January 31, 2015

REVIEW : WILD CARD


Merupakan rahasia umum bahwa jaringan bioskop angka romawi tergila-gila terhadap Jason Statham. Semenjak aktor ini angkat nama lewat perannya sebagai Frank Martin di trilogi Transporter, nyaris tak ada film Statham yang terlewatkan mampir ke bioskop-bioskop Indonesia... apalagi terlambat! Hal ini berlaku pula pada film terbarunya, Wild Card, yang tanpa aba-aba mendadak menghiasi puluhan layar sinema meski di negara asalnya hanya memperoleh kesempatan tayang secara terbatas sekaligus rilis bersamaan di iTunes. The power of Jason Statham, eh? Dan ya, harus diakui, Jason Statham memiliki kekuatan magnetis pada penonton Indonesia karena tak peduli seberapa buruk film-film yang dibintanginya, akan selalu ada keramaian yang mengerumuninya. Dengan statusnya sebagai action star, harapan yang diemban oleh para penonton saat bertandang ke bioskop menyimak filmnya hanya satu; memperoleh hidangan seru penuh baku hantam berkepanjangan yang diperagakan secara mengesankan oleh sang idola. 

Menapaki usia tak lagi muda – dengan jalan hidup penuh keprihatinan – seorang mantan pecandu judi di Las Vegas yang kini berprofesi sebagai konsultan keamanan, Nick Wild (Jason Statham), mendambakan kebebasan. Dalam proyeksi Nick, secepatnya dia akan melenggang keluar meninggalkan Sin City dengan $500 ribu sebagai bekal hidup selama 5 tahun dan menikmati kehidupan di Corsica. Hanya saja, segala perencanaannya tidak berlangsung lancar saat hambatan-hambatan mulai menghadangnya. Dimulai dari kehadiran jutawan muda, Cyrus (Michael Angarano), yang menyewa jasa Nick untuk melindunginya saat bertamasya dari satu kasino ke kasino lain hingga seorang kawan lama, Holly (Dominik Garcia-Lorido), yang meminta bantuannya mewujudkan balas dendam pada seorang mafia yang telah melecehkannya secara seksual, Danny DeMarco (Milo Ventimiglia). 

Seperti halnya Hummingbird, Wild Card yang merupakan adaptasi dari novel berjudul Heat hasil racikan sang penulis skrip, William Goldman – pernah diangkat pula ke film berjudul sama di tahun 1986 dibintangi oleh Burt Reynolds – tidak mengedepankan baku hantam sebagai jualan utama dan mempersilahkan Statham lebih banyak berbincang-bincang ketimbang berkelahi membasmi kebatilan dengan tuturan cenderung ditekankan pada pergolakan batin Nick pada hari-hari terakhirnya di Las Vegas dalam upayanya ‘kembali ke jalan yang benar’ dan permainan di meja judi. Salah? Sama sekali tidak, seandainya Wild Card dipersenjatai oleh skrip kuat mengikat. Menjadi bermasalah lantaran Simon West – dalam kolaborasi ketiganya bersama Statham usai The Mechanic dan The Expendables 2 – kurang piawai memvisualisasikan hasil tulisan Goldman sehingga deretan konflik yang melingkupi film berasa datar dan hambar nyaris tidak meninggalkan greget (apalagi emosi). Tidak mengejutkan jika beberapa kali rasa kantuk pun sempat menyerang. 

Beruntung, di tengah-tengah kejenuhan yang mulai menerpa, Wild Card masih berhasil tampil menggigit berkat performa jajaran pemainnya seperti Jason Statham, Michael Angarano, Hope Davis, hingga Stanley Tucci yang masih sanggup tampil mengesankan di tengah segala keterbatasan serta tatanan koreografi laga oleh Corey Yuen yang bisa dibilang bergigi. Walau muncul dalam durasi relatif singkat dengan masing-masing tidak mencapai 5 menit, pertarungan antara Nick melawan anggota-anggota mafia masih menawarkan intensitas. Ada sensasi yang mencampurkan kesenangan, keseruan, sekaligus ketegangan melihat Statham membabi buta menghabisi musuh-musuhnya menggunakan alat-alat yang mungkin tidak pernah terpikirkan olehmu akan berkontribusi dalam menciptakan pertumpahan darah yang brutal (sebagai contoh, kartu kredit dan sendok). Setidaknya, meski hanya sekelumit, rakitan adegan baku hantam yang terbilang keren dan seru ini akan membuat penggemar berat Jason Statham yang berharap Wild Card murni menjual aksi menyunggingkan sedikit senyuman dan tidak kecewa-kecewa amat tatkala melangkahkan kaki meninggalkan gedung bioskop.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch