January 30, 2017

REVIEW : MONSTER TRUCKS


Monster Trucks sebetulnya mengkhawatirkan. Betapa tidak, saat sebuah film maju mundur cantik dalam hal perilisan berulang kali (total jenderal, jadwal edar Monster Trucks direvisi sebanyak 5 kali!), tentunya ada beberapa poin yang menyebabkan si pemilik film ragu-ragu untuk melepaskan filmnya ke khalayak ramai. Kemungkinan paling masuk akal dan memang seringkali begitu adanya, hasil akhir jauh dibawah pengharapan. Turut dijadikan kambing hitam pula sebagai salah satu penyebab kerugian Viacom – konon, film menelan dana sebesar $125 juta (!!!) dan telah diprediksi tidak akan sanggup mencapai titik impas apalagi untung – semakin menguatkan energi negatif yang telah melingkungi Monster Trucks. Belum apa-apa sudah keder duluan, khawatir filmnya bakal bikin dongkol hati begitu menjejakkan kaki di luar gedung bioskop. Dari serentetan sikap pesimis, timbul satu pertanyaan, “apakah Monster Trucks memang sedemikian mengecewakannya?.” Pertanyaan yang sempat menggelayuti benak selama beberapa pekan ini akhirnya terjawab setelah memutuskan untuk menonton Monster Trucks di layar lebar. 

January 27, 2017

REVIEW : RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER


We’re finally here, instalmen terakhir dari franchise Resident Evil yang didasarkan pada video game laris berjudul sama rekaan Capcom... atau setidaknya begitulah sangkaan kita. Usai dua jilid pendahulu, Afterlife dan Retribution, yang benar-benar melempem, sebetulnya pengharapan terhadap franchise ini telah sepenuhnya sirna. Kejar-kejaran antara sang protagonis, Alice (Milla Jovovich), dengan para zombie ganas yang didalangi oleh Umbrella Corporation telah sampai pada titik jenuh sehingga ketidakpedulian pada nasib Alice pun tak terelakkan. Maka begitu mendengar gagasan Paul W.S. Anderson berniat untuk mengkreasi seri lanjutan Resident Evil dan sekali ini menggunakan subjudul The Final Chapter yang besar kemungkinan berarti jilid penghujung, ada kelegaan disertai sekelumit kepenasaran terkait bagaimana Anderson akan menutup salah satu film adaptasi game tersukses di muka bumi ini. Membawa turut serta segala sikap skeptis ke gedung bioskop kala menyimak Resident Evil: The Final Chapter, alangkah terkejutnya diri ini begitu mendapati bahwa film ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dari dua instalmen sebelumnya. Whoa? 

January 25, 2017

(Special) 20 FILM TERBAIK 2016 VERSI CINETARIZ


Ternyata, banyak juga film berkesan yang berkeliaran sepanjang tahun 2016. Berulang kali dibuat merepet tak berkesudahan oleh sejumlah judul film sempat membuatku berpikir 2016 bukanlah tahun yang bagus bagi perfilman dunia. Pemikiran tersebut seketika terhempas, lalu sirna, tatkala mulai menyusul daftar 20 film terbaik 2016 versi Cinetariz. Menduga akan tuntas dalam sekejap, realitanya justru berkata lain. Tak mengira sama sekali memilih 20 judul saja dari 200-an film di tahun yang (awalnya) dianggap semenjana bakal menimbulkan sakit kepala. Banyak pilihan! 

January 22, 2017

REVIEW : BALLERINA


“Never give up on your dreams.” 

Plot mengenai anak muda yang berkelana ke kota besar untuk merealisasikan mimpi-mimpinya sejatinya telah berulang kali dibongkar pasang oleh para sineas dunia. Bahkan baru beberapa hari lalu kita menjumpai penceritaan segendang sepenarian dalam film musikal jempolan, La La Land. Bagi mereka yang mudah bersikap sinis, tentu akan melabelinya dengan “klise” atau “mudah ditebak”. Tapi seperti kita buktikan bersama melalui La La Land, tak peduli seberapa familiar kisah yang kamu bagikan ke khalayak ramai, eksekusi dari sang sutradara lah penentu segalanya. Di tangan Damien Chazelle, film beraroma klise ini berhasil memberi cecapan rasa segar pula magis bagi penontonnya. Belajar dari pengalaman tersebut yang menunjukkan bahwasanya gagasan sederhana maupun usang tidak selalu berkonotasi buruk, saya membawa sikap positif saat memutuskan menyimak film animasi 3D produksi kerjasama antara Kanada dengan Prancis, Ballerina (akan dipasarkan menggunakan judul Leap! di Amerika Utara), yang memiliki jalinan kisah yang senada dengan La La Land. Hasilnya, kepercayaan saya tak dikhianati. Malahan Ballerina lebih menyenangkan dan membahagiakan melebihi ekspektasi. 

January 20, 2017

REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA


“Ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.” 

Wiji Thukul, atau bernama asli Widji Widodo, dikenal sebagai penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatorial Orde Baru melalui bait-bait sajaknya yang tanpa tedeng aling-aling nan beringas. Terlibat sangat aktif dalam beragam organisasi yang vokal menyuarakan pemberontakan terhadap penguasa lalim, tak pelak menyeret Wiji untuk terus menerus berurusan dengan aparat keamanan. Bahkan, namanya tercatut dalam daftar aktivis yang dianggap bertanggungjawab atas meletusnya Kerusuhan 27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Demi menghindari cengkraman aparat, Widji pun terpaksa meninggalkan keluarga beserta kediamannya di Solo dan berpindah-pindah tempat persembunyian dari satu daerah ke daerah lain dengan sesekali memperbaharui identitas palsunya. Pelariannya tersebut turut membawa Wiji ke Pontianak dimana dia mendiami kota ini selama delapan bulan lamanya dan kepingan kisah pelariannya di kota ini lantas didokumentasikan oleh Yosep Anggi Noen melalui film panjang keduanya bertajuk Istirahatlah Kata-Kata

January 18, 2017

REVIEW : XXX: RETURN OF XANDER CAGE


“X looks out for his own.” 

Menengok resepsi mengenaskan yang diterima oleh XXX: State of Union baik dari kritikus maupun penonton, cukup mengherankan sebetulnya mengapa seri XXX (dibaca Triple X) masih berlanjut. Telah dicanangkan sejak satu dekade silam, agak-agaknya pihak studio masih menaruh harapan sekaligus melihat potensi XXX dapat dikembangkan sebagai franchise seperti dua inspirasinya, James Bond dan The Fast and the Furious. Dengan lahan jamahannya berada di ranah spionase yang menyimpan setumpuk materi menarik, tentu kesempatan tak disia-siakan begitu saja. Demi mewujudkan rencana jangka panjang tersebut, satu hal musti dilakukan adalah memperbaiki kesalahan besar lantaran menendang Vin Diesel dari posisi pemeran utama. Vin Diesel yang membintangi seri awal namun absen di jilid kedua setelah karakternya diceritakan tewas dan posisinya digantikan Ice Cube (yang tidak berkarisma sama sekali!) pun kembali direkrut. Sosok “segera menjadi ikonik” Xander Cage dibangkitkan dari kubur, lalu diminta memimpin pergerakan kisah seperti seharusnya dilakukan pula oleh film kedua. 

January 15, 2017

REVIEW : PATRIOTS DAY


“Welcome to Watertown, motherfuckers!” 

Hanya berselang tiga bulan sejak dilepasnya Deepwater Horizon – sebuah film berbasis peristiwa nyata mengenai kebakaran hebat pengeboran kilang minyak di lepas pantai – yang menandai kolaborasi kedua antara Peter Berg dengan ‘male muse’-nya, Mark Wahlberg, seusai Lone Survivor (2013) hadir film lain yang juga dicuplik dari kejadian penghias tajuk utama media-media Amerika Serikat beberapa waktu lampau yang sekali lagi (!) mempertemukan Berg bersama Wahlberg yakni Patriots Day. Didasarkan buku nonfiksi gubahan Casey Sherman dan Chris Wedge, Boston Strong, serta beberapa materi yang pernah ditayangkan oleh program televisi 60 Minutes, Patriots Day soroti tragedi pengeboman di Boston kala helatan tahunan Maraton Boston pada 2013 silam. Berbeda halnya dengan baik Lone Survivor yang luar biasa mencekam maupun Deepwater Horizon yang separuh awalnya cenderung lempeng jaya, Wahlberg tidak memerankan karakter betulan dalam Patriots Day. Sosok Tommy Saunders yang dimainkannya hanyalah tokoh bentukan untuk film yang terinspirasi dari sejumlah petugas-petugas kepolisian Boston. Keberadaan Tommy Saunders sendiri dimanfaatkan Berg sebagai ‘mata’ bagi penonton sekaligus demi menggenjot efek dramatis. 

January 13, 2017

REVIEW : LA LA LAND


“I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope.” 

Berkat Whiplash (2014), sebuah film musik tentang mimpi dari seorang penggebuk drum aliran Jazz yang intensitasnya amat kencang bak film laga, sutradara muda Damien Chazelle mendapat sorotan banyak pihak. Mumpung tengah menjadi bahan obrolan hangat, dia pun tidak menunggu waktu lama untuk melepas karya berikutnya – meski realitanya, butuh enam tahun buat meyakinkan para pendana dan rumah produksi! – yang masih berhubungan dengan musik Jazz dan tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadi sang sutradara. Jika Whiplash terinspirasi dari gurunya yang luar biasa galak semasa menimba ilmu musik, maka karya terbarunya yang bertajuk La La Land diilhami oleh jatuh bangunnya selama merintis karir di Hollywood. Dalam La La Land, Chazelle mencoba lebih ‘besar’ dengan menggunakan pendekatan musikal yang secara khusus memberikan penghormatan terhadap film-film musikal era 50’an semacam Singin’ in the Rain (1952) atau The Band Wagon (1953) sekaligus merekrut bintang-bintang Hollywood kelas A seperti Ryan Gosling dan Emma Stone guna ditempatkan di lini utama. Hmmm... belum apa-apa sudah terdengar sangat menggiurkan, bukan? Dan kenyataannya, memang semenggiurkan apa yang tertuang di atas kertas. La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh magis!   

January 10, 2017

REVIEW : AT CAFE 6


“Everyone has a similar youth, but a different life.” 

Popularitas menjulang You are the Apple of My Eye di kalangan pecinta film seantero Asia berkat guliran pengisahannya yang legit-legit nyelekit pula sangat mewakili banyak jiwa-jiwa muda yang gundah gulana akibat cinta, menciptakan sebuah tren di kalangan sineas setempat (baca: Taiwan) maupun seberangnya (baca: Cina daratan) berupa film-film romansa yang mengetengahkan tema nostalgia masa muda dengan latar era 1990-an. Beberapa judul yang tergolong berhasil mengikuti jejak dari You are the Apple of My Eye antara lain So Young, Cafe Waiting Love dan film kesukaan saya, Our Times, yang mengamini untaian lirik dari Yuni Shara, “memang benar apa kata pepatah, kalau jodoh tak lari kemanaaa...” Dengan Our Times menorehkan pundi-pundi yang ajegile selama masa penayangannya di bioskop, tentu bisa diterka tren ini pun tak akan lari kemana-mana. Benar saja, pertengahan tahun lalu, Cina daratan bersama Taiwan tandem untuk melahirkan film remaja unyu-unyu lainnya yang materinya bersumber dari novel si pembuat film, Neal Wu. Tajuk dari film tersebut adalah At Cafe 6

January 6, 2017

(Special) 16 FILM INDONESIA TERBAIK 2016 VERSI CINETARIZ


Tahun 2016 menorehkan catatan manis bagi perfilman Indonesia. Betapa tidak, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seluruh penghuni daftar “sepuluh film Indonesia paling banyak ditonton pada tahun 2016” berhasil membukukan angka lebih dari satu juta penonton. Ditambah lagi, 2016 menjadi saksi sejarah atas terciptanya rekor baru untuk film Indonesia dengan raihan penonton tertinggi sepanjang masa usai Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 menorehkan jumlah kepermirsaan sebanyak 6,8 juta mengungguli pencapaian Laskar Pelangi yang mengumpulkan 4,6 juta penonton pada delapan tahun silam. Sungguh mengesankan, bukan? 

January 4, 2017

REVIEW : THE GIRL ON THE TRAIN


“You're not gonna get rid of me. You're gonna pay for this for the rest of your life.” 

Salah satu penyebab tingginya hype yang melingkungi The Girl on the Train adalah gencarnya penyematan label “the next Gone Girl” oleh berbagai kalangan. Komparasi keduanya memang sulit terelakkan mengingat ada keserupaan pada genre, tema, sampai gender sang penulis. Konflik besarnya boleh dikata segendang sepenarian terkait menghilang secara misteriusnya seorang perempuan yang telah menyandang status “istri”. Disandingkan-sandingkan berulang kali jelas menarik perhatian khalayak ramai. Menyandang predikat best-selling novel beserta memperoleh resepsi hangat kritikus, kentara sekali “si perempuan dalam kereta” memenuhi pengharapan banyak pihak yang seketika menghantarkannya ke tahapan lebih lanjut dari sebuah novel laris: adaptasi. Nah, tahapan inilah yang lantas membawa dua novel ini berpisah jalan. Gone Girl yang beruntung digaet oleh David Fincher mendapatkan jalan mulus nyaris tanpa hambatan berarti, sementara The Girl on the Train yang ditukangi Tate Taylor (The Help) memperoleh jalur bertolak belakang. Penuh lubang dimana-mana sehingga perjalanan pun berlangsung kurang nyaman dan hanya menyisakan keluh kesah usai menontonnya. 

January 1, 2017

REVIEW : PASSENGERS


“You can't get so hung up on where you'd rather be, that you forget to make the most of where you are.” 

Cenderung sulit untuk tidak tergoda pada Passengers. Betapa tidak, film ini mengapungkan premis menggiurkan – bahkan skripnya sendiri dulunya tergabung dalam barisan skenario paling diharapkan untuk diproduksi di The Black List – mengenai sepasang manusia yang hidupnya terombang-ambing pasca terbangun dari bilik hibernasi jauh lebih awal dalam perjalanan mengarungi jagat raya dan dua pelakon utamanya, Chris Pratt beserta Jennifer Lawrence, merupakan komoditi paling panas saat ini di Hollywood. Dengan ditambah adanya keterlibatan dari Morten Tyldum yang berjasa mengantarkan The Imitation Game ke panggung Oscars di kursi penyutradaraan, Passengers kian berteriak lantang meminta perhatian kita. Mudahnya, Passengers telah memenuhi semua kriteria untuk menjelma sebagai film yang: 1) dipuja-puji oleh para kritikus, dan 2) memuaskan dahaga penonton akan film fiksi ilmiah yang bukan semata-mata mengisi otak tetapi juga hati. Ekspektasi tinggi pun terbentuk diiringi oleh pertanyaan, “apa sih yang mungkin bisa salah dari ini?.” Nyatanya, sekalipun telah membopong bibit-bibit unggul, Passengers tak berhasil tersemai secara sempurna. Hasilnya memang tidak buruk namun menengok siapa-siapa saja yang terlibat, well... ini jelas tak memenuhi pengharapan.
Mobile Edition
By Blogger Touch