March 7, 2015

REVIEW : CHAPPIE


“If you are my creator, why you make me could die? Don't you want to see me alive?" 

Tidak ada sesuatu yang betul-betul menyegarkan pada tatanan kisah di garapan terbaru Neil Blomkamp, Chappie. Mendengar guliran premis yang diusung oleh Chappie mengenai robot sensitif dengan emosi dan perasaan selayaknya manusia mau tak mau mengingatkan kita kepada sederet film mengingat tema yang salah satunya dicetuskan oleh Pinocchio ini memang bukan lagi barang baru di sinema dunia karena telah berulang kali mengalami modifikasi. Akan tetapi, berkaca kepada beberapa film sci-fi bagus semacam Blade Runner, Short Circuit, RoboCop, Bicentennial Man, A.I. Artificial Intelligence, maupun Wall-E, mengulik premis usang ini juga bukan suatu kesalahan karena dibawah penanganan yang tepat akan menjelma sebagai gelaran hebat. Dengan jejak rekam menghasilkan film penuh puja puji semacam District 9 – walau sempat agak kehilangan sentuhan magisnya di Elysium yang masih saya sukai – ada kepercayaan tersisa bahwa Blomkamp akan mampu membawa Chappie ke level terhormat dan membuatnya lebih dari ‘film robot biasa’. 

Didasarkan pada film pendek rekaan Blomkamp, Tetra Vaal, Chappie berlatar di Johannesburg, Afrika Selatan, pada beberapa tahun mendatang saat polisi-polisi cyborg dikerahkan dalam jumlah masif guna menekan angka kriminalitas yang semakin menggila. Pemerintah memercayakan perusahaan pembuat senjata asal Amerika, Tetravaal, sebagai penyuplai utama para robot yang didesain oleh ilmuwan muda, Deon Wilson (Dev Patel). Kesuksesan besar Deon memercik api kecemburuan pada diri koleganya, Vincent Moore (Hugh Jackman), yang produk ciptaannya bernama MOOSE ditolak mentah-mentah lantaran dianggap kurang efisien. Kesempatan Vincent untuk menyingkirkan pesaingnya ini datang saat Deon berbuat blunder dengan bereksperimen menanamkan artificial intelligence pada salah satu robot rusak yang belakangan dinamai Chappie (Sharlto Copley). ‘Diasuh’ oleh sejumlah gangster lokal, perilaku kekanakkan Chappie membuatnya mudah dipengaruhi sehingga beragam tindak kriminal pun dilakoninya meski nurani kerap kali memberontak. 

Mungkin telah lelah berambisius ria di dua film pertama, Blomkamp mencoba untuk tidak terlalu serius di Chappie. Sebuah keputusan berani yang bisa jadi akan memunculkan beragam nada sumbang menilik betapa besarnya pengharapan publik untuk melihat si pembuat film menciptakan mahakarya lainnya usai District 9. Dan memang, ketimbang menggelar sederet komentar sosial – yang sekali ini turut mengulik relasi antara makhluk dengan penciptanya – dalam gaya gloomy maupun kelewat bombastis, Blomkamp memotretnya secara ringan penuh kejenakaan. Kandungan hiburan begitu pekat terasa di sini yang merupakan campuran antara canda tawa, gegap gempita, sekaligus kehangatan. Pada menit-menit pembuka, Chappie seolah mengisyaratkan bahwa nada film akan bergerak di ranah thriller penuh ketegangan mencengkram lewat upaya beberapa gangster lokal untuk menyabotase para polisi robot. Akan tetapi, film mulai melunak dengan memberi kita cukup banyak derai tawa beserta sedikit sentuhan di hati saat Chappie mulai membina hubungan yang erat bersama para pengasuhnya (diperankan oleh duo rapper, Ninja dan Yolandi Visser). 

Yang membuat Chappie terasa sedap untuk disantap selain taburan bumbu-bumbu humor dan ledakan-ledakan seru (pula berisik) khas film garapan Michael Bay adalah adanya karakter kuat yang mudah untuk kita dukung, cintai, dan pedulikan. Itu terwujud pada sosok Chappie yang dihidupkan secara mengesankan oleh Sharlto Copley melalui isian suara penuh jiwa dan gerakan tepat guna lewat teknik performance-capture. Bagusnya, barisan karakter pendukung yang melingkungi kehidupan si robot berhati nurani ini pun tampil kuat dengan caranya masing-masing berkat penampilan bagus dari jajaran pemainnya; seperti Dev Patel, Hugh Jackman, serta secara mengejutkan, duo Ninja dan Yolandi Visser. Tangguhnya performa dari departemen akting ditunjang pula oleh polesan efek khusus yang menawan sedikit banyak mengobati luka-luka di sekujur tubuh naskah racikan Blomkamp yang mengirimkan sinyal bahwa sudah saatnya tugas perakitan skrip diserahkan kepada orang lain. Seandainya Chappie dibekali oleh kemampuan bernarasi yang terstruktur secara rapi mungkin akan melambungkan film ke tingkatan lebih tinggi. Tapi seperti ini pun Chappie sudah cukup memberi sajian hiburan memadai.

Acceptable



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch