaysia dan Indonesia dari era terdahulu telah menerapkannya), tapi agama tak sebatas dipergunakan sebagai hiasan untuk mempercantik film di sini. Ada signifikansinya terhadap narasi yang mengkritisi kaum beragama dengan ketaatan palsu, ada pula signifikansinya pada permainan teror. Adegan si protagonis melakukan ruqyah (eksorsisme dalam Islam) terhadap seorang perempuan berhijab yang kerasukan iblis adalah momen paling dikenang di film ini, disamping adegan di lift dan bola mantul-mantul. Saya meringkuk ketakutan saat menontonnya (hei, si iblis bisa merapal ayat suci!), saya juga menyeka air mata tatkala sebuah kebenaran terungkap di ujung durasi. Lebih dari itu, Munafik menggugah keimanan dalam diri yang masih cethek ini dengan mempertanyakan, “apakah ibadahku selama ini telah sesuai dengan petunjuk Tuhan, dilandasi ketulusan dari lubuk hati terdalam, atau hanya keterpaksaan demi menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat?.” 

September 26, 2018

REVIEW : ALPHA


“Life is for the strong. It is earned, not given.”  

Apakah kamu pernah bertanya-tanya mengenai awal mula terbentuknya persahabatan antara manusia dengan anjing? Seperti, apakah manusia di zaman purba telah memiliki keterikatan emosi dengan hewan berkaki empat ini, atau, apakah relasi unik tersebut baru terbentuk beberapa abad silam? Dokumentasi sejarah di belahan dunia manapun (sangat) mungkin tidak meliputi 'persahabatan pertama manusia dengan anjing' mengingat cakupan sumber terlampau luas dan signifikansinya pun kurang nyata, sehingga jika kamu pernah (atau masih) dibayangi oleh pertanyaan tersebut, berterimakasihlah kepada Tuhan karena telah menciptakan Hollywood. Ya, kamu bukanlah satu-satunya orang yang mempertanyakan tentang sejarah pertemanan lintas spesies ini karena Albert Hughes – bersama dengan saudara kembarnya, Allen Hughes, dia mengkreasi From Hell (2001) dan The Book of Eli (2010) – mengajukannya sebagai premis untuk film perdananya sebagai sutradara tunggal, yakni Alpha. Dijual sebagai “incredible story of how mankind discovered man's best friend,” Alpha mencoba memberikan jawaban mengenai asal muasal kisah persahabatan tersebut dengan melontarkan kita ke daratan Eropa di 20 ribu tahun silam atau era Paleolitik Hulu yang berlangsung pada detik-detik terakhir jelang berakhirnya zaman es. 
Mobile Edition
By Blogger Touch