March 25, 2016

REVIEW : BATMAN V SUPERMAN: DAWN OF JUSTICE


“We know better now, don't we? Devils don't come from hell beneath us. They come from the sky.” 

Siapa kuasa menolak pesona yang ditawarkan oleh Batman v Superman: Dawn of Justice? Dua karakter komik paling dikenal di semesta ini dipertemukan, disandingkan, lalu dipertarungkan dalam satu film – plus ditambah pula kehadiran Wonder Woman di tengah-tengah mereka – adalah semacam mimpi basah bagi semua penggila komik (maupun penikmat film superhero) dimanapun mereka berada. Tidak peduli seberapa sering DC melakukan kesalahan kala menginterpretasikan ulang karya-karya mereka ke medium film, antisipasi khalayak ramai terhadap kemunculan Batman v Superman akan tetap tinggi. Kapan lagi coba memperoleh kesempatan menjadi saksi mata adu kekuatan antara Ksatria Malam dengan Manusia Baja di layar lebar? Kapan lagi coba bisa memperoleh kesempatan menjawab pertanyaan #WhoWillWin yang diajukan di sosial media untuk pertempuran dua superhero ini? Kesempatan semacam ini mungkin tidak akan datang dua kali. Mungkin. Masalahnya kemudian adalah dengan hype membumbung tinggi ke angkasa mengingat judul bombastisnya sendiri mengisyaratkan akan lahirnya pertempuran terdahsyat sepanjang sejarah umat manusia, Batman v Superman sayangnya tidak pernah benar-benar memenuhi potensinya. Tiada keistimewaan berlebih yang bisa penonton peroleh dari film ini selain pertemuan Batman, Superman, dan Wonder Woman. 

March 21, 2016

REVIEW : ALLEGIANT


“You want change without sacrifice, you want peace without struggle. The world doesn't work that way.”

Berkaca pada pengalaman kurang memuaskan yang diperoleh di Breaking Dawn maupun Mockingjay, agak mengkhawatirkan sebetulnya begitu mengetahui jilid terakhir dalam rangkaian seri Divergent, Allegiant, bakal dipecah menjadi dua bagian terlebih materi cerita franchise ini juga sebetulnya tidak kuat-kuat amat. Kalau boleh berbicara menggunakan bahasa faksi Candor, jauh di bawah The Hunger Games. Dengan Mockingjay yang mempunyai amunisi lebih mumpuni saja agak tertatih-tatih dalam bercerita kala diterjemahkan ke bahasa gambar lantaran dipaksakan untuk diperpanjang durasinya, maka bagaimana jadinya Allegiant? Kamu mungkin sudah bisa menduganya (beberapa teman telah menaruh kecurigaan semenjak trailer diluncurkan), dan begitulah adanya. Kecurigaan itu terbukti. Allegiant yang masih dikomandoi oleh pembesut Insurgent, Robert Schwentke, membawa kabar buruk kepada para penikmat film adaptasi novel young adult berlatarkan distopia rancangan Veronica Roth tersebut. Alih-alih mengalami peningkatan dari Insurgent dan membawa franchise ini ke tingkatan lebih terhormat, Insurgent justru terjun bebas sekaligus mencoreng ‘nama baik’ The Divergent series

March 19, 2016

REVIEW : MERMAID


Dirangkum dalam satu kalimat, ketertarikan utama terhadap Mermaid disebabkan oleh ini adalah film terbaru dari Stephen Chow yang memecahkan berbagai macam rekor box office di Tiongkok. Mermaid mengantongi lebih dari $500 juta hanya dari pasar dalam negeri yang sekaligus menempatkannya sebagai film non-Hollywood pertama yang mampu menembus angka setengah miliar dollar di negara selain Amerika Utara! Sungguh mengagumkan, bukan? Pun begitu, sekalipun tanpa dilabeli embel-embel ‘film terlaris’, Mermaid telah mencuri rasa penasaran semata-mata karena faktor Stephen Chow. Ada kerinduan besar terhadap karya-karya pembesut dua film legendaris, Shaolin Soccer dan Kung Fu Hustle, ini terlebih dia tidak menghasilkan film apapun selama kurang lebih tiga tahun terakhir semenjak Journey to the West: Conquering the Demons. Memang sih Chow tidak lagi aktif menampakkan diri di depan kamera – olah peran terakhirnya adalah CJ7 – namun seperti halnya Journey to the West, kamu masih akan sangat bisa merasakan cita rasa humor Chow lewat Mermaid. Kamu juga masih akan sangat bisa tertawa terbahak-bahak di dalam bioskop kala menyaksikan Mermaid.

March 15, 2016

REVIEW : KUNG FU PANDA 3


“Your real strength comes from being your best you.” 

Petualangan pencarian jati diri panda gemuk jago kung fu, Po (disuarakan oleh Jack Black), menjumpai penghujungnya di Kung Fu Panda 3. Setelah sang guru, Master Shifu (Dustin Hoffman), memberi Po kepercayaan untuk menggantikan posisinya dan sang ayah kandung, Li Shan (Bryan Cranston), akhirnya bereuni dengan Po setelah bertahun-tahun lamanya terpisahkan, maka DreamWorks Animation merasa inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri salah satu franchise terlaris kepunyaan mereka – atau setidaknya begitu untuk saat ini. Tapi tentu saja, sebelum sang karakter utama dipersilahkan menikmati ‘kebahagiaan selama-lamanya’, ada tugas besar menanti yang sekali ini taruhannya adalah alam semesta. Beban besar ada di pundak Po, demikian pula duo sineas yang menggarap Kung Fu Panda 3. Mereka berkewajiban memberi salam perpisahan yang mengesankan bagi franchise ini setelah kebersamaan selama delapan tahun. Mengingat dua instalmen sebelumnya telah berada dalam level di atas rata-rata tentu bukan perkara mudah melampaui pencapaian-pencapaiannya. Kung Fu Panda 3 pun dibayang-bayangi ketangguhan seri pembukanya, meski sejatinya sebagai film tunggal ia tetaplah kuat dan penuh energi. 

March 12, 2016

REVIEW : LONDON HAS FALLEN


"London is just the first stop. Just imagine every major city, descending into chaos. Your president dies tonight." 

Sudahkah kamu menonton Olympus Has Fallen yang mempertontonkan keruntuhan Gedung Putih akibat serangan beruntun dari para teroris? Menyukainya? Apabila jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah ‘ya’, tentu tidak sulit bagimu dalam menikmati film kelanjutannya yang kali ini memporakporandakan The Old Smoke, London Has Fallen. Sekalipun dikomandoi kepala koki baru, Babak Najafi, yang menggantikan Antoine Fuqua, London Has Fallen masih mengusung semangat serupa dalam penghormatannya ke film-film laga Hollywood di era 1990-an dengan bahan-bahan dasar yang tidak juga berbeda. Perubahan satu-satunya dari Najafi adalah melipatgandakan takaran – berpatokan pada instruksi tidak tertulis untuk sebuah sekuel yang menuntut peningkatan cakupan skala – sehingga penonton diharapkan bisa bersuka cita lantaran memperoleh kesenangan maksimum kala menyantap kehancuran kota London di layar lebar. Dan memang, itulah yang akan didapatkan oleh penonton begitu memutuskan membayar tiket bioskop untuk pertunjukkan bernama London Has Fallen

March 5, 2016

REVIEW : COMIC 8: CASINO KINGS PART 2


Kala melempar Comic 8: Casino Kings ke pasaran, Falcon Pictures mengambil suatu keputusan beresiko. Memecah jilid ini menjadi dua bagian. Tak ingin mencurangi penonton, sedari awal informasi mengenai pembagian ini telah dikabarkan ke khalayak ramai termasuk menyematkan embel-embel ‘Part 1’ dan ‘Part 2’ di materi promosi. Akan tetapi bukan mencurangi atau tidak mencurangi yang menjadi pokok permasalahan, melainkan apakah Casino Kings benar-benar butuh untuk dibagi ke dua film berbeda. Faktor bisnis memang tidak bisa dielakkan lagi adalah pertimbangan utama yang mendasari keputusan Falcon, namun jika film tidak mempunyai materi sangat kuat agar dapat dipisahkan bukankah justru akan mencederai film itu sendiri (atau katakanlah, franchise) di kemudian hari? Terlebih lagi, perlu dicatat, Casino Kings bukanlah seri pamungkas yang lebih cocok mendapatkan treatment semacam ini. Keputusan memecah Casino Kings ke dalam dua seri, memang pada akhirnya memberikan dampak terhadap faktor kesenangan yang tidak pernah benar-benar bisa mencapai level maksimalnya. 

Mobile Edition
By Blogger Touch