April 2, 2017

REVIEW : GHOST IN THE SHELL


“They created me. But they can not control me.” 

Sekalipun Astro Boy (2009), Dragonball Evolution (2009), serta Speed Car (2008) mengantongi resepsi tak memuaskan dari kritikus maupuk publik, agaknya Hollywood masih belum juga jera untuk mengejawantahkan goresan-goresan gambar komikus Jepang ke dalam medium audio visual sesuai gambaran mereka. Malahan Hollywood pun terbilang amat percaya diri terbukti dari keberanian mereka mempersiapkan beberapa judul adaptasi dari manga/anime lain untuk stok di masa mendatang sekaligus menafsirkan ulang Ghost in the Shell yang dikenal mempunyai muatan kisah cukup njelimet. Ya, proyek film Ghost in the Shell – berdasarkan manga bertajuk serupa hasil karya Masamune Shirow rilisan dua dekade silam yang lantas diadaptasi pula ke anime – yang sejatinya telah dicanangkan sejak lama akhirnya berhasil diwujudkan juga oleh Paramount Pictures dengan menempatkan Rupert Sanders (Snow White and the Huntsman) dibalik kemudi. Jalannya pun tidak juga mulus, sempat diwarnai kontroversi atas pemilihan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama yang notabene berdarah Jepang (whitewashing!), walau bagi saya pribadi penunjukkan Sanders untuk mengomandoi Ghost in the Shell versi Hollywood semestinya lebih dikhawatirkan ketimbang perekrutan Johansson menilik apa yang telah dilakukannya di film terdahulu.

Penceritaan Ghost in the Shell mengambil latar beberapa tahun ke depan di kota tanpa nama kala teknologi telah amat maju yang memungkinkan adanya pencangkokkan otak manusia dalam tubuh robot. Salah satu korporasi yang giat mengembangkan robot dengan kecerdasan buatan adalah Hanka Robotics. Berbagai eksperimen rahasia untuk menyempurnakan robot buatan mereka telah dilaksanakan puluhan kali dengan hasil mengecewakan sampai akhirnya Dr. Ouelet (Juliette Binoche) dan CEO Hanka, Cutter (Peter Ferdinando), berhasil mengembangkan produk sempurna dalam wujud Mira Killian (Scarlett Johansson). Setahun berselang sedari dilahirkan ke dunia, Mira dipercaya untuk menempati posisi Mayor dalam tim keamanan anti terorisme, Section 9, dibawah kepemimpinan Chief Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Bersama dengan Batou (Pilou Asbæk), Mira ditugaskan untuk menelusuri rencana kejahatan terhadap Hanka Robotics yang belakangan diketahui digawangi oleh seorang hacker bernama Kuze (Michael Pitt). Di tengah-tengah penyelidikannya terhadap Kuze, Mira kerap dibayangi kelebatan-kelebatan misterius dari masa lalu yang kemudian mendorong Cutter untuk menghentikan langkah Mira. Mencoba pula mencari tahu kebenaran dibaliknya, Mira justru memperoleh paparan fakta mengejutkan dari sesosok yang tidak pernah disangka-sangka olehnya.


Keragu-raguan atas kapabilitas Rupert Sanders dalam menangani materi senjelimet yang dipunyai Ghost in the Shell, sayangnya harus terbukti. Tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukannya pada Snow White and the Huntsman, Sanders pun lebih mengedepankan soal tampilan ketimbang substansi dalam Ghost in the Shell. Dampaknya adalah film enak buat dipandang mata namun tuturannya sulit buat meresap ke dalam hati. Ya, Ghost in the Shell jelas sama sekali tidak kekurangan bahan untuk membuat para penontonnya takjub kala mengamati parade visualnya yang imajinatif. Dari latar kota futuritisnya – tampak seperti perpaduan antara Jepang dengan Hong Kong – yang dipenuhi gemerlap neon disana sini dan dimeriahkan iklan berbentuk hologram raksasa, lalu desain robot unik dengan salah satunya berbentuk Geisha yang mampu menjelma sebagai mesin pembunuh, sampai tentunya paras rupawan Scarlett Johansson yang sedikit banyak berhasil menghipnotis penonton untuk mengikuti sepak terjang Mira sekalipun tidak cukup memiliki ketertarikan terhadap sosoknya dan performanya pun tak ada greget (oke, ini bias!). Namun ketika membicarakan soal jalinan pengisahan yang diusung, lain lagi ceritanya. Film tidak dibekali amunisi mencukupi agar penonton dapat terhanyut secara sukarela memasuki dunia Mira. 

Ghost in the Shell sebetulnya tawarkan materi kisah cukup menarik untuk diikuti. Si pembuat film memboyong kita ke dalam penyelidikan Mira terhadap suatu kasus yang lantas berganti dengan pencarian atas jati dirinya. Hanya saja ketiadaan daya cengkram menjadi sabab musabab dari ketidakmampuan menaruh ketertarikan pada guliran cerita. Disamping itu, masih semacam ada sekat yang membatasi kita untuk menjalin hubungan erat bersama Mayor Mira. Tatkala kita tidak sanggup menginvestasikan emosi kepada tokoh kunci, sedahsyat apapun persoalan yang dihadapinya pun akan membal. Keinginan untuk mengetahui ujung dari kisah bukan lagi dipicu kepedulian terhadap nasib sang karakter utama melainkan tidak adanya lagi kesabaran tersisa dalam mengikuti proses. Pada akhirnya, diluar geberan visualnya yang memukau, Ghost in the Shell tidak lebih dari film yang kering, dingin, dan hambar. Keputusan untuk kelewat menyederhanakan penceritaan dengan menghempaskan pembicaraan soal eksistensialisme dan hiperrealitas yang sejatinya disodorkan oleh materi sumbernya, turut berkontribusi pada tergerusnya daya tarik Ghost in the Shell. Khalayak yang datang memenuhi bioskop demi memperoleh tontonan yang bukan saja cantik tetapi juga bernutrisi bagi otak bisa jadi akan kecewa. Bahkan buat mereka yang mengharap ini adalah spektakel seru pun sebaiknya mengontrol ekspektasi karena tata laga di Ghost in the Shell tidaklah impresif. Malah terkadang sama malasnya dengan caranya menuturkan kisah.

Acceptable (2,5/5)


1 comment:

  1. belum nonton om, tapi liat trailernya jadi inget Lucy, jagoan perempuan pemerannya sama

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch