December 6, 2017

DERETAN NOMINASI DI PIALA MAYA 2017


Piala Maya baru saja mengumumkan deretan nominasi untuk perhelatan tahun ke-6 yang mengusung tema Generasi Now di akun Instagram resmi miliknya pada Selasa (5/12) malam. Sebanyak 24 kategori dikompetisikan untuk film panjang bioskop. Pengabdi Setan arahan Joko Anwar memimpin perolehan nominasi di 16 kategori termasuk Film Terpilih, Sutradara Terpilih, serta Aktris Pendukung Terpilih untuk Ayu Laksmi yang memerankan Ibu.

December 2, 2017

REVIEW : COCO


“Never forget how much your family loves you.” 

Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco, maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco

October 19, 2017

REVIEW : HAPPY DEATH DAY


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang sanggup memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram erat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak saat mendengar premisnya, film arahan Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

October 14, 2017

REVIEW : ONE FINE DAY


“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.” 

Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia. 

October 10, 2017

REVIEW : JOMBLO (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan manis akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, lalu jatuh bangun dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah lama didambakan, serta menjalin hubungan akrab bersama kawan-kawan yang setia mendampingi di kala susah dan senang, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang sanggup meyakinkan penonton bahwa mereka memang bersahabat dekat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris sempurna di berbagai lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures memutuskan untuk menginterpretasi kembali tulisan Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud saya, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

October 8, 2017

DAFTAR NOMINASI DI FESTIVAL FILM INDONESIA 2017


Bertempat di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, pada Kamis (5/10) malam, deretan nominasi Festival Film Indonesia 2017 (FFI 2017) diumumkan. Dalam perhelatan tahun ini yang malam puncaknya akan diselenggarakan di Manado pada 11 November mendatang, terdapat 22 kategori kompetisi yang secara rinci terbagi menjadi 18 kategori untuk film bioskop panjang dan 4 kategori untuk film pendek, film dokumenter, serta film animasi.

Usai menyeleksi sekitar 100 judul film yang telah ditayangkan untuk publik pada periode Oktober 2016 hingga Oktober 2017, dewan juri menetapkan Cek Toko Sebelah, Kartini, Night Bus, Pengabdi Setan, serta Posesif sebagai calon utama penerima Piala Citra dalam kategori Film Terbaik. Kartini arahan Hanung Bramantyo merupakan peraih nominasi terbanyak di FFI 2017 dengan raihan sebanyak 14 nominasi.

October 1, 2017

REVIEW : PENGABDI SETAN (2017)


“Kalau memang itu Ibu, kita bilang sama dia supaya nggak ganggu kita lagi.” 

Kala melontarkan tanya seputar film horor tanah air paling seram, responden kerap kali menyebut judul Pengabdi Setan – sebuah film memedi rilisan tahun 1980 yang digarap oleh Sisworo Gautama Putra. Apabila kamu pernah menyaksikannya, maka jawaban tersebut tak akan terdengar mengejutkan di telinga karena film ini memang cukup ampuh dalam mengganggu kenikmatan tidur di malam hari. Secara penceritaan memang tak istimewa karena hanya berkisar pada pertarungan melawan kebatilan, begitu pula elemen teknisnya. Yang lantas menjadikan Pengabdi Setan versi jadul ini dikenang banyak pihak yakni kemampuan si pembuat film dalam menghadirkan rentetan teror ikonik seperti penampakan sosok ibu dalam wujud hantu, gangguan kala sholat, keberadaan villain bernama Darminah (Ruth Pelupessy) dengan tatapannya yang bikin nyali ciut, sampai serangan zombie. Salah satu pecinta film yang mengalami mimpi buruk saat menonton film ini adalah Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) yang lantas menginspirasinya untuk menggarap ulang Pengabdi Setan. Perjuangan Joko guna mengantongi izin dari Rapi Films selaku pemilik hak cipta film tidaklah main-main karena membutuhkan waktu sekitar 10 tahun sampai akhirnya rumah produksi berkenan memberinya restu. Diberi kepercayaan sedemikian besar, Joko tentu memanfaatkannya sebaik mungkin yang terpampang nyata pada hasil akhir interpretasi barunya terhadap Pengabdi Setan yang tak saja berhasil sebagai remake tetapi juga amat layak memperoleh predikat sebagai “salah satu film horor Indonesia terbaik sepanjang masa.”  

September 22, 2017

REVIEW : GERBANG NERAKA


“Yang dibutuhkan Indonesia itu sains, bukan klenik.” 

Jika kamu selama ini mengeluhkan kurangnya variasi genre dalam perfilman tanah air, rilisan terbaru rumah produksi Legacy Pictures bertajuk Gerbang Neraka yang menawarkan tema baru ini semestinya tidak kamu lewatkan begitu saja. Memiliki judul awal Firegate: Piramida Gunung Padang, film garapan Rizal Mantovani (Kuntilanak, 5 cm) ini menancapkan jejak utamanya di genre petualangan yang sebelumnya pernah coba dieksplorasi oleh sineas tanah air melalui Ekspedisi Madewa (2006) dan Barakati (2016) yang mungkin tidak terlalu familiar di telinga sebagian besar penonton tanah air. Yang lantas membedakan Gerbang Neraka dari kedua judul tersebut adalah Rizal bersama Robert Ronny selaku penulis skenario memadupadankannya dengan fantasi dan horor demi meningkatkan daya tariknya ke publik. Gagasan penceritaan untuk filmnya sendiri tercetus berkat keriuhan yang melingkungi situs punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat pada tahun 2014 silam. Berbagai temuan para peneliti melahirkan sejumlah spekulasi dari berbagai pihak yang salah satu paling santer terdengar menyatakan adanya piramida berusia sangat tua (konon usianya melebihi Piramida Giza di Mesir!) yang terkubur di bawah Gunung Padang. Sebuah spekulasi yang jelas sangat menggiurkan untuk diejawantahkan menjadi tontonan layar lebar, bukan? 

September 21, 2017

REVIEW : KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE


“Being a “Kingsman” is more than the clothing we wear or the weapons we bag. It’s about willing to sacrifice for the greater good.” 

Ditengah kecenderungan film spionase bergerak ke arah yang lebih serius dengan nada penceritaan muram – bahkan belakangan seri James Bond tidak lagi mengutamakan bersenang-senang – Kingsman: The Secret Service yang dirilis pada tahun 2014 menawarkan sebuah alternatif menyegarkan bagi para pecinta film. Sang sutradara, Matthew Vaughn (Kick-Ass, X-Men: First Class), memperkenalkan kita kepada agen rahasia anyar yang sanggup memadukan tindak tanduk ugal-ugalan bak bocah ingusan yang tidak pernah mengenal sopan santun dengan elegansi ala bangsawan Inggris. Sebuah kombinasi unik yang lantas menghadapkan penonton kepada gelaran laga berbalut komedi yang penuh gaya, berwarna, dan tanpa tedeng aling-aling dalam menggeber kekerasan demi mencapai dua tujuan: kejutan dan kesenangan. Hidangan berbeda yang materinya bersumber dari komik bertajuk sama rekaan Dave Gibbons dan Mark Millar ini tanpa dinyana-nyana sanggup memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus sehingga 20th Century Fox seketika memberi lampu hijau untuk pembuatan sekuel. Yang kemudian menjadi pertanyaan, mengingat instalmen pertama telah menetapkan standar cukup tinggi bagi film beraliran serupa, mungkinkah si sekuel dari Kingsman: The Secret Service yang diberi subjudul The Golden Circle ini berhasil melampauinya atau minimal berada di tataran yang sama? 

September 17, 2017

REVIEW : THREAD OF LIES


“Dalam hidup, kamu akan mengalami saat dimana kamu lebih ingin mencurahkan isi hati kepada orang asing daripada keluarga. Karena orang asing tidak perlu menjaga rahasiamu.” 

Pada bulan Maret silam, Netflix melepas sebuah serial bertajuk 13 Reasons Why yang didasarkan pada novel remaja laris berjudul serupa. Serial berjumlah 13 episode tersebut menjadi suatu fenomena tersendiri di kuartal pertama tahun ini lantaran keberaniannya mengeksplorasi tema-tema sensitif dalam kehidupan remaja; bullying, depresi, dan bunuh diri. Elemen misteri yang dibubuhkan ke alunan penceritaannya memberi candu bagi penonton untuk terus mencari tahu “apa sih yang sesungguhnya terjadi disini?” sekalipun bahan obrolannya terbilang berat – saya sendiri menuntaskannya hanya dalam 3 hari. Selepas menontonnya, saya tidak saja menggali informasi terkait perisakan tetapi juga mencari film bertema sejenis. Nah, apabila kamu seperti saya dan berharap bisa menjumpai film yang senada seirama, rupa-rupanya perfilman Korea Selatan telah memiliki sebuah tontonan sangat apik yang memperbincangkan perihal perisakan dan bunuh diri di kalangan remaja usia belasan semenjak tahun 2014 berjudul Thread of Lies. Disadur pula dari sebuah novel, film arahan Lee Han (Punch) ini menghamparkan potret kelam dari Negeri Gingseng yang memang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia berdasarkan data dari hasil penelitian World Health Organization. 

September 14, 2017

REVIEW : AMERICAN ASSASSIN


“The enemy dresses like a deer and kills like a lion, which is what we’ve got to do.” 

Di tengah deburan ombak kecil serta terik sinar matahari yang menyinari pantai di Ibiza, Spanyol, seorang pemuda bernama Mitch Rapp (Dylan O’Brien) melamar kekasihnya, Katrina (Charlotte Vega). Memperoleh kejutan manis seperti ini, sang kekasih yang tersenyam senyum penuh kebahagiaan buru-buru mengiyakan yang lantas disambut sorak sorai para pelancong lain yang sedang berjemur. Usai memperoleh pelukan dan kecupan dari Katrina, Mitch undur diri sejenak untuk mengambil minuman beralkohol guna merayakan salah satu momen paling berharga dalam kehidupannya yang selama ini sarat penderitaan. Kebahagiaan meluap-luap yang melingkungi Mitch, tanpa dinyana-nyana kemudian terenggut habis usai kelompok teroris Muslim pimpinan Adnan Al-Mansur (Shahid Ahmed) melepaskan tembakan ke berbagai penjuru secara membabi buta. Para pelancong yang panik pun berhamburan kesana kemari demi menyelamatkan diri masing-masing. Sebagian yang beruntung berhasil melarikan diri dengan selamat, sementara sebagian lain meregang nyawa akibat tertembus timah panas. Salah satu korban jiwa adalah Katrina yang ditembak berkali-kali tepat di depan mata Mitch yang tak bisa berbuat apa-apa. 

September 9, 2017

REVIEW : PETAK UMPET MINAKO


Apakah kamu pernah mendengar permainan asal Jepang yang disebut Hitori Kakurenbo? Pada dasarnya, permainan ini tak ubahnya petak umpet di Indonesia. Yang kemudian membedakannya adalah keterlibatan makhluk halus di dalamnya. Ya, teman mainmu tidak saja manusia, tetapi juga lelembut dari alam seberang yang memenuhi ajakan bermain usai dipanggil melalui sebuah ritual menggunakan medium boneka. Terdengar mengerikan? Tentu saja, bahkan bisa dikata berbahaya karena si makhluk halus sangat mungkin turut mengincar jiwamu. Salah satu korban dari permainan ini adalah seorang blogger bernama Sarah yang keberadaannya tak jelas rimbanya selepas mengunggah video yang menunjukkan dirinya iseng-iseng menjajal Hitori Kakurenbo. Kesahihan kabar ini memang masih dipertanyakan, namun satu yang jelas, dia telah menggemparkan dunia maya. Saking gemparnya, seorang penulis bernama pena @manhalfgod pun tergelitik untuk mengejawantahkannya ke dalam bentuk novel ratusan halaman bertajuk Petak Umpet Minako yang lantas diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul sama oleh Billy Christian (Kampung Zombie, Rumah Malaikat). 

September 7, 2017

REVIEW : IT (2017)


“Derry is not like any town I've been in before. People die or disappear, six times the national average. And that's just grown ups. Kids are worse. Way, way worse.” 

Musim panas, sesosok badut pembawa balon warna merah yang murah senyum, dan bocah-bocah berpetualang menjelajahi kota kecil mereka seraya menaiki sepeda. Sepintas memang terdengar seperti sebuah tontonan bertemakan coming of age yang bisa dinikmati seluruh anggota keluarga. Sampai kemudian kita mendapati informasi bahwa film bertajuk It ini didasarkan pada novel seram laris rekaan Stephen King dan si badut yang murah senyum tersebut merupakan perwujudan makhluk misterius yang tak segan-segan memangsa habis manusia. Ya, It adalah sebuah tontonan bergenre horor yang topik kupasannya berpijak pada rasa takut beserta trauma dari masa kecil. Ini jelas bukan untuk konsumsi mereka yang masih dibawah umur apalagi mengidap lemah jantung. 

September 2, 2017

REVIEW : BABY DRIVER


“The moment you catch feelings is the moment you catch a bullet.” 

Ketika trailer Baby Driver ditayangkan sebelum pemutaran sebuah film, saya tanpa sengaja mencuri dengar obrolan manja sepasang kekasih yang duduk tepat di sebelah kanan. “Yang, cayang, kayaknya seru tuh filmnya, mirip Fast and Furious sama Transporter,” ujar si perempuan. Mendengar ucapan tersebut, saya seketika meringis. Suatu perbandingan yang agak sedikit ekstrim sejujurnya, tapi tak bisa dikatakan salah juga karena materi promosinya memberi kesan bahwa Baby Driver akan dipenuhi adegan laga berupa kebut-kebutan mobil. Si protagonis utama pun sedikit banyak mengingatkan kita ke karakter yang dimainkan Jason Statham dalam tiga jilid Transporter; jagoan di balik kemudi yang mempunyai tugas mengantar ‘orang-orang penting’. 

August 30, 2017

REVIEW : WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2


“Asal lu tahu, kecepatan paling cepet di dunia itu mencret. Belum sempat kepikir, udah basah… kecepirit…” 

Memecah satu film menjadi dua bagian acapkali tidak memberikan hasil yang memuaskan. Terlebih jika motif utama yang melandasinya sekadar mengeruk uang sebanyak mungkin tanpa pernah memperhatikan kebutuhan cerita. Yang lantas terjadi, ketimpangan kualitas terpampang amat nyata. Satu bagian terasa sangat berisi, sementara bagian lain terasa seperti pelengkap yang dipanjang-panjangkan saja. Rumah produksi Falcon Pictures sempat mengambil keputusan kurang bijaksana ini untuk Comic 8: Casino Kings yang sejatinya sama sekali tidak membutuhkan dua bagian mengingat plotnya sendiri tidak memiliki kompleksitas berarti. Dicibir sebagian pihak, nyatanya keputusan beresiko tersebut berbuah manis. Tidak mengherankan saat kemudian rilisan besar terbaru mereka, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, arahan Anggy Umbara mendapatkan perlakuan serupa yakni dibagi ke dalam dua bagian. Sulit terhindarkan, belum apa-apa sudah muncul semacam kecemasan tontonan yang memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), ini bakal menghadapi problematika senada seperti film yang memakai embel-embel ‘part’ lainnya. Yang lantas memunculkan secercah harapan, pernyataan dari si pembuat film yang mengatakan bahwa sejak awal film telah diniatkan untuk dibagi menjadi dua jilid. Memupuskan sedikit keraguan terhadap Part 2 yang mungkin saja kurang menghibur karena kesenangan sudah digeber habis di Part 1. Betulkah tidak ada yang perlu dikhawatirkan? 

August 28, 2017

REVIEW : AMERICAN MADE


“It’s not a felony if you’re doing it for the good guys.” 

Dalam kaitannya menjalankan misi tak masuk akal, Tom Cruise tentu sudah sangat terbiasa. Tengok saja salah satu franchise yang membantu melambungkan namanya ke jajaran pelakon kelas A, Mission: Impossible, yang seperti judulnya dipenuhi rangkaian laga melampaui nalar. Tapi seperti halnya sederet film laga yang dibintanginya dalam satu dekade terakhir – rupanya memasuki usia kepala 5, Tom Cruise malah makin sering berantem dan berlari – plotnya hanyalah fiktif belaka. Karakternya pun senada, sama-sama sebagai jagoan yang sulit terkalahkan. Jika kemudian si pelakon Ethan Hunt ini merasa jenuh dan ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda dari beberapa peran terakhirnya, jelas sangat bisa dimaklumi. Dalam American Made yang mempertemukannya kembali dengan Doug Liman usai keduanya berkolaborasi di Edge of Tomorrow (2014), Tom Cruise memerankan sosok nyata yang semasa hidupnya kerap dilingkungi peristiwa tak masuk akal akibat campur tangan CIA bernama Barry Seal. Sosoknya pun tak sepenuhnya pahlawan, cenderung ke antihero, lantaran jalan hidupnya kerap mengabaikan moralitas dan sempat pula bersinggungan dengan aktivitas ilegal yang melibatkan kartel besar asal Amerika Selatan. Sesuatu yang terdengar agak menyegarkan, bukan? 

August 23, 2017

REVIEW : THE HITMAN'S BODYGUARD


“I hope they kill him, I really do. This guy single handedly ruined the word motherfucker”. 

Bagaimana jadinya saat Samuel L. Jackson yang dikenal kerap melakoni karakter bermulut besar dipasangkan dengan Deadpool, eh maksud saya Ryan Reynolds, yang juga ceriwis tak ketulungan dalam sebuah film laga komedi? Hmmm... terdengar seperti gagasan cemerlang untuk menghasilkan tontonan seru-seruan ala film dari era 80-90’an. Sepertinya bakal menjadi sajian eskapisme yang cocok ditonton di bioskop kala senggang seraya mengunyah berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Sang sutradara adalah Patrick Hughes yang sebelumnya diberi kepercayaan dalam menggarap The Expendables 3 yang dipenuhi bintang-bintang laga legendaris dan terbilang cukup seru dengan segala kenorakannya. Jadi, apa sih yang mungkin salah dari film ini? Yang mungkin salah adalah bagaimana penonton menetapkan ekspektasi terhadap film yang diberi tajuk The Hitman’s Bodyguard ini. Asalkan pengharapan disesuaikan ke mode “yang penting bisa dibuat terhibur”, rasa-rasanya kamu tidak akan keluar dari gedung bioskop sambil ngedumel karena memang The Hitman’s Bodyguard tidak pernah menganggap dirinya kelewat serius. Hanya tontonan pelepas penat yang ringan-ringan saja. 

August 20, 2017

REVIEW : THE BATTLESHIP ISLAND


The Battleship Island telah memberi tanda centang terhadap semua rumusan baku yang diperlukan untuk menjadi sebuah sajian blockbuster menggelegar. Pertama, film ini diarahkan Ryoo Seung-wan, sutradara spesialis laga yang memberi kita The Berlin File (2013) dan Veteran (2015) yang amat seru itu. Kedua, film ini dibintangi jajaran pemain kenamaan dengan kualitas akting mumpuni seperti Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun. Ketiga, film ini memboyong topik seksi berupa fiksionalisasi atas peristiwa nyata yang menimpa warga Korea di Pulau Hashima, Jepang, kala Nippon tengah beringas-beringasnya ke sesama sedulur Asia pada Perang Dunia II. Dan keempat, film ini dianggarkan dengan dana raksasa untuk ukuran film asal Korea Selatan yakni mencapai lebih dari $20 juta demi membangun set baru yang menyerupai setiap sudut Pulau Hashima. Kombinasi maut yang dipunyai The Battleship Island ini memang membuatnya terkesan sebagai tontonan gigantis dan tak mungkin salah di atas kertas – sehingga tak mengherankan empat juta warga Negeri Gingseng berbondong-bondong menyaksikannya di bioskop dalam lima hari pertama. Yang lantas menjadi pertanyaan adalah akankah realita benar-benar memenuhi ekspektasi ini atau sekali lagi realita mengkhianati ekspektasi? 

August 18, 2017

REVIEW : A: AKU, BENCI, DAN CINTA


“Selama lo ada dan gue ada, kita itu bagaikan pagi dan malam. Air dan api. Yin dan yang. Malaikat dan iblis. Dan lo malaikatnya.” 

Perseteruan tiada akhir antara seorang cewek dengan seorang cowok, seorang cowok yang gemar bergonta-ganti pasangan dalam hitungan pekan, persahabatan yang terancam mengalami keretakan hebat, seorang kekasih yang terbujur koma, dan cinta bertepuk sebelah tangan. Sejumlah plot bercita rasa dramatis yang bisa kamu temui terhampar dalam A: Aku, Benci, dan Cinta yang didasarkan pada novel remaja laris rekaan Wulanfadi. Materi sumbernya memang menjurus ke ranah melodrama yang mengajak pembacanya bertangis-tangisan dan trailer resmi dari film produksi MD Pictures ini telah mengisyaratkan bahwa versi layar lebarnya akan menempuh jalur yang kurang lebih serupa dengan sejumput bumbu komedi. Rasa-rasanya bakal sebelas dua belas dengan penyampaian Dear Nathan lah. Mempersiapkan diri untuk dibuat gemes-gemes lalu bercucuran air mata sebelum melangkahkan kaki ke dalam bioskop, tanpa disangka-sangka ternyata Rizki Balki selaku sutradara memilih melantunkan A: Aku, Benci, dan Cinta dengan pendekatan berbeda. Menghempas manja sisi mendayu-dayu, sang sutradara menginjeksi lebih banyak keceriaan yang membuat film memiliki elemen komedi kental. 

August 17, 2017

REVIEW : THE UNDERDOGS


“Kita dari SMA nggak berubah karena kita do nothing. Makanya sekarang kita harus do something." 

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena Youtubers di tanah air telah meningkat secara drastis. Bisa dikata, saban hari adaaaa saja pengguna baru situs berbagi video Youtube yang menjajal peruntungannya di dunia maya. Bagi sebagian pihak, Youtubers layak untuk diidolakan. Kreativitas mereka dalam mengkreasi konten menjadi bahan santapan yang begitu menarik buat disimak sehingga berlangganan beberapa kanal lalu mantengin layar gawai berjam-jam pun rela dilakukan. Sementara bagi sebagian pihak lain, Youtubers layak untuk dicaci. Cukup sering saya mendengar beberapa orang (entah di dunia nyata atau netizen) mencibir kualitas konten dari video yang dibuat atau semata-mata menyerang kepribadian si pembuat tanpa pernah benar-benar memahami motivasi dibalik pembuatan kanalnya. Apa betul sesederhana ingin merengkuh popularitas? Bukankah mungkin saja mereka membuatnya karena disinilah letak passion mereka? Bidang ini memang memberi iming-iming surgawi berupa mendaki tangga popularitas secara instan. Namun dibalik itu semua, membutuhkan proses panjang yang juga tidak bisa dikata mudah. Seolah menyadari tingginya persepsi negatif publik terhadap para Youtubers, Adink Liwutang melalui The Underdogs yang menandai pertama kalinya bagi dia menduduki kursi penyutradaraan mencoba untuk mengklarifikasi dengan membagi perspektif positif mengenai Youtubers. 

August 14, 2017

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

August 12, 2017

REVIEW : THE EMOJI MOVIE


“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion! I have so much more.” 

Kita telah melihat bagaimana riuhnya interaksi antar mainan saat ditinggal pergi sang majikan dalam trilogi Toy Story. Kita telah menyaksikan bagaimana serunya petualangan mengarungi dunia arcade game melalui Wreck-It Ralph. Dan kita juga telah menjadi saksi bagaimana peliknya pola kerja para emosi kala menjalankan tugasnya dalam tubuh manusia lewat Inside Out. Lalu, kapan kita akan mengintip kisah belakang layar para emoji di ponsel cerdas yang jelas mempunyai kontribusi penting atas kesuksesan atau kegagalan tersampaikannya suatu pesan teks? Ternyata, tidak membutuhkan waktu lama bagi petinggi studio di Hollywood untuk merealisasikannya. Menyadari bahwa fenomena penggunaan emoji di kalangan generasi milenial kian merebak dan terinspirasi dari kesuksesan yang direngkuh Disney/Pixar, Sony Pictures Animation pun mengajukan konsep kurang lebih senada yang tak kalah ambisius mengenai dunia para emoji di dalam sebuah aplikasi ponsel melalui karya terbaru mereka bertajuk The Emoji Movie. Ditunjuk untuk mengomandoi proyek animasi kedelapan Sony yakni Tony Leondis yang sebelumnya mengarahkan Lilo & Stitch 2 dan Igor

August 11, 2017

REVIEW : RAFATHAR


“Ini bukan bayi biasa. Ini bayi mutan, Bos.” 

Ada satu film keluarga dari era 90-an yang rutin ditayangkan beberapa bulan sekali oleh salah satu televisi swasta tanah air berjudul Baby’s Day Out (1994). Dalam film tersebut, kita melihat serentetan kekonyolan yang dialami sejumlah pelaku tindak kriminal akibat dipecundangi seorang bayi yang mereka culik dari keluarga kaya. Guliran penceritaan kurang lebih senada bisa dijumpai pula dalam film laga berbumbu komedi Rob-B-Hood (2006) yang dibintangi Jackie Chan dan film komedi romantis Demi Cinta (2017), produksi MNC Pictures dimana para penculik malah dibuat jatuh hati kepada si bayi. Dari ketiga film tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa pekerjaan menculik bayi dalam film fiktif yang sepintas tampak sangat mudah dieksekusi rupanya jauh lebih memusingkan dari yang perkirakan. Percobaan terbaru dalam menjalankan misi ‘menculik bayi’ dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam Rafathar (2017) yang konon dibuat sebagai kado ulang tahun bagi putra tercinta mereka, Rafathar Malik Ahmad. Bekerjasama dengan Umbara bersaudara; Bounty sebagai sutradara sementara Anggy di kursi produser, Rafathar dikreasi sebagai film laga komedi yang diharapkan mampu menghibur seluruh anggota keluarga. Berhasilkah? 

August 10, 2017

REVIEW : ANNABELLE CREATION


“Sister, you always say we can’t see God but we can feel His presence. In this house, I feel a different kind of presence and evil one. It’s coming after me.” 

Selain para petinggi studio yang kecipratan untung film pertama, siapa sih yang menanti-nantikan babak berikutnya dari teror boneka iblis bernama Annabelle? Dirilis pada tahun 2014 silam, Annabelle yang merupakan spin-off sekaligus prekuel bagi The Conjuring memang berhasil memperoleh ratusan juta dollar dari peredaran seluruh dunia. Akan tetapi di saat bersamaan, film ini juga meninggalkan perasaan traumatis tersendiri bagi sebagian penontonnya. Bukan karena filmnya sungguh meneror, melainkan disebabkan keburukannya yang bikin kepala pusing-pusing tidak karuan. Sebagai film horor, Annabelle sulit dikategorikan menakutkan dan lebih tepat disebut menggelikan. Namun keuntungan besar yang diperolehnya mendorong New Line Cinema untuk tetap memberi lampu hijau bagi instalmen selanjutnya yang diposisikan sebagai prekuel (well, prekuel bagi sebuah prekuel. Prequelception) dan menempatkan sutradara Lights Out, David F. Sandberg, sebagai sang nahkoda. Mengingat seri terdahulu sudah cukup buruk, tentu mustahil kan film yang diberi judul Annabelle Creation ini akan berada di level lebih rendah? Berkaca pada Ouija: Origin of Evil yang tak dinyana-nyana justru tampil superior dibanding film pertamanya, sejatinya ada harapan Annabelle Creation bisa menebus kesalahan sang predesesor terlebih tim produksinya sangat bisa diandalkan. 

August 6, 2017

REVIEW : MARS MET VENUS (PART CEWE & PART COWO)


“Pupil mata cewe itu kayak buaya. Bisa ngeliat 180 derajat tanpa ngelirik.” 

MNC Pictures punya gagasan menarik. Memecah film terbaru mereka yang bergenre komedi romantis, Mars Met Venus, menjadi dua bagian terpisah yakni Part Cowo dan Part Cewe. Ditinjau dari inti penceritaan sih, kedua film tersebut serupa. Pembedanya terletak pada perspektif dalam melihat serentetan peristiwa dalam kehidupan sepasang kekasih sedari keduanya saling lempar pandang sampai hendak melangkahkan ke jenjang pernikahan. Dalam hal ini pilihannya adalah menggunakan kacamata laki-laki atau menggunakan kacamata perempuan. Narasi semacam ini sejatinya tidak benar-benar anyar di sinema dunia karena telah diaplikasikan terlebih dahulu dalam The Disappearance of Eleanor Ribgby yang mempunyai tiga versi film; Him, Her, dan Them (gabungan antara keduanya). Tapi tentu tetap menggelitik kepenasaran bukan buat menengok bagaimana sang sutradara, Hadrah Daeng Ratu (Super Didi), mempresentasikan konsep yang tampak begitu unik di atas kertas ke dalam bahasa gambar? Apakah memang ada signifikansinya membagi satu cerita sama ke dalam dua film berbeda atau pembagian menjadi Part Cewe dan Part Cowo justru berakhir tak lebih dari sekadar gimmick? Jawabannya baru bisa kamu peroleh selepas menyaksikan kedua bagian terpisah tersebut. 

August 3, 2017

REVIEW : BANDA THE DARK FORGOTTEN TRAIL


“Melupakan masa lalu sama dengan mematikan masa depan bangsa ini.” 

Dibandingkan dengan genre lain, dokumenter terhitung paling jarang dijamah oleh para sineas di perfilman Indonesia. Dari sisi kualitas sebetulnya banyak pula yang bagus (dari beberapa tahun terakhir, dapat ditengok melalui Jalanan, Negeri di Bawah Kabut, serta Pantja-Sila), hanya saja khalayak ramai pada umumnya cenderung ogah-ogahan melahap film dokumenter disebabkan melekat kuatnya stigma yang menyatakan tontonan ini bersinggungan erat dengan kata ‘membosankan’. Tentu saja tidak bisa sepenuhnya disalahkan mengingat saya sendiri masih sering menjumpai film dokumenter tanah air, utamanya non-komersil dan pendek, yang subjek materinya disampaikan dengan narasi amat sangat kaku seperti membaca buku teks dan pilihan gambar di latar belakang sebagai penguat narasi yang kurang hidup. Monoton. Baru berjalan beberapa menit saja, rasanya sudah ingin mengibarkan bendera putih. Di tengah kekeringan ini, produser Sheila Timothy bersama rumah produksi naungannya, Lifelike Pictures, berinisiatif menghadirkan sebuah sajian dokumenter berbeda yang diharapkan mampu merangkul beragam pihak dari berbagai lapisan usia. Merekrut Jay Subyakto yang telah terlatih membesut video klip dan pagelaran konser sebagai sang sutradara, mereka menghadirkan Banda The Dark Forgotten Trail yang mengajak penonton untuk menelusuri sejarah perdagangan rempah, kepulauan Banda, serta Indonesia. 

August 1, 2017

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES


“I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now you're here. To finish us off, for good.” 

Usai sebuah virus bernama Simian Flu menyebar ke seantero dunia di penghujung instalmen pertama dari trilogi prekuel ini, perlahan tapi pasti jumlah kera yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata membengkak sementara populasi manusia terus menyurut secara drastis. Menyadari bahwa peradaban manusia berada di ujung tanduk, berbagai upaya untuk menundukkan pertumbuhan masif kera-kera cerdas pun terus dilakukan oleh faksi-faksi militan. Koba, salah satu kera yang menyimpan dendam pada manusia lantaran pernah menjadi bahan eksperimen, tentu tak tinggal diam mengetahui adanya upaya pemberantasan ini sehingga dia pun menghimpun pasukan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memerangi manusia-manusia keji di seri kedua. Pertentangan antara manusia dengan para kera berotak brilian selama bertahun-tahun ini akhirnya mencapai titik kulminasinya dalam War for the Planet of the Apes. Melalui jilid ketiga, Matt Reeves yang turut membesut instalmen sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, menghadirkan peperangan penting yang bukan saja menentukan masa depan dari dua spesies tersebut di muka bumi tetapi juga membentuk jalan menuju semesta yang dihadirkan oleh Planet of the Apes rilisan tahun 1968 selaku dedengkot franchise ini. 

July 30, 2017

REVIEW : TEN: THE SECRET MISSION



“Negara ini merdeka bukan karena bambu runcing, tapi karena ahli-ahli bela diri yang ahli menggunakan bambu runcing.”

Merekrut Iko Uwais atau Joe Taslim untuk membintangi film laga Indonesia itu sudah terlalu mainstream. Banyak yang berpikiran hal senada. Lagipula, secara bujet juga jelas akan membumbung tinggi. Kalau tidak balik modal kan, bikin hati merana. Para petinggi 0708 Films (bekerjasama dengan Starvision untuk distribusi) yang terlanjur kebelet ingin mengkreasi sebuah film penuh baku hantam dan suara-suara desingan peluru punya solusi jitu supaya bujet tetap murah meriah: bagaimana kalau kita rekrut saja para aktor amatiran dari kalangan model untuk ber bak bik buk ria? Agar sisi fun tetap sangat berasa, ditambah lagi pasar utama genre ini adalah laki-laki, modelnya tentu bukan berasal dari kalangan finalis L-Men melainkan majalah dewasa Popular. Ya, para perempuan cantik bertubuh seksi yang biasanya berlenggak-lenggok di atas catwalk atau mengikuti pemotretan dengan busana yang sangat menonjolkan lekuk-lekuk tubuh kini diajak serta oleh Helfi Kardit (Arisan Berondong, Arwah Goyang Karawang) untuk bermain peran di Ten: The Secret Mission. Perannya tidak sembarangan lho, mereka akan menjelma sebagai perempuan-perempuan tangguh yang dipercaya untuk berpartisipasi dalam misi penyelamatan. Terdengar mengasyikkan dan menggelikan di saat bersamaan, bukan? 

July 24, 2017

REVIEW : LET'S GO, JETS!


“Ada beberapa hal yang tidak bisa kita ubah begitu saja. Tapi kita harus tetap berusaha.” 

Tidak banyak film remaja/olahraga yang secara spesifik membicarakan perjuangan tim pemandu sorak SMA. Keberadaan ekstrakurikuler ini dalam film remaja buatan Hollywood memang nyaris tak pernah luput dari radar, hanya saja fungsinya sebatas gimmick atau sekadar memanfaatkan satu dua anggotanya sebagai karakter berstereotip “perempuan kejam”. Yang benar-benar peduli menyoroti jatuh bangunnya para cheerleader untuk mencetak prestasi dengan memenangkan kompetisi bisa dihitung dengan jari jemari, salah satu paling terkenal adalah Bring It On (2000) yang turut berjasa melambungkan karir Kirsten Dunst serta mempunyai serentetan sekuel tak penting yang diterjunkan langsung ke format home video. Meski Bring It On sendiri tak pernah usang menjadi bahan perbincangan di kalangan para penikmat film sampai sekarang, anehnya film bertema serupa masih sukar dijumpai. Setidaknya butuh lebih dari dua dekade untuk akhirnya mendapati sebuah film dengan cita rasa mirip. Yang tidak disangka-sangka, datangnya film termutakhir menyoal perjuangan tim pemandu sorak SMA bukan berasal dari Amerika Serikat melainkan dari Jepang. Menggunakan tajuk internasional Let’s Go, Jets!, film arahan Hayato Kawai ini didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009 hanya tiga tahun setelah resmi dibentuk. 

July 23, 2017

REVIEW : DUNKIRK


“You can practically see it from here. Home.” 

Tiada lagi penjelajahan antar galaksi antar dimensi. Tiada lagi perjalanan menyusuri alam mimpi. Tiada lagi manusia kelelawar berkedok pengusaha kaya yang memberantas para kriminal kala malam menyingsing. Dalam film terbarunya bertajuk Dunkirk, sutradara Christopher Nolan memutuskan untuk tetap menjejakkan kaki di semesta yang sangat kita kenal. Menjauhi fantasi yang berada di ranah kekuasaannya, pembesut Inception dan The Dark Knight ini mencoba untuk lebih merangkul realita dengan menghadirkan sebuah retrospektif tentang Perang Dunia II. Diantara setumpuk topik ihwal ‘teror perang, kemanusiaan, dan keajaiban’ yang dapat dipilih dari kurun waktu tersebut, Nolan menjumput topik perihal Evakuasi Dunkirk yang berlangsung sedari 26 Mei hingga 4 Juni 1940. Sebuah bahan obrolan yang terhitung menarik lantaran pahlawan dalam peristiwa ini bukanlah para prajurit yang diterjunkan ke medan peperangan melainkan rakyat sipil yang memenuhi panggilan mendadak dari pemerintah Britania Raya untuk membantu keberlangsungan proses evakuasi sebanyak 400 ribu tentara sekutu yang posisinya terdesak oleh pergerakan pasukan Adolf Hitler dari pesisir pantai di Dunkirk, Prancis. 

July 21, 2017

REVIEW : THE DOLL 2


“Aku rasa Kayla belum benar-benar pergi. Dia masih ada di sekitar kita.” 

Dibalik suka cita menyambut laris manisnya dua film horor tanah air tahun ini bak kacang goreng, Danur: I Can See Ghost dan Jailangkung, tertinggal pula gundah gulana – setidaknya bagi saya. Betapa tidak, antisipasi begitu tinggi terhadap judul-judul tersebut, ditambah The Curse yang juga tampak menjanjikan pada mulanya, dibayar oleh kekecewaan teramat sangat. Tatkala lampu bioskop dinyalakan, lalu pintu pun dibuka oleh salah seorang staf, muncul hasrat menggebu-nggebu untuk buru-buru meninggalkan tempat pertunjukkan. Bukan karena dibuatkan ketakutan, melainkan sudah jenuh bercampur bete sampai-sampai ingin menghirup udara segar dengan harapan stres dapat terhempas manja. Duh. Mengalami keapesan sebanyak tiga kali secara berurutan tentu saja bikin jera dalam menanti film memedi lokal berikutnya. Pengecualian untuk Pengabdi Setan yang masih menunjukkan adanya harapan, rentetan judul lain tak lagi terdengar menggairahkan buat disimak termasuk The Doll 2. Jilid pendahulunya memang terhitung mendingan dibanding film-film rilisan Hitmaker Studios yang lain, namun tetap belum bisa pula dikategorikan sebagai tontonan menyeramkan apalagi bagus. Itulah mengapa akhirnya diri ini enggan untuk memboyong ekspektasi apapun ketika menonton The Doll 2 yang lantas malah menghadiahi suatu kejutan cukup manis dalam pengalaman menonton saya. 

July 19, 2017

REVIEW : THE CRUCIFIXION


“Sungguh memuakkan setiap kali tipu daya berlindung dibalik kemuliaan.” 

Diantara setumpuk tema yang bisa dipilih untuk menggulirkan penceritaan dalam khasanah film horor, sineas-sineas negeri barat terhitung paling getol dalam mengelupas tema eksorsisme. Keputusan untuk mengungkit tema ini sebetulnya amat wajar mengingat praktik pengusiran setan oleh rohaniawan utusan gereja maupun ‘orang pintar’ ini sendiri amat berbahaya dan beresiko menelan korban jiwa sehingga terdengar amat seksi apabila diaplikasikan ke dalam suatu film. Semenjak The Exorcist (1973) mendapat perhatian berbagai pihak dan pada akhirnya menyandang status klasik, serentetan judul film memedi turut menyentuh tema ini yang beberapa diantaranya mempunyai kualitas diatas rata-rata seperti The Exorcism of Emily Rose (2005) dan The Conjuring (2013), meski tidak sedikit pula yang berakhir tragis. Salah satu judul terbaru yang membicarakan tentang eksorsisme adalah The Crucifixion arahan sineas Prancis, Xavier Gens (The ABCs of Death; segmen X is for XXL, Frontier(s)). Guliran kisahnya dicuplik dari sebuah kasus nyata yang menghebohkan Romania pada tahun 2005 yang disebut-sebut oleh media dengan nama ‘Tanacu exorcism’. Dalam kasus tersebut, seorang pastor dan empat biarawati didakwa bersalah atas tewasnya seorang perempuan usai disalib selama beberapa hari dalam praktik eksorsisme. 

July 16, 2017

REVIEW : BAYWATCH


“She's the reason I believe in God.” 

Apabila kamu termasuk bagian dari generasi 80-an atau 90-an dan mengakrabi budaya populer pada masa itu, tentunya mengetahui serial televisi berjudul Baywatch dong? Berceloteh mengenai sejumlah penjaga pantai yang berjibaku dengan serentetan peristiwa di area kerja mereka, serial yang sempat mengudara di salah satu televisi nasional Indonesia (kalau tayang sekarang, bakal kena blur dimana-mana tuh sampai-sampai yang keliatan cuma kepala pemainnya doang) ini merengkuh popularitasnya bukan lantaran mempunyai plot berkualitas jempolan melainkan lebih disebabkan kemurahhatiannya dalam mengumbar keseksian pemain-pemainnya serta kemasannya yang norak-norak menyenangkan – tidak mencoba sok serius. Tontonan guilty pleasure gitu lah. Yang paling diingat dari serial ini pun sebatas adegan yang memperlihatkan Pamela Anderson berlari-lari di bibir pantai mengenakan bikini berwarna merah dalam gerakan lambat, sementara lainnya... yuk dadah bye bye. Menguap cepat dari ingatan. Tapi mungkin saja itu hanya saya karena Paramount Pictures nyatanya menganggap serial ini masih memiliki brand sekaligus basis penggemar cukup kuat. Mereka merasa perlu untuk membangkitkan Baywatch kembali dalam format film layar lebar bertajuk serupa dengan barisan pemain yang tentu saja dirombak habis-habisan menyesuaikan zaman dan merangkul genre komedi ketimbang sebatas berada di ranah drama aksi seperti materi sumbernya. 

July 11, 2017

REVIEW : DESPICABLE ME 3


“Face it, Gru. Villainy is in your blood!” 

Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah? 

July 10, 2017

REVIEW : FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY


“Ada satu filosofi yang tidak pernah ditulis tapi selalu ada di setiap cangkir yang dibuat di kedai ini. Setiap hal yang punya rasa, selalu punya nyawa.” 

Sebagian besar penonton yang menjadi saksi atas jatuh bangunnya dua sohib kental merangkap rekan bisnis, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto), dalam menyelamatkan bisnis kedai kopi yang mereka kelola di Filosofi Kopi (2015) arahan Angga Dwimas Sasongko mungkin beranggapan bahwa keputusan keduanya untuk mengkreasi kedai keliling menggunakan kombi adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan sederet problematika sekaligus mengakhiri kisah perjuangan mereka. Kemungkinan film akan berlanjut ke jilid kedua: hampir mustahil. Mengingat gelaran konflik di film keluaran Visinema Pictures ini sejatinya dikembangkan dari cerita pendek dengan tuturan sederhana saja rekaan Dewi ‘Dee’ Lestari, tentu anggapan ini terasa wajar. Mudahnya, apa lagi sih yang hendak dicelotehkan apabila film dibuatkan seri kelanjutannya? Tatkala penonton meyakini Ben dan Jody telah memperoleh ‘happily ever after’ yang mereka idamkan, tidak demikian halnya dengan Angga beserta tim kreatifnya. Masih ada banyak hal yang bisa dikulik dari perjalanan dua sahabat ini bersama kedai Filosofi Kopi termasuk bagaimana dampak atas langkah besar yang mereka ambil di penghujung film. Melalui Filosofi Kopi 2: Ben & Jody yang berhasil tersaji sebagai tontonan lucu, emosional, sekaligus hangat, Angga membuktikan bahwa keputusan untuk membuatkan sekuel nyatanya tepat adanya. 

July 6, 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

July 5, 2017

REVIEW : OKJA


“The Mexicans love the feet. I know. Go figure. We all love the face and the anus, as American as apple pie. Hot dogs. It's all edible. All edible, except the squeal.” 

Ada kabar gembira bagi para pecinta sinema dunia. Salah sutradara terkemuka di Korea Selatan, Bong Joon-ho (The Host, Mother), telah keluar dari pertapaannya dan mempersembahkan sebuah tontonan yang sekali lagi akan mengusik emosi beserta pikiranmu di saat bersamaan bertajuk Okja. Menjadi film berskala internasional Bong Joon-ho yang kedua seusai Snowpiercer (2013) yang merupakan sebentuk sentilan terhadap stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat modern, Okja yang memperoleh suntikan pendanaan sebesar $50 juta dan diproduksi oleh Netflix sehingga memungkinkannya untuk dikonsumsi khalayak ramai dari berbagai penjuru dunia secara bersamaan melalui gawai personal masing-masing ini menghadirkan barisan pemain bernama besar seperti Tilda Swinton, Jake Gyllenhaal, Paul Dano, Shirley Henderson, Giancarlo Esposito, dan Lily Collins. Mereka beradu peran bersama Ahn Seo-hyun, Byun Hee-bong, Yoon Je-moon, beserta Choi Woo-shik yang mewakili kubu Korea Selatan dan telah dikenal baik di negaranya. Seperti halnya film-film terdahulu dari sang sutradara, Okja pun masih bermain-main di ranah satir dibalik kemasannya sebagai tontonan blockbuster bergenre action-adventure dengan sentilan utamanya kali ini menyinggung perihal kapitalisme, konsumerisme, hingga politik pencitraan. 

June 28, 2017

REVIEW : JAILANGKUNG


“Jailangkung, jailangkung. Disini ada pesta kecil-kecilan. Datang gendong, pulang bopong.” 


Dilepas di bioskop tanah air pada tahun 2001 silam, film horor bertajuk Jelangkung yang diarahkan oleh duo Rizal Mantovani – Jose Poernomo memperoleh sambutan sangat antusias dari masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai salah satu film yang berjasa dalam membangkitkan kembali perfilman Indonesia dari mati suri menahun bersama Petualangan Sherina serta Ada Apa Dengan Cinta?. Kesuksesan yang direngkuhnya lantas melahirkan dua sekuel (Tusuk Jelangkung, Jelangkung 3), sebuah spin-off (Angkerbatu), dan sebuah prekuel (Cai Lan Gong) yang sebagian besar memperoleh resepsi kurang memuaskan. Di tengah mengemukanya tren membangkitkan kembali film yang telah mempunyai ‘nama besar’ pada dua tahun terakhir dan menyadari bahwa masih banyak kisah yang bisa dieksplorasi lebih jauh khususnya berkenaan dengan mitologi permainan jailangkung, rumah produksi Screenplay Films bekerjasama dengan Legacy Pictures lantas memutuskan merekrut duo Rizal-Jose untuk menggarap versi terbaru dari Jelangkung yang diberi judul Jailangkung. Bukan sebentuk film kelanjutan melainkan lebih mendekati ke reboot, Jailangkung tidak memiliki keterkaitan dengan versi terdahulu disamping keterlibatan kedua sutradara yang dipercaya menahkodai proyek besar ini plus penggunaan permainan tradisional bernuansa mistis sebagai penggerak roda penceritaan.

Mobile Edition
By Blogger Touch