September 2, 2015

REVIEW : PAPER TOWNS


“She loved mysteries so much, that she became one.” 

Bagaimana kamu memilih untuk mengenang hari-harimu semasa mengenakan seragam putih abu-abu? Mengasyikkan karena memiliki partner in crime yang bersedia diajak gila-gilaan, menyedihkan karena kamu merasa tidak ada seorang pun yang dapat memahamimu, atau malah biasa-biasa saja karena well, tujuan bersekolah bukan untuk bersenang-senang melainkan memperoleh nilai sebagus mungkin sehingga bisa memasuki perguruan tinggi favorit? Seperti halnya kebanyakan orang yang menyebut SMA sebagai salah satu fase terbaik dalam hidup, saya pun menjatuhkan pilihan di opsi pertama. Walau kadar kegilaannya tidak cukup untuk diabadikan dalam bentuk prosa (apalagi film, duh!), tetapi setidaknya cukup membuat saya merindukan masa-masa remaja terlebih setelah menyimak gelaran terbaru karya Jake Schreier (Robot & Frank) yang disadur dari novel populer rekaan John Green, Paper Towns. Disusun atas celotehan seputar persahabatan, percintaan, dan pencarian jati diri, Paper Towns was one of the finest teen movies in recent years! 

Apabila pertanyaan di paragraf pembuka tersebut diajukan pada Quentin (Nat Wolff), jagoan utama kita di Paper Towns, kemungkinan besar dia akan merapat ke opsi terakhir. Telah merancang jalan hidupnya sampai bertahun-tahun ke depan, Quentin tidak sekalipun berniat mengambil resiko apa yang telah dipersiapkannya sedemikian rupa berantakan hanya karena kebodohan masa muda. Baginya, kehidupan SMA sudah cukup menyenangkan dengan memiliki dua sahabat kuper, Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smoth), serta mengidolakan teman masa kecilnya yang telah menjelma sebagai gadis populer di sekolah, Margo (Cara Delevigne). Akan tetapi, segalanya berubah bagi Quentin di suatu malam saat Margo menyelinap masuk ke kamarnya dan mengajaknya menunaikan misi balas dendam ke mantan kekasih Margo yang berselingkuh. Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun menghirup oksigen, Quentin keluar dari zona nyamannya dan merasakan nikmatnya bersenang-senang! 

Diajak turut serta dalam kegilaan Margo di salah satu malam terbaik sepanjang hidupnya, Quentin merasa ini semacam kode dari Margo untuk menjalin hubungan asmara. Tapi tentu saja kedua insan ini tidak lantas dengan mudahnya bersatu begitu saja karena saat keegeran Quentin mengangkasa, Margo mendadak lenyap. Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya termasuk keluarganya yang acuh tak acuh. Akan tetapi, Margo yang gemar kabur-kaburan ini sering meninggalkan petunjuk kala dirinya menghilang kepada orang terdekat sebagai penanda bahwa dirinya baik-baik saja. Dalam pelarian kali ini, petunjuk tersebut ditujukan untuk Quentin. Guna menemukan sang pujaan hati, untuk kemudian memenangkan hatinya, Quentin ditemani kedua sahabatnya plus teman baik Margo, Lacey (Halston Sage), dan kekasih Radar, Angela (Jaz Sinclair), pun menelusuri satu demi satu petunjuk dari Margo yang membawa mereka dalam petualangan penuh keseruan di hari-hari terakhir bersekolah. 

Tidak disangka-sangka diri ini akan sangat menikmati Paper Towns. Kesan pertama yang menyeruak hadir usai menontonnya adalah: seru! Menduga film akan bernasib serupa dengan sang kakak The Fault in Our Stars yang cenderung mengalun datar – penyelamat terbesar adalah akting cantik Shailene Woodley – Paper Towns bergerak penuh dinamika dan letupan-letupan seperti halnya masa muda yang penuh semangat. Menonton film ini seketika melayangkan kenangan ke masa-masa SMA; menggila bersama para sahabat, melanggar sedikit aturan, hingga naksir gadis tercantik di sekolah. Ada semacam unsur nostalgia di dalamnya. Keasyikkan dalam menonton Paper Towns telah mencuat semenjak narasi pertama dari Quentin yang memberi gambaran ringkas mengenai sosok Margo berdasarkan kacamata si tokoh utama. Si pembuat film berhasil membuat penonton yakin bahwa Margo adalah perempuan sempurna yang memang ditakdirkan bersama Quentin sehingga menit-menit berikutnya tanpa disadari kita pun berpihak atas bersatunya Margo-Quentin dengan performa manis Cara Delevigne dan Nat Wolff semakin memperkuatnya. 

Pun demikian, daya tarik sesungguhnya dari Paper Towns bukan semata-mata pada gejolak romansa sang protagonis melainkan lebih ke proses yang dilalui oleh Quentin dan konco-konco dalam menguak misteri keberadaan Margo. Tidak saja terkemas begitu menyenangkan lantaran dibuat penasaran terhadap “apa ya yang menanti mereka setelah ini?”, adanya iringan tembang-tembang indie yang menyegarkan telinga, dan banyaknya semburan tawa berkat kesintingan duo Ben-Radar – serius, saya berharap bisa ikut road trip bersama mereka! – tetapi juga menghangatkan hati melihat indahnya persahabatan para remaja ini dan thoughtful. Hah, thoughtful? Ya, Paper Towns jelas bukan cuma film senang-senang belaka yang mengajakmu mengintip momen-momen berharga di ujung SMA dari sekelompok remaja tak kita kenal. Ada beberapa momen dalam film yang memberi kesempatan bagi penontonnya untuk berkontemplasi mengenai kehidupan (kebahagiaan, keajaiban, keberanian, kesempurnaan, kepalsuan, penerimaan diri). Sepintas sih terdengar berat, namun cakapnya penanganan Jake Schreier tidak kemudian membuat penonton mengernyitkan dahi setelah menonton Paper Towns melainkan justru merasa lega, senang dan bersemangat. What a feel-good movie!

Outstanding

2 comments:

  1. keliatan dari potonya kayanya banyak adegan yang romantis he

    ReplyDelete
  2. Saya anak SMA hehe, tapi dari dulu GAK PERNAH suka sama teenlit, tapi, what the heck, ini teenlit terbaik yg pernah saya tonton. Saya juga gak suka baca novel, sampe bela2in baca novel PT nya temen pake bahasa inggris. Keren, tp masih kurang puas sama endingnya yg terkesan "dah, gitu ajah?"

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch