April 28, 2017

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2


“Sometimes, the thing you've been looking for your whole life, is right there beside you all along.” 

Mengkreasi sebuah sekuel bagi salah satu film superhero rilisan Marvel Studios, Guardians of the Galaxy (2014), yang merupakan bagian dari Marvel Cinematic Universe bukanlah perkara mudah. Pasalnya, judul satu ini telah menetapkan standar terhitung tinggi untuk film-film adaptasi komik. Guardians of the Galaxy hadirkan rentetan laga luar biasa seru ala Star Wars dengan suntikkan melimpah humor-humor kocak dan barisan soundtrack dari era 60-70’an yang melebur mulus ke setiap adegan dalam film. Seolah belum cukup, pemain ansambelnya pun tunjukkan lakonan dengan chemistry membius. Sebuah film superhero dengan kesenangan tiada tara! Menariknya, semua ini muncul tiga tahun silam tanpa pernah diperkirakan sebelumnya. Betapa tidak, diantara rekan-rekan sesama pahlawan penyelamat alam semesta binaan Marvel yang telah dibuatkan filmnya, pamor Guardians of the Galaxy terhitung paling rendah di mata penonton awam dan sang sutradara, James Gunn (Super), bukan pula nama besar. Tidak mengherankan penonton datang memenuhi bioskop tanpa dipenuhi ragam ekspektasi dan hasil akhirnya justru amat mengejutkan. Bisa dibilang, kejutan merupakan salah satu poin penting yang menghantarkan film menuju gerbang kesuksesan. Mengingat sebagian khalayak saat ini telah mengetahui formula yang diterapkan, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, akankah Guardians of the Galaxy Vol. 2 mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat seperti jilid pertamanya? 

April 26, 2017

REVIEW : STIP & PENSIL


Menjumpai film berbasis genre komedi buatan dalam negeri tidaklah susah sama sekali. Nyaris saban bulan, senantiasa ada judul-judul baru memeriahkan jaringan bioskop tanah air. Yang susah adalah menemukan film dengan kualitas dapat dipertanggungjawabkan diantara genre ini. Tidak ada yang salah memang dari film komedi yang sekadar ngebanyol tanpa mempunyai muatan cerita kuat dan cenderung ringan-ringan saja toh tujuan akhirnya lebih ke tontonan eskapisme. Namun ketika ini dijadikan sebagai pembenaran untuk menghasilkan sebuah gelaran sarat kelakar yang digarap secara serampangan tanpa mempunyai struktur cerita yang jelas, minim lakonan apik maupun alpa production value memadai yang membuatnya sebelas dua belas dengan program lawak di televisi, maka saat itulah kesalahan terbesar diperbuat. Lantaran saking seringnya disuguhi tontonan komedi di layar lebar yang bikin mengelus dada semacam ini – ditambah kepala pusing tujuh keliling akibat keriuhan Pilkada – jelas sesuatu membahagiakan begitu mendapati bahwa Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (Coklat Stroberi, 3 Dara) tergarap cukup apik, dibekali plot berisi dan memberi efek bungah usai menontonnya. Jarang-jarang ada, kan? 

April 20, 2017

REVIEW : KARTINI


“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” 

Kartini garapan Hanung Bramantyo bukanlah kali pertama bagi kisah pahlawan nasional asal Jepara, Raden Adjeng Kartini, dalam memperjuangkan kesetaraan hak untuk para perempuan pribumi diboyong ke layar perak. Sebelumnya, sutradara legendaris tanah air, Sjumandjaja sudah menguliknya terlebih dahulu melalui R.A. Kartini (1982), dan Azhar Kinoi Lubis dibawah bendera MNC Pictures sempat pula memadupadankannya dengan tuturan fiktif lewat Surat Cinta Untuk Kartini (2016). Telah mendapatkan dua gambaran berbeda, sedikit banyak membuat kita bertanya-tanya, apa yang lantas hendak dikedepankan oleh Hanung Bramantyo di versi terbaru Kartini? Ketertarikan untuk mengetahui interpretasi Hanung Bramantyo terhadap sang pejuang emansipasi perempuan inilah salah satu yang melandasi keinginan untuk menyimak Kartini. Alasan lainnya, barisan pemain ansambel yang direkrutnya. Bukankah amat menggoda kala pelakon-pelakon papan atas tanah air seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Christine Hakim, Ayushita Nugraha, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, serta Reza Rahadian berkolaborasi dalam satu film? Terlebih rekam jejak sang sutradara yang dikenal piawai mengarahkan pemain-pemainnya, Kartini jelas tampak menjanjikan. Dan memang, di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. 

April 17, 2017

REVIEW : THE GUYS


“Gue percaya, kalau kita hidup dari apa yang kita cintai, kita akan mencintai hidup kita.” 

Beberapa waktu lalu, komika serba bisa Raditya Dika yang tahun kemarin berjasa menempatkan Hangout dan Koala Kumal di jajaran sepuluh film Indonesia paling banyak dipirsa mengumumkan melalui Vlog (video blog) kepunyaannya bahwa dia akan rehat sejenak dari dunia perfilman tanah air: tidak menulis naskah maupun menyutradarai untuk sementara waktu. Sebagai salam perpisahan, Dika melepas The Guys yang merupakan kolaborasi keduanya bersama rumah produksi Soraya Intercine Films pasca Single. Materi konflik seputar kesulitan Dika mencari pasangan pendamping hidup yang tepat memang masih dikedepankan sang komika buat jualan, namun yang membuatnya berasa segar lantaran sekali ini dikawinkan dengan office comedy yang mengulik soal mimpi serta persahabatan lalu sedikit memperoleh pelintiran tatkala problematika asmaranya menyasar ke dua generasi: melibatkan orang tua dari karakter utama. Tambahkan dengan keterlibatan Pevita Pearce, Tarzan, Widyawati, serta penampilan khusus dari aktris Thailand kenamaan, Baifern Pimchanok, harus diakui The Guys terlihat menggugah selera di atas kertas. 

April 14, 2017

REVIEW : FAST & FURIOUS 8


“One thing I can guarantee... no one's ready for this.” 

Siapa pernah menduga franchise The Fast and the Furious yang dimulai sebagai film balap mobil liar pada 16 tahun silam, lalu disisipi beragam elemen dari subgenre laga lain guna ‘bertahan hidup’ hingga telah ditinggal pergi oleh salah satu pelakon utamanya, Paul Walker, yang tewas saat seri ketujuh tengah digarap, bakal menapaki jilid kedelapan? Satu dasawarsa lalu tentu tak sedikitpun terbayang, namun semenjak Fast Five yang menjadi titik baru dimulainya kehidupan dari franchise ini baik dari respon penonton – raihan dollar kian menggurita – maupun resepsi kritikus, kita sudah bisa mencium gelagat Universal Pictures bakal memperpanjang usia kisah petualangan Dominic Toretto (Vin Diesel) beserta ‘keluarga’ tercintanya. Mengingat sudah banyak kegilaan kita simak: menyeret brankas raksasa menggunakan mobil di jalanan, berkejar-kejaran dengan pesawat siap tinggal landas, sampai mobil yang melayang menembus dua gedung pencakar langit, tanya “apa lagi yang akan mereka lakukan kali ini?” pada Fast & Furious 8 (dikenal pula dengan tajuk The Fate of the Furious) pun sulit terelakkan – maklum, standar kegilaan laganya terus meninggi dari seri ke seri. Namun ketika kita mengira franchise ini akan mulai kehabisan bahan bakarnya, Fast & Furious 8 justru tetap melaju kencang dan menggeber kegilaan laga yang sanggup menandingi, atau malah bisa dikata melampaui, jilid-jilid pendahulunya. 

April 11, 2017

REVIEW : THE BOSS BABY


“If I don’t succeed in this mission, I will live here forever with you!” 
“Okay, I will help you. But just to get rid of you.” 

Ada similaritas antara The Boss Baby dengan Storks (2016): bangunan konflik dua film animasi tersebut beranjak dari satu pertanyaan polos yang kerap diajukan oleh para bocah, “darimana sih asal muasal munculnya bayi?”. Jawaban fiktif paling kondang dilontarkan di kalangan orang tua negeri barat adalah dihantar seekor bangau putih. Storks mengamini dongeng bangau pengantar bayi tersebut, lalu memberinya sentuhan modern besar-besaran. Sementara The Boss Baby, mengkreasi versi berbeda untuk menjawab pertanyaan perihal asal muasal munculnya bayi. Animasi terbaru kepunyaan Dreamworks Animation selepas Trolls di penghujung tahun lalu yang dasar kisahnya disadur secara bebas dari buku cerita bergambar rilisan tahun 2010 berjudul sama rekaan Marla Frazee ini menyatakan bahwa bayi merupakan hasil produksi sebuah perusahaan. Bukan perusahaan biasa, tentu saja, mengingat korporasi khusus penghasil bayi bernama Baby Corp ini berbasis nun jauh di atas permukaan bumi – bisa dibilang, surga – dan karyawan-karyawan yang mendedikasikan waktu serta tenaganya di sana terdiri dari bayi-bayi menggemaskan dengan kemampuan selayaknya orang dewasa. What a twist, huh? 

April 6, 2017

REVIEW : GET OUT


“Man, I told you not to go in that house.” 

Berkunjung ke rumah calon mertua untuk pertama kali agaknya kerap meninggalkan cerita menarik buat dikulik. Tatkala berkumpul bersama kerabat, pengalaman ini cukup sering diajukan sebagai topik pembicaraan. Ada yang mengaku biasa-biasa saja, ada pula yang mengaku memperoleh sensasi menegangkan terlebih jika terpampang perbedaan antara kedua belah pihak entah itu status sosial, pandangan politik, agama, budaya atau suku. Perbedaan umumnya mendasari mencuatnya konflik atau setidaknya begitulah yang terjadi dalam film mengenai kunjungan ke rumah calon mertua seperti dimunculkan di Guess Who’s Coming to Dinner (1967), Meet the Parents (2000), sampai The Journey (2014). Mengedepankan perbedaan sebagai sumbu konflik, ada satu kesamaan yang menjembatani ketiga film ini: kesemuanya digulirkan secara komedik. Versi terbaru untuk pengalaman berkunjung yang dikreasi oleh Jordan Peele – seorang komedian dari duo Key & Peele – berjudul Get Out (2017) pun mulanya mengisyaratkan akan mengambil jalur serupa mengingat latar belakang si pembuat film. Memang elemen komedinya masih pekat, hanya saja genre horor lah yang dikedepankan Peele untuk melantunkan penceritaan dalam Get Out. Sebuah pendekatan menarik yang rasa-rasanya akan membuat kunjungan ke rumah calon mertua serasa kian menegangkan.

April 2, 2017

REVIEW : GHOST IN THE SHELL


“They created me. But they can not control me.” 

Sekalipun Astro Boy (2009), Dragonball Evolution (2009), serta Speed Car (2008) mengantongi resepsi tak memuaskan dari kritikus maupuk publik, agaknya Hollywood masih belum juga jera untuk mengejawantahkan goresan-goresan gambar komikus Jepang ke dalam medium audio visual sesuai gambaran mereka. Malahan Hollywood pun terbilang amat percaya diri terbukti dari keberanian mereka mempersiapkan beberapa judul adaptasi dari manga/anime lain untuk stok di masa mendatang sekaligus menafsirkan ulang Ghost in the Shell yang dikenal mempunyai muatan kisah cukup njelimet. Ya, proyek film Ghost in the Shell – berdasarkan manga bertajuk serupa hasil karya Masamune Shirow rilisan dua dekade silam yang lantas diadaptasi pula ke anime – yang sejatinya telah dicanangkan sejak lama akhirnya berhasil diwujudkan juga oleh Paramount Pictures dengan menempatkan Rupert Sanders (Snow White and the Huntsman) dibalik kemudi. Jalannya pun tidak juga mulus, sempat diwarnai kontroversi atas pemilihan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama yang notabene berdarah Jepang (whitewashing!), walau bagi saya pribadi penunjukkan Sanders untuk mengomandoi Ghost in the Shell versi Hollywood semestinya lebih dikhawatirkan ketimbang perekrutan Johansson menilik apa yang telah dilakukannya di film terdahulu.

Mobile Edition
By Blogger Touch