March 17, 2015

REVIEW : RUN ALL NIGHT


Liam Neeson is back... again. Membintangi setidaknya empat film dalam kurun waktu 13 bulan terakhir (jika isian suara dan penampilan singkat diabaikan), semoga kamu belum jenuh melihat bapak sayang anak ini berlarian kesana kemari sepanjang hari sepanjang malam seolah memiliki energi berlimpah-limpah guna membersihkan reputasi dengan membalas dendam sekaligus menyelamatkan sang buah hati tercinta. Ya, guliran kisah yang telah begitu familiar hingga melekat sebagai ciri khas Neeson ini kembali dicuplik di film terbarunya, Run All Night, yang menandai kolaborasi ketiga antara si Opa dengan Jaume Collet-Serra setelah dua film berkadar ketegangan cukup tinggi, Unkown dan Non-Stop. Menilik betapa manisnya buah yang dipetik dari hasil kerjasama sebelumnya inilah maka muncul pengharapan pada Neeson dan Collet-Sera untuk sekali lagi keduanya meluncurkan produk laga yang mencengkram erat. Berhasilkah? 

Run All Night memang diartikan secara harfiah di sini saat Jimmy Conlon (Liam Neeson) berlari-lari penuh semangat mengelilingi separuh New York semalam suntuk demi menyelamatkan nyawa putra semata wayangnya, Mike (Joel Kinnaman), yang menjadi saksi pembunuhan dari sepasang gangster yang dilakukan oleh Danny (Boyd Holbrook). Upaya Danny untuk membungkam mulut Mike menemui kegagalan saat Jimmy memergokinya dan menghabisinya seketika tanpa belas kasih. Kematian Danny memicu reaksi dari sang ayah, Shawn (Ed Harris), yang notabene mantan atasan Jimmy, dan kepolisian, khususnya musuh lama Jimmy, Detective Harding (Vincent D’Onofrio), yang telah sejak lama bernafsu meringkus Jimmy. Guna mewujudkan balas dendam atas kematian putranya, Shawn pun menyewa jasa seorang pembunuh bayaran profesional untuk mencabut nyawa Mike dan Jimmy. Demi merasakan kembali kehidupan normal dan melenyapkan status sebagai buronan, Mike pun mau tak mau kudu mengesampingkan sejenak kebenciannya kepada sang ayah. 

Pembaharuan, atau katakanlah kesegaran, adalah sesuatu yang tidak akan kamu jumpai di sini. Brad Ingelsby seolah sekadar menjumput tuturan kisah di film-film Neeson sebelumnya – jika tidak mau disebut fotokopi – untuk dirumuskan kembali dan membuatnya terkesan kompleks. Hal ini menjadi bermasalah lantaran Ingelsby terlalu berusaha keras menjelmakannya dalam penceritaan berbelit-belit (mungkin, ingin terlihat cerdas?) sementara pada dasarnya apa yang hendak diutarakan oleh Run All Night begitu sederhana... dan klise. Dampaknya dirasakan pada paruh pertama film yang mengalun perlahan, sedikit tertatih-tatih, dan cenderung menjemukan tanpa ada bumbu emosi di dalamnya. Menguji kesabaran penonton yang menginginkan gelaran aksi yang memberi hentakan kuat sekaligus perlahan tapi pasti mulai menggerus segenap kesenangan yang seharusnya disajikan sebagai hidangan utama. Ya, rasa bosan itu mulai merayap ke permukaan yang berarti memberi kabar buruk bahwa kolaborasi kali ini tidak akan berjalan sesuai dengan pengharapan. 

Untungnya, tatkala kepercayaan terhadap adanya keseruan di Run All Night mulai meredup, apa yang dinanti-nantikan akhirnya menampakkan diri menyusul terkuaknya konflik sesungguhnya pada film. Memasuki babak kedua, Jaume Collet-Sera tidak lagi ingin bermalas-malasan dan seketika tancap gas dalam membawa laju film sehingga memunculkan rentetan keseruan nyaris tanpa henti yang meminta perhatianmu dari ‘memburu’ NYPD di adegan kejar-kejaran mobil menembus padatnya jalanan Queens, melarikan diri dari gedung apartemen yang telah dikepung oleh polisi (bahkan pembunuh bayaran profesional!), sampai pada titik Jimmy mengejar Shawn untuk menyelesaikan perkara hingga ke akarnya. Kesemuanya ini dirakit mengasyikkan oleh si pembuat film yang ditunjang performa bagus dari jajaran pemainnya – yup, trio Liam Neeson, Ed Harris dan Vincent D’Onofrio jauh dari kata mengecewakan – dengan visual cukup bergaya yang sedikit banyak memaafkan kekacauan sisi naratifnya. Setidaknya, walau tak akan berdiri di deretan film-film terbaik Liam Neeson, Run All Night masih lebih memuaskan ketimbang Taken 3.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch