August 21, 2015

REVIEW : MAGIC HOUR


“Kenapa Tuhan menciptakan hati kalau cuma buat dipatahin?” 

Beberapa pekan lalu, (mungkin) tidak ada yang peduli dengan keberadaan film panjang perdana kreasi Screenplay Films, Magic Hour. Dengan dasaran kisah, jajaran pemain maupun rumah produksi tergolong kerap dijumpai wara-wiri di film khusus televisi sebuah stasiun televisi nasional, mudah untuk menganggap remeh film arahan Asep Kusdinar (Dawai 2 Asmara) ini. “Palingan juga nggak ada bedanya dibandingkan FTV,” begitu cibir beberapa rekan dekat. Bisa dibilang Magic Hour tidak mempunyai cukup amunisi untuk membuat penonton berduyun-duyun ke bioskop yang belakangan terbukti salah kaprah. Betapa tidak, film yang semula dipandang sebelah mata malah justru menggila di tangga box office dengan merengkuh 173 ribu penonton dalam tempo 5 hari saja! Sebuah pencapaian yang bisa dikata fantastis apalagi kompetitor di pekan sama terdiri atas remake film laris yang mengandalkan Chelsea Islan dan superhero movie. Seorang kawan menyebutnya sebagai sleeper hit (kuda hitam di industri film dan musik). Diri ini pun dibuat bertanya-tanya, “apa kekuatan utama film ini sampai-sampai ratusan ribu penonton tersihir untuk menyimaknya di layar lebar?”. 

Semula, gadis belia pengantar bunga yang tergila-gila pada hujan, Raina (Michelle Ziudith), hanya ditugasi oleh saudari angkatnya, Gweny (Nadia Arina), untuk mengumpulkan informasi terkait calon tunangannya, Dimas (Dimas Anggara). Mengingat film ini mengambil jalur romansa dan intensitas pertemuan Raina-Dimas juga bisa dikata sering, maka ya, kamu bisa menebak dengan mudah benih-benih cinta pun tumbuh diantara mereka. Baik Raina maupun Dimas seketika menemukan kembali semangat hidup, menepis segala gundah gulana yang selama ini membayangi. Tapi tentu saja perjalanan cinta mereka tidak berlangsung mulus tanpa adanya percikkan konflik. Sahabat Raina, Toby (Rizky Nazar) diam-diam menaruh hati ke Raina, Gweny yang akhirnya berjumpa dengan Dimas tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama, dan Dimas rupanya menyimpan rapat-rapat sejumlah rahasia besar dari Raina. Tatkala semua persoalan memusingkan ini saling bertubrukan, Raina tertimpa musibah. Sebuah kecelakaan sepeda merenggut penglihatannya! 

Ya, Magic Hour sebetulnya masih mengemukakan problematikanya di seputaran balada asmara remaja. Dengan tontonan khusus remaja saat ini sebagian besar dikuasai oleh genre komedi dari Raditya Dika dan kroni-kroninya sesama komika, maka keputusan Asep Kusdinar membawa film ini menjejakkan diri ke area melodrama terasa tepat. Memberikan alternatif tontonan bagi mereka yang telah jenuh dengan film ngebanyol. Apabila kamu ingat film yang mengorbitkan karir Acha Septriasa, Heart, formula diterapkan Magic Hour dalam melenakan penontonnya kurang lebih senada. Ada persahabatan mengarah ‘friendzone’, asmara segirumit, penyakit mematikan, pengorbanan, dan tentunya, dialog-dialog puitis. Nyaris tidak ada penyegaran yang berarti, kalau tak mau dibilang sangat klise. Akan tetapi bagi pangsa pasarnya, Magic Hour akan bekerja sangat efektif. Penonton belia akan mendapati serangkaian adegan yang memberi mereka sensasi gemas menyimak naik turunnya hubungan Raina-Dimas, tertawa lepas mendengar celetukan-celetukan dari para karakter sampingan khususnya Mama Flora (Meriam Bellina), untuk kemudian menangis begitu mengetahui apa yang menimpa Raina-Dimas. 

Magic Hour bisa dikata berhasil dalam kaitannya menghibur audiens yang menjadi targetnya dengan Raina-Dimas-Toby tak ubahnya generasi sosial media dari Rachel-Farel-Luna. Skrip dari film ini memang sungguh mencederai logika lantaran si penulis ingin memunculkan momen-momen romantis maupun mencarikan jalan keluar yang mudah bagi sederet konflik tokoh-tokohnya – tidak sedikit diantaranya yang membuatmu ingin menepuk jidat, seperti halnya saat menyaksikan keklisean adegan di suatu judul FTV – yang beruntungnya masih bisa agak tertutupi kepincangannya berkat pemberian sejumlah twist  khususnya menjelang tutup durasi yang sulit dipungkiri cukup menyentuh, tembang pengiring dari Rendy Matari yang memberikan nyawa lebih pada adegan-adegan krusial, dan performa memikat dari Michelle Ziudith yang sekali lagi bersinar di tengah ramainya cast (dalam pengarahan dan skrip yang gemilang, dia bisa menjadi the next Acha Septriasa!). Ya, tuturan yang dikedepankan Magic Hour mungkin akan sulit diterima bagi kamu yang alergi dengan melodrama remaja picisan, tetapi jika kamu tidak keberatan untuk melahapnya maka bisa jadi akan tertawa dan termehek-mehek selama menyaksikannya di layar lebar. Pertanyaan perihal "mengapa film ini bisa sangat laris?" pun terjawab.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch