October 30, 2016

REVIEW : DOCTOR STRANGE


“You think you know how the world works. You think this material universe is all there is. What if I told you the reality you know is one of many?” 

Dengan pustaka film kepunyaan Marvel Studios telah mempunyai sejumlah koleksi terhitung sangat impresif semacam Iron Man 2, Captain America: Winter Soldier, sampai The Avengers, sejatinya sudah cukup sulit membayangkan langkah apa selanjutnya yang bakal mereka tempuh guna mempertahankan posisi sebagai penghasil adaptasi film komik terkemuka di dunia saat ini. Di kala pesimistis mulai mengusik, serentetan kejutan satu demi satu menyeruak berwujud Guardians of the Galaxy yang berjasa mempopulerkan kembali tembang-tembang dari era 60-70’an, Ant-Man mencuplik elemen heist movie, hingga paling anyar, Doctor Strange, yang menguatkan kembali keyakinan bahwa studio ini tidak akan membuat film buruk... setidaknya dalam waktu dekat. Tajuk utama dari film keempat belas dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe ini sendiri telah berteriak cukup lantang untuk menggambarkan seperti apa tontonan yang bakal kita dikonsumsi, yaitu strange (aneh) – meski kata “strange” disini merujuk pada nama belakang si karakter utama, bukan berfungsi sebagai kata sifat. Akan terdengar cenderung hiperbolis memang menyebut Doctor Strange sebagai sebuah “the strangest mainstream movie I’ve ever seen!”, tapi memang begitulah adanya. Mendobrak segala batasan-batasan yang ada, film arahan Scott Derrickson ini membawamu menjelajahi dunia imajinasi yang boleh jadi tak pernah kamu bayangkan akan bisa dicicipi di film superhero sebelumnya. 

Sebagai sebuah origin story, Doctor Strange memang tidak membawa banyak pembaharuan dari sektor plot. Polanya serupa tapi tak sama dengan film-film Marvel Studios terdahulu, utamanya Iron Man, mengingat karakter Dokter Stephen Strange (Benedict Cumberbatch) adalah seorang jenius kaya nan arogan seperti halnya Tony Stark. Arogansi Strange terbentuk lantaran dia memiliki kecerdasan diatas rata-rata yang berkontribusi dalam melesatkan karirnya menjadi salah satu dokter spesialis bedah syaraf paling berpengaruh. Akan tetapi, segala kesempurnaan dalam hidup Strange seketika terenggut saat kedua tangannya tidak bisa lagi berfungsi secara semestinya pasca dia mengalami kecelakaan mobil hebat. Jangankan untuk berakrobatik di ruang operasi, sekadar mencukur jambang saja kesulitan bukan main. Berbulan-bulan memburu bantuan dari dunia medis modern guna memulihkan tangannya namun tak satupun membawa hasil, pencarian Strange lantas membawanya ke Nepal setelah memperoleh informasi dari mantan penderita paraplegia (kelumpuhan syaraf di bagian bawah tubuh) yang kini telah bisa berjalan. Konon di sebuah tempat bernama Kamar-Taj, tersimpan keajaiban dan kekuatan sulit terjabarkan yang memungkinkan para penghuninya menembus dimensi ruang serta waktu. Terbiasa menggunakan nalar sebagai solusi, logika berpikir Strange pun terusik sampai kemudian pemilik tempat keramat tersebut, The Ancient One (Tilda Swinton), menunjukkan apa yang bisa diperbuatnya apabila dia mampu menguasai ilmu-ilmu mistis. 

Doctor Strange itu aneh, memang benar. Tapi bukan aneh dalam makna peyorasi, melainkan justru sebaliknya dimana kamu akan disuguhi pertunjukkan visual sinting yang akan membuatmu mengucap syukur karena teknologi telah berkembang pesat dewasa ini. Tidak sekadar ingin pamer kecanggihan efek khusus buat gaya-gayaan kepada penonton – tanpa ada sedikitpun signifikansi terhadap pergerakan plot film itu sendiri seperti sering dilakukan oleh mayoritas film blockbuster – penerapan keajaiban teknologi dalam Doctor Strange dilakukan sebagai medium buat bercerita. Ada kebutuhan mendesak dibaliknya yaitu demi memvisualisasikan konsep dimensi lain (seperti Dimensi Cermin), keberadaan multisemesta, serta unsur magis yang bisa digapai dari pembelajaran soal mystic arts seperti dimaui sang kreator, Steve Ditko. Mendeskripsikan seperti apa kreativitas visualisasinya dalam bentuk untaian kata-kata tidak juga mudah sehingga penggunaan referensi film Inception arahan Christopher Nolan pun tak terelakkan. Ini berlaku untuk Dimensi Cermin dengan gravitasi jungkir balik, bangunan-bangunan pencakar langit yang terlipat-lipat bak kertas origami, sampai pergantian tanpa henti struktur kota. Sedangkan saat jiwa raga Strange diboyong The Ancient One menjelajahi dimensi lain, Scott Derrickson mengaplikasikan visual bergaya psychedelic yang akan turut memberimu ketakjuban sekaligus kecemasan di saat bersamaan hasil dari rasa sangat mengganggu yang ditimbulkan oleh visual tersebut. 

Unggul banyak dari sisi tampilan, Doctor Strange tidak kemudian berakhir sebagai tontonan style over substance. Walau plotnya kagak istimewa-istimewa amat – keluhan terbesar adalah polanya seirama dengan beberapa film Marvel sebelum ini – Scott Derrickson dan penulis skenario C. Robert Cargill tetap sanggup membentuk guliran pengisahan yang renyah buat dikudap serta mudah dinikmati. Hentakan telah dimulai sedari menit pertama saat The Ancient One memburu mantan muridnya yang membelot, Kaecilius (Mads Mikkelsen), dalam sebuah adegan kejar mengejar penuh energi dengan sebelumnya penonton terlebih dahulu diberi pemandangan mengejutkan terkait pemenggalan kepala (seriously, didn’t see that one coming!). Nada film yang terbentuk agam suram di permulaan lantas berlanjut, menggelayuti hari-hari Strange usai kecelakaan mencederai parah kedua tangannya. Mencapai titik ini sempat muncul tanda tanya besar apakah Marvel Studios mencoba merevolusi cara bertutur mereka melalui tone yang lebih kelam, sampai si titular character menjejakkan kaki di Kathmandu, Nepal, dan diantar Karl Mordo (Chiwetel Ejiofor) menuju Kamar-Taj dimana humor-humor one-liner pemicu gelak tawa mulai berhamburan satu demi satu mencerahkan suasana. Alih-alih mendistraksi, pembubuhannya mulus menyatu bersama plot dan turut mengeskalasi level excitement dari film. 

Tentu, salah satu kunci keberhasilan dari tersampaikannya serentetan kelakar lucu adalah performa jitu para pelakonnya terutama Benedict Cumberbatch yang perannya disini sedikit banyak mengingatkan pada Sherlock. Ya, kejelian dalam kasting pemain merupakan satu dari sejumlah keunggulan utama yang dipunyai Marvel Studios. Doctor Strange bisa jadi tidak akan sememikat ini apabila tidak memperoleh sokongan mengagumkan dari ensemble cast-nya yang kompak bermain bagus. Benedict Cumberbatch, sang punggawa departemen akting, menyuntikkan jiwa bagi sosok Strange. Terkadang dia sungguh menyebalkan sampai-sampai kita berharap tidak mempunyai rekan kerja seperti dia, terkadang dia memberi keceriaan di tengah-tengah suasana serba kaku maupun tegang melalui celetukan-celetukan konyolnya, terkadang dia tampak cerdas nan berwibawa sehingga kita memahami mengapa The Ancient One memberi kepercayaan besar padanya, dan terkadang pula dia terlihat sebagai sosok rapuh yang membutuhkan pelukan hangat dari kita. Kepiawaian Cumberbatch berolah-alih mempermainkan rasa sesuai kebutuhan membuat penonton tidak kesulitan untuk menginvestasikan emosi. Begitu pula Tilda Swinton yang karismatik (salah satu momen terbaiknya ada di adegan balkon), Chiwetel Ejiofor yang sikapnya dipenuhi ambiguitas, Mads Mikkelsen yang menguarkan aroma mengancam, Benedict Wong sebagai pustakawan Kamar-Taj senantiasa mencuri perhatian di setiap kemunculannya, dan Rachel McAdams dengan jatah tampil terbatas sebagai rekan kerja Strange berkontribusi memaksimalkan akting Cumberbatch tiap kali keduanya bersinggungan. Mereka adalah senjata bagi Doctor Strange untuk memenuhi potensinya disamping hamparan visual mengagumkan beserta penuturan mengasyikkan.

Outstanding (4/5)

Note : Dua adegan bonus terselip masing-masing di pertengahan dan penghujung credit title. Sebaiknya bertahanlah hingga film benar-benar habis karena keduanya teramat sayang buat dilewatkan. 



11 comments:

  1. nice review, dan review Anda sering menjadi referensi saya untuk nonton hehhehe...sepakat memang plot tidak istimewa banget. terkait karakter Dr Strange menurut saya, kehandalan Benedict dalam mendelivery humornya belum sekeren Tony Stark dalam karakternya. (tapi memang bukan hak saya sih untuk menuntut itu hehehehe)
    bagian ending juga terasa agak kurang klimaks sih...karena effort yang digunakan untuk mengalahkan Dormammu terasa terlalu gampang.

    thank u....

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Budi: Oh jelas, Robert Downey Jr. masih lebih bagus dalam nyampein humor ketimbang Benedict. Berasa effortless gitu. Soal ending, aku kok malah sangat menyukainya ya? Memang sih kesannya si villain gampang banget dikalahinnya, cuma buatku eksekusinya segar dan kreatif.

      Delete
  2. reviewnya cakep, jadi tambah pingin nonton ni film..

    ReplyDelete
  3. itu aktornya yang main di film detektif serlock holmes yaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Vinz: Yup. Yang versi serial keluaran BBC ya. Kalau versi filmnya sih yang jadi Tony Stark.

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. sepaham mang, entah kenapa nonton ini jadi inget iron man, cma baru ini super villainnya dikalahin dengan cara kocak wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. @fatur: Iyah. Kocak dan berbeda, nggak ada yang nyangka kan kalau Strange bakal ngalahin musuh utamanya dengan metode berunding? Hahaha

      Delete
  6. Soal casting emang Marvel gk perlu di pertanyakan. Sudah pilihan yang tepat aktor serba bisa (pertimbangan referensi film film benedict yang udah2,, trutama dia berhasil menghidupkan karakter Khan Noonien Singh sebagai villain paling karismatik Star Trek sejauh ini ) Benedict dapet peran Doctor Strange. menyisihkan Joaquin Phoenix & Ethan Hawke dalam proses casting. Juga jajaran pemeran lain yang memang sangat berhasil memberi jiwa di peran masing-masing. Finally ,,, Good Job Marvel. Nice Review ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Ferdi: hebatnya lagi, perannya emang tepat bagi aktor-aktor bagus ini jadi mereka pun tak tersia-siakan begitu saja (kecuali mungkin kasusnya Rachel McAdams disini yang kurang mendapat tempat).

      Delete
  7. Blm nonton ini krn blm ada waktu, nuansa2 ada scene spt inception ya kak ?

    Nonton film horror
    Download film horror

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch