October 30, 2016

REVIEW : DOCTOR STRANGE


“You think you know how the world works. You think this material universe is all there is. What if I told you the reality you know is one of many?” 

Dengan pustaka film kepunyaan Marvel Studios telah mempunyai sejumlah koleksi terhitung sangat impresif semacam Iron Man 2, Captain America: Winter Soldier, sampai The Avengers, sejatinya sudah cukup sulit membayangkan langkah apa selanjutnya yang bakal mereka tempuh guna mempertahankan posisi sebagai penghasil adaptasi film komik terkemuka di dunia saat ini. Di kala pesimistis mulai mengusik, serentetan kejutan satu demi satu menyeruak berwujud Guardians of the Galaxy yang berjasa mempopulerkan kembali tembang-tembang dari era 60-70’an, Ant-Man mencuplik elemen heist movie, hingga paling anyar, Doctor Strange, yang menguatkan kembali keyakinan bahwa studio ini tidak akan membuat film buruk... setidaknya dalam waktu dekat. Tajuk utama dari film keempat belas dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe ini sendiri telah berteriak cukup lantang untuk menggambarkan seperti apa tontonan yang bakal kita dikonsumsi, yaitu strange (aneh) – meski kata “strange” disini merujuk pada nama belakang si karakter utama, bukan berfungsi sebagai kata sifat. Akan terdengar cenderung hiperbolis memang menyebut Doctor Strange sebagai sebuah “the strangest mainstream movie I’ve ever seen!”, tapi memang begitulah adanya. Mendobrak segala batasan-batasan yang ada, film arahan Scott Derrickson ini membawamu menjelajahi dunia imajinasi yang boleh jadi tak pernah kamu bayangkan akan bisa dicicipi di film superhero sebelumnya. 

October 25, 2016

REVIEW : BRIDGET JONES'S BABY


“Well, I can always find time to save the world. And Bridget, you're my world.” 

Pasca bersatunya Bridget Jones (Renee Zellweger) dengan Mark Darcy (Colin Firth) di penghujung Bridget Jones: The Edge of Reason – sebuah sekuel kebablasan nan menggelikan bagi Bridget Jones’s Diary – ditambah resepsi kurang memuaskan bagi film kedua, sebetulnya tidak banyak yang mengantisipasi keberadaan jilid ketiga terlebih rentang waktunya sudah terlampau panjang (lebih dari satu dekade lho!). Namun ternyata pihak studio, Working Title, belum siap untuk memberhentikan franchise ini begitu saja. Mereka lantas merekrut kembali dream team dari seri-seri terdahulu, termasuk Hugh Grant yang kemudian memutuskan hengkang di tengah-tengah pengembangan proyek, dan melahirkan film ketiga bertajuk Bridget Jones’s Baby yang sekali ini materi ceritanya tidak diekranisasi dari novel buatan Helen Fielding selayaknya dua film pertama melainkan hasil urun rembuk Fielding bersama Dan Mazer dan Emma Thompson. Hasilnya, sebuah nostalgia manis pula menhangatkan hati yang akan mengingatkanmu kembali mengapa sosok Bridget Jones banyak dicintai oleh beragam kalangan.

October 21, 2016

REVIEW : ME VS MAMI


Dengan dibekali skrip, pengarahan beserta lakonan ciamik dan bukan semata-mata bentuk perpanjangan dari video pariwisata, probabilitas sebuah road movie berakhir menggelorakan semangat dalam artian asyik buat disantap sebetulnya cenderung lebih besar ketimbang kering kerontang. Me Vs Mami, keluaran teranyar MNC Pictures, mempunyai modal mumpuni untuk tegak berdiri diantara jajaran film-film yang mengambil pendekatan road movie. Betapa tidak, film ini mempunyai Cut Mini (salah satu aktris terbaik di perfilman Indonesia) di lini utama, disutradarai Ody C. Harahap yang berjasa memberi penonton kekacauan seru nan menyenangkan dalam wujud Kapan Kawin? maupun Skakmat, dan premisnya perihal perjalanan darat penuh lika-liku pasangan ibu-anak perempuan yang tidak akur begitu menggiurkan. Jaminan mutu seolah telah jelas ada dalam genggaman. Dengan rilisan pekan lalu bertajuk Wonderful Life yang mengangkat semangat senada – hanya saja aura sentimentilnya lebih pekat – melampaui ekspektasi, ada sejumput euforia menyertai buat sesegera mungkin menyantap Me Vs Mami yang ternyata oh ternyata, sayang beribu sayang, merupakan anggota baru dari klub “film yang kesulitan memenuhi potensi besarnya”. 

October 18, 2016

REVIEW : ADA CINTA DI SMA


Mudah untuk menganggap sebelah mata Ada Cinta di SMA arahan Patrick Effendy. Menilik sejarah ketidakberhasilan Patrick Effendy, manajer CJR, dalam mengarahkan anak-anak asuhnya di film debutannya bertajuk CJR the Movie yang tak ubahnya film jalan-jalan banal adalah salah satu alasan. Alasan lain, menjumpai film remaja berbasis percintaan buatan sineas tanah air yang nyaman buat ditonton sudah teramat sangat sulit. Jika bukan epigon dari Ada Apa Dengan Cinta? yang simpul penceritaannya sengaja dirumit-rumitkan padahal pokok konfliknya sederhana, ya berusaha terlalu keras menjadi romantis lewat untaian dialog-dialog yang harus banget bisa dikutip. Boleh dikata, skeptisisme atas film romansa muda mudi sudah sama tingginya dengan skeptisisme pada film horor dalam negeri. Itulah mengapa Ada Cinta di SMA yang dijual sebagai film perpisahan CJR kepada para Comate (sebutan untuk jajaran penggemar beratnya) tidak secara instan mencuri perhatian begitu dilepas, kecuali bagi basis penggemarnya. Dilingkungi sikap suudzon bahwa ini hanyalah film remaja menjemukan nan menjengkelkan lainnya, Ada Cinta di SMA nyatanya justru membawa kejutan besar bagi mereka yang telah meremehkannya. Manis, menggemaskan, dan menghibur, ini adalah film yang akan membuat para penontonnya tersenyam-senyum bahagia sepanjang menontonnya. 

October 12, 2016

REVIEW : MISS PEREGRINE'S HOME FOR PECULIAR CHILDREN


“You don't have to make us feel safe, because you've made us feel brave.” 

Seperti telah kehilangan mojo-nya, Tim Burton tergagap-gagap dalam memberikan impresi mendalam melalui beberapa film terakhirnya terkhusus selepas era Sweeney Todd (2007). Memang tidak ada satupun yang sampai berakhir mengenaskan bahkan terhitung tetap berada di level “diatas rata-rata”, hanya saja mengingat kita mengetahui reputasi serta seberapa tinggi kapabilitas sutradara berciri khas gothic ini tentu film-film ‘kering’ yang lebih menekankan pada permainan visual daripada substansi adalah suatu kemunduran. Dengan kekecewaan berulang, tentu tidak banyak pengharapan tersemat ke film terbarunya, Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children, yang didasarkan pada novel young adult bertajuk serupa karya Ransom Riggs walau sekali ini Burton kembali menceburkan diri ke ranah kegemarannya: petualangan bernuansa fantasi yang gelap bagi bocah-bocah terpinggirkan. Membawa sejumput ekspektasi saja ke gedung bioskop – apalagi saya belum pernah sedikitpun menyentuh novel buatan Riggs tersebut – nyatanya menghadirkan keuntungan tersendiri. I quite enjoyed it. Terdapat kesenangan berikut sekelumit excitement dalam Miss Peregrine yang belakangan cenderung agak sulit ditemukan di film-film Burton. 
Mobile Edition
By Blogger Touch