April 30, 2016

REVIEW : ADA APA DENGAN CINTA? 2


“Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu... jahat.” 

Empat belas tahun silam, Cinta (Dian Sastrowardoyo) melepas kepergian sang kekasih hati, Rangga (Nicholas Saputra), yang bertolak ke New York di bandara. Diabadikan dalam sebuah adegan yang ikonis, perpisahan dramatis tersebut berujung kecupan pertama. Rangga pun meninggalkan secarik kertas berisi puisi berlarik manis untuk Cinta yang dalam salah satu baitnya berbunyi, “aku akan kembali dalam satu purnama untuk mempertanyakan kembali cintanya.” Tersisip janji besar yang meredakan kegundahan hati Cinta lantaran ditinggal Rangga melintasi benua lain. Paling tidak, ada sedikit kejelasan dari sang pujangga untuk Cinta – serta penonton – bahwa dirinya tidak akan membiarkan api asmara tersebut padam begitu saja hanya karena jarak. Happily ever after? Dalam harapan kita sebagai pengamat kisah percintaan Cinta dan Rangga selepas menonton Ada Apa Dengan Cinta?, tentu saja demikian. Namun kita perlu mengingat, realita tidak selalu berbanding lurus dengan ekspektasi terlebih tidak sedikit pula cerita pedih dibalik sebuah long distance relationship. Kemungkinan demi kemungkinan dalam perjalanan asmara keduanya pun terbuka lebar. Apakah benar mereka akhirnya bersatu? 

April 24, 2016

REVIEW : EYE IN THE SKY


“Never tell a soldier that he does not know the cost of war.” 

Tatkala mengetahui bahwa Eye in the Sky bakal mengambil latar minimalis (sebagian besar di dalam ruangan!) dengan plot hanya berkisar pada pengambilan keputusan atas sebuah penyerangan, kesan yang mungkin pertama kali berkelibat di benak kebanyakan orang adalah “membosankan banget” terlebih kandungan politisnya cukup pekat. Setidaknya begitulah perkiraan awal saya terhadap film arahan Gavin Hood (Tsotsi, X-Men Origins: Wolverine) ini mengesampingkan rentetan daftar pemainnya yang menggiurkan. Tanpa memboyong ekspektasi tinggi ke dalam gedung bioskop, saya justru terkecoh karena kenyataannya “membosankan” adalah kata terakhir yang bisa dipilih untuk mendeskripsikan film ini. Eye in the Sky sungguh piawai dalam membetot atensi penonton sedari adegan pembuka hingga credit title bergulung-gulung di layar melalui kemahirannya menyampaikan cerita, menciptakan nuansa yang tepat, dan parade akting-akting jempolan. Lebih dari itu, ini adalah sebuah tontonan dengan permainan emosi kelas wahid dan ketegangan yang diatur untuk senantiasa berada di level paling atas. 

April 21, 2016

REVIEW : THE HUNTSMAN: WINTER'S WAR


“Whoever gets in there will be unstoppable.” 

Menilik respon kurang membahagiakan yang diterima Snow White and the Hunstman kala dilempar ke pasaran empat tahun silam – plus adanya skandal antara Kristen Stewart dengan sang sutradara – agak mengejutkan Universal berusaha untuk tetap mengkreasi franchise bagi adaptasi dongeng Putri Salju ini. Bisa jadi, mengguritanya Disney di industri hiburan berkat interpretasi baru terhadap dongeng-dongeng klasik pengantar tidur adalah motivasi utama mereka melahirkan The Huntsman: Winter’s War yang dijual sebagai “cerita sebelum Snow White” dalam materi promosinya. Jualan untuk prekuel sekaligus sekuel (ya, keduanya!) bagi sang predesesor ini tidak hanya berhenti sampai disitu karena sejumlah bintang kelas A pun turut direkrut, seperti Jessica Chastain dan Emily Blunt, disamping Charlize Theron beserta Chris Hemsworth yang kembali mengulang peran mereka. Dengan konfigurasi lini pemain utama semenggoda ini, tentu ada harapan The Huntsman: Winter’s War sanggup menebus kesalahan-kesalahan jilid sebelumnya. Tapi harapan tinggalah harapan kala apa yang terlihat hebat di atas kertas ternyata kesulitan mengilap begitu terpampang di layar perak. 

April 17, 2016

REVIEW : 10 CLOVERFIELD LANE


“Crazy is building your ark after the flood has already come.”

Ada tiga karakter inti yang menjadi ujung tombak bagi 10 Cloverfield Lane; Michelle (Mary Elizabeth Winstead), Howard (John Goodman), dan Emmett (John Gallagher, Jr.). Ketiganya mendiami sebuah bunker di bawah ladang jagung milik Howard lantaran si empunya bunker percaya ada bahaya tak terjelaskan mengintai di permukaan tanah. Tanpa membeberkan sedikitpun informasi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi – walau hanya secuil sekalipun – penonton dibiarkan dalam fase bertanya-tanya dengan rasa kepenasaran tinggi. Si pembuat film yang baru saja melakukan debut layar lebarnya disini, Dan Trachtenberg, menginginkan kita untuk memberikan fokus lebih kepada interaksi maupun perkembangan ketiga karakter utama. Mereka bertiga adalah sekumpulan orang asing tanpa ada tali penghubung satu sama lain yang kebetulan dipertemukan oleh nasib buruk. Siapa mereka? Mengapa mereka bisa berada di tempat tersebut? Apa mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya? adalah pertanyaan yang mungkin menghantuimu setidaknya hingga 10 Cloverfield Lane mencapai separuh perjalanan. 

April 14, 2016

REVIEW : THE JUNGLE BOOK


“If you can't learn to run with the pack, one of these days, you'll be someone's dinner.” 

Seusai dibuat terperangah oleh pemanfaatan maksimal kemajuan teknologi dalam Avatar, Life of Pi, maupun Gravity sehingga ketiganya sangat layak disemati label “keajaiban sinema”, kini giliran adaptasi terbaru dari The Jungle Book yang membuat saya berdecak kagum tiada habis-habisnya di dalam bioskop. Mungkin pemakaian kata ‘mahakarya’ agak sedikit terdengar berlebihan, tapi entahlah, saya kesulitan menemukan padanan paling tepat untuk mendeskripsikan seperti apa kegemilangan film arahan Jon Favreau (dwilogi Iron Man, Chef) ini. Dari segi tuturan cerita sih sebetulnya hampir tidak ada pembaharuan karena seperti halnya versi anyar Cinderella yang dilepas oleh Disney tahun lalu, The Jungle Book pun cukup setia terhadap alur yang telah digariskan oleh Rudyard Kipling. Jika kamu telah membaca bukunya atau setidaknya telah menonton sejumlah film adaptasi lainnya, kejutan adalah hal terakhir yang mungkin kamu temukan disini. Segalanya terasa sangat familiar. Namun cara Favreau menceritakan kembali kisah klasik ini tanpa neko-neko menggunakan medium bahasa gambar yang telah di-upgrade ke kelas premium adalah alasan utama mengapa The Jungle Book mudah untuk dicintai. 

April 11, 2016

REVIEW : 13 HOURS: THE SECRET SOLDIERS OF BENGHAZI


“You can't put a price on being able to live with yourself.” 

Sebagai seseorang yang tidak bisa lagi menikmati karya Michael Bay paska sang sutradara menekuni dunia penuh keglamoran efek khusus di Transformers, saya sungguh terkejut mendapati apa yang telah diperbuat Bay di 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi. Para penggemar beratnya mungkin mempunyai pendapat berbeda, namun bagi saya, 13 Hours menempati salah satu posisi teratas di deretan film-film terbaik yang pernah dibuat oleh Michael Bay. Sudah sembilan tahun lamanya, atau semenjak Transformers jilid pertama, tidak pernah kembali merasakan sensasi menonton dalam tingkatan puas kala melahap karya-karya pembesut Armageddon tersebut. Memang sih sebagai sebuah film yang sama-sama mengusung tentang kisah patriotisme tentara Amerika Serikat dalam ‘misi suci’ di negeri orang 13 Hours tidak berada di level setara dengan Black Hawk Down, The Hurt Lockers ataupun American Sniper yang lebih kental permainan emosinya, tapi film berdasarkan buku bertajuk sama rekaan Mitchell Zuckoff ini tetaplah suatu produk unggul yang akan membuatmu mengalami guncangan cukup hebat di dalam bioskop lantaran penggambaran realistisnya perihal kondisi peperangan. 

April 1, 2016

REVIEW : MY BIG FAT GREEK WEDDING 2


“Now my family has come together to pull off another big fat greek wedding.” 

Pertama kali rilis di bioskop menjelang Musim Panas tahun 2002, My Big Fat Greek Wedding adalah film kecil biasa yang keberadaannya hampir tidak terendus oleh penonton mayoritas. Dengan satu-satunya nama besar di film, Tom Hanks, tak ikut nampang di depan layar, ya siapa peduli? Tetapi nasib memang sukar diterka karena siapa menyangka film mengenai ‘Cinderella story’ dengan poros karakter keluarga Yunani di Amerika ini meledak luar biasa dua puluh minggu kemudian? Bermodalkan $5 juta, mencetak $600 ribu di minggu pertama, My Big Fat Greek Wedding membukukan angka $240 juta di akhir peredarannya yang sekaligus menempatkannya sebagai film komedi romantis terlaris sepanjang masa di Amerika Utara. Rekor lainnya, torehan tersebut dicapai tanpa pernah sekalipun menempati posisi pertama di tangga box office mingguan! Hebat, huh? Merengkuh kesuksesan sebesar itu, tentu bisa ditebak akan ada sekuel dalam beberapa tahun ke depan. Namun kegagalan serial televisinya ternyata baru benar-benar memuluskan lahirnya My Big Fat Greek Wedding 2 ke layar lebar 14 tahun kemudian. 
Mobile Edition
By Blogger Touch