December 31, 2015

SHORT REVIEWS : DILWALE + SUNSHINE BECOMES YOU


Reuni Shah Rukh Khan (SRK) dan Kajol setelah terakhir kali berjumpa lima tahun silam di My Name is Khan adalah alasan utama yang mendasari munculnya ketertarikan menonton Dilwale. Memang, selain chemistry sangat manis dari keduanya (mayoritas momen terbaik film berasal dari kebersamaan mereka di layar), deretan tembang-tembang easy listening yang memunculkan rasa candu untuk terus disenandungkan, serta banyolan-banyolan tak penting khas film Bollywood namun sulit disangkal tetap efektif memancing derai tawa, tidak ada keistimewaan lain yang dimiliki oleh Dilwale. Plotnya mengenai percintaan terhalang dendam dihantarkan begitu amburadul, karena hey, apa sih yang bisa kamu harapkan dari penceritaan di film-film garapan Rohit Shetty (Chennai Express)? Selain ingin mengajak penonton bernostalgia dengan kemesraan SRK-Kajol, tujuan yang ingin dicapai oleh si pembuat film adalah semata-mata memberi tontonan penuh kesenangan gila-gilaan yang berarti kamu juga akan memperoleh over-the-top action disamping sederet kekonyolan dengan balutan lagu dan chemistry jempolan. Menghibur.

Acceptable (3/5)

December 30, 2015

REVIEW : NEGERI VAN ORANJE


“Cukup satu kejadian. Cukup satu. Untuk mengingat seseorang.” 

Sulit untuk menahan godaan untuk tidak mencicipi Negeri Van Oranje saat bintang-bintang berbakat sinema Indonesia masa kini berkumpul menjadi satu dalam satu layar; ada Abimana Aryasatya, Chicco Jerikho, Arifin Putra, Tatjana Saphira, hingga Ge Pamungkas, untuk memerankan lima sahabat yang di sela-sela padatnya jadwal perkuliahan S-2 dan problematika-problematika perihal asmara mengajak kita berjalan-jalan menikmati eloknya pemandangan Eropa (dalam hal ini, Belanda dan Republik Ceko). Ya, mereka dikumpulkan oleh Falcon Pictures dalam sebuah film arahan Endri Pelita (Dawai 2 Asmara, Air Mata Terakhir Bunda) yang dasar pengisahannya dinutrisi dari novel laris berjudul serupa. Walau materi aslinya turut menguliti perihal perjuangan barisan karakternya – kesemuanya adalah mahasiswa pascasarjana – dalam bertahan hidup selama menimba ilmu di negeri orang, jangan harap kamu bisa memperoleh tuturan inspiratif serupa pada versi film Negeri Van Oranje karena Endri dan tim sendiri lebih memfokuskannya kepada kisah persahabatan berbalut percintaan segi rumit diantara mereka. 

December 27, 2015

REVIEW : STAR WARS: THE FORCE AWAKENS


“There's been an awakening. Have you felt it? The Dark side, and the Light.” 

Perkenalan saya dengan saga Star Wars untuk pertama kalinya tidak berlangsung menyenangkan. Keputusan mencoba menemukan kebesaran ‘anak kesayangan’ George Lucas ini melalui trilogi prekuel (Episode I-III) ternyata salah kaprah. Alih-alih dibuat takjub, diri ini justru kebosanan setengah mati sampai-sampai mengibarkan bendera putih dan terus mengalami kesulitan memahami mengapa Star Wars bisa sedemikian diagung-agungkan oleh para penggemar militannya. Belakangan saya mengetahui, prekuel ini juga memperoleh ‘penolakan’ dari pemujanya lantaran sang ayah memilih untuk lebih mengeksplor intrik politiknya ketimbang petualangan imajinatifnya. Memutuskan untuk kembali berkenalan lewat trilogi asli (Episode IV-VI), saya memperoleh pencerahan yang menunjukkan betapa dahsyatnya opera space ini sekalipun tetap saja kecintaan terhadap Star Wars masih belum tumbuh. Baru berkat J.J. Abrams (Cloverfield, dwilogi reboot Star Trek), ada keinginan untuk mendalami lebih jauh ‘agama’ Star Wars usai beribadah di bioskop menyaksikan Star Wars Episode VII: The Force Awakens. Yes, believe the hype, it’s definitely one of the most relentlessly entertaining movies of 2015! 

December 24, 2015

REVIEW : BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA


Mengajukan pertanyaan besar, menggiurkan, serta provokatif berbunyi “apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?” lalu disahut “apa jadinya dunia tanpa Islam?” dan diakhiri “suamiku Muslim, apakah dia teroris?” kepada calon penonton, Bulan Terbelah di Langit Amerika terdengar seperti akan terhidang sebagai suguhan drama reliji yang jauh lebih menggugah pikiran dan menguras emosi ketimbang dwilogi pendahulunya, 99 Cahaya di Langit Eropa, yang cenderung bersahaja dalam menuturkan cerita (dan saya sangat menyukainya). Belum lagi ditambah fakta bawa film yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Hanum Rais bersama sang suami, Rangga Almahendra, ini cakupan konfliknya melebar pula kian pelik dengan menyoroti kuatnya diskriminasi terhadap masyarakat Muslim di Amerika Serikat paska tragedi 11 September – sebuah isu yang seketika menerbangkan ingatan saya ke My Name is Khan yang mengedepankan fokus kurang lebih serupa dengan eksekusi cukup baik. Bulan Terbelah di Langit Amerika seolah siap untuk melesat kencang di tengah ketatnya persaingan film akhir tahun. Akan tetapi, apakah memang betul demikian? Sedihnya, saya harus mengatakan “tidak”. Mengusung ide besar, Bulan Terbelah di Langit Amerika gagal memenuhi segala potensinya dan malah berakhir sebagai gelaran melelahkan pula hambar. 

December 22, 2015

REVIEW : SINGLE


“Jujur, kadang saya ngerasa kalau kita suka sama orang, IQ kita bisa turun sampai 10 poin” 

Single menjadi semacam penegasan bahwa Raditya Dika memang ada baiknya diberi kepercayaan lebih untuk mengarahkan sendiri film-film kepunyaannya daripada sekadar berlakon dan menulis naskah. Telah mengenal dengan baik kontennya sendiri dan pangsa pasar yang dituju, Dika pun secara otomatis lebih lancar pula memiliki keleluasaan dalam menuturkan cerita serta melemparkan humor-humor di waktu yang tepat. Walau hasilnya tidak selalu berakhir mulus – Dika sempat tersandung parah di Malam Minggu Miko Movie – namun dua dari tiga film terbaik Dika sejauh ini, yakni Marmut Merah Jambu dan Single, merupakan film-film yang menempatkan si ‘ikon jomblo tanah air’ di balik kemudi. Melalui dua film tersebut, khususnya Single, Dika menunjukkan bukti bahwa kapabilitasnya dalam berceloteh lewat medium bahasa gambar sudah selayaknya mulai lebih diperhitungkan. Single tidak saja berhasil tawarkan kesenangan maksimal melalui banyolan-banyolan yang sekali ini terasa lebih kocak ketimbang film-film Dika sebelumnya tetapi juga memberikan kehangatan pada hati dari guliran pengisahannya. 

December 13, 2015

REVIEW : KRAMPUS


“Saint Nicholas is not coming this year. Instead, a much darker, ancient spirit. His name is Krampus. He and his helpers did not come to give, but to take.” 

Setelah memberi kejutan manis untuk para penikmat film seram melalui Trick ‘r Treat yang secara cepat menjadi tontonan wajib menjelang Halloween, Michael Dougherty seolah menghilang dari permukaan bumi. Selama bertahun-tahun tidak ada proyek baru, Trick ‘r Treat sempat dianggap sebagai keberuntungan pemula semata hingga akhirnya Dougherty kembali menciptakan gebrakan akhir tahun ini lewat Krampus. Tidak jauh berbeda dengan karya debutnya, Krampus pun masih bermain-main di area horor hanya saja kali ini balutan komedinya cukup pekat. Yang menjadikannya semakin terasa istimewa adalah si pembuat film mencoba membangunkan kembali gelaran seram berlatar Natal yang tertidur selama hampir satu dekade setelah terakhir kali Black Christmas. Perkawinan ‘Natal-horor’ memang sepintas terkesan bukan ide bagus karena semangat keduanya saling bertolak berlakang, tapi sekadar mengingatkan, kita sebelumnya telah memperoleh sajian serupa di Gremlins (1984) arahan Joe Dante yang masih tetap mengasyikkan untuk ditonton ulang saban Natal. Krampus, walau belum mencapai tahapan sehebat Gremlins, tetap bisa dikatakan sebagai kado Natal sempurna bagi para pecinta film horor. It’s entertaining as hell. 

November 23, 2015

REVIEW : THE HUNGER GAMES: MOCKINGJAY - PART 2


“Tonight, turn your weapons to the Capitol! Turn your weapons to Snow!” 

Babak pertama dari Mockingjay menyisakan banyak ketidakbahagiaan dari sejumlah pihak. Keputusan Lionsgate dalam memecah The Hunger Games: Mockingjay menjadi dua seri dinilai mengada-ada mengingat materi novel rekaan Suzanne Collins sendiri kurang memungkinkan untuk direntangkan melebihi satu film. Walau saya pribadi cukup menikmati Mockingjay Part 1 karena menilai intrik sosial politiknya yang memperbincangkan secara lantang soal propaganda, tipu-tipu media, hingga pertentangan kelas mempunyai intensitas cukup tinggi (bahkan terbilang thought-provoking), sulit untuk dipungkiri bahwa kesan bertele-tele dapat dirasakan di berbagai titik yang berdampak terhadap lambatnya laju penceritaan. Mockingjay Part 1 cenderung minim gegap gempita karena dikondisikan untuk membuka jalan bagi pertarungan akhir Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dalam melawan kesewenang-wenangan sang tiran di Mockingjay Part 2 sehingga penyusunan siasat berperang pun lebih sering diperbincangkan ketimbang peperangannya itu sendiri. Segala letupan-letupan pembangkit emosi yang diharapkan oleh para penonton, baru akhirnya benar-benar dimunculkan oleh Francis Lawrence di babak pamungkas ini. 

November 20, 2015

REVIEW : RELATIONSHIT


“Move on itu bukan melupakan, tetapi mengikhlaskan.” 

Berpegangan pada judul semata, Relationshit, penonton sebetulnya telah memperoleh gambaran menyeluruh mengenai plot yang ingin dikedepankan oleh si pembuat film. Jika kamu menduga pergunjingan di Relationshit tidak ubahnya film-film Raditya Dika perihal nestapa seorang jomblo yang berlarat-larat karena kesulitan menemukan separuh jiwanya, maka dugaanmu tepat sasaran. Embel-embel ‘based on a book, script editor Raditya Dika’ pada poster berdesain remaja banget, lalu keberadaan logo Starvision, merupakan bukti penguat bahwa film yang didasarkan pada buku bertajuk sama rekaan Alitt Susanto ini masih akan menyentuh topik generik tersebut. Salah? Tentu tidak sama sekali, toh bahan kupasan semacam ini nyatanya tetap memiliki banyak peminat dari kalangan penonton remaja. Hanya saja ada sebongkah kekhawatiran Relationshit bakal menghadapi kesulitan dalam menciptakan hiburan maksimal lantaran bahan pembicaraannya bukan lagi sesuatu baru dan telah berulang-ulang kali dikupas sebelumnya oleh maestro kegalauan, Raditya Dika. 

November 17, 2015

REVIEW : THE GIFT


“You're done with the past, but the past is not done with you.” 

Menilik jalinan pengisahannya yang berceloteh mengenai seseorang asing yang terlalu dalam mencampuri kehidupan pribadi sang karakter utama – telah dalam tahapan, terobsesi – sampai-sampai menciptakan teror tatkala dirinya mendapatkan penolakan atas ‘bantuannya’ tersebut, sepintas The Gift memang tidak ubahnya film thriller kebanyakan dari era 1990-an yang guliran konfliknya banyak mempergunakan template dari Fatal Attraction. Bahkan sang sutradara, Joel Edgerton, secara terang-terangan menyebut Fatal Attraction sebagai salah satu sumber inspirasinya untuk karya perdananya ini. Klise? Pada mulanya, begitulah tanggapan saya terhadap The Gift yang di atas permukaan memang menampakkan diri sebagai epigon lainnya dari film ‘percintaan maut’ Michael Douglas dengan Glenn Close ini dengan plot yang (sepertinya) masih seputar kucing-kucingan antara dua kawan lama. Akan tetapi, alih-alih patuh sepenuhnya pada formula dari film sejenis, Joel Edgerton justru memilih untuk sedikit berkreasi terhadap plot The Gift... dan inilah yang membuatnya berasa mengasyikkan buat disimak! 

November 13, 2015

REVIEW : BADOET


Apabila kepercayaanmu terhadap film horor buatan dalam negeri telah berada di titik nadir, maka Badoet adalah sebuah kesempatan emas bagimu untuk membangkitkan kembali kepercayaanmu dengan membuktikan bahwa sinema Indonesia sejatinya masih memiliki harapan untuk menghasilkan tontonan seram yang mencengkram erat. Ya, garapan terbaru dari Awi Suryadi (Claudia/Jasmine, Viva JKT48) yang menempatkan sesosok badut sebagai sumber utama berlangsungnya serangkaian teror – beberapa pihak membandingkannya dengan miniseri Stephen King’s It (1990) maupun Killer Klowns from Outer Space (1988) – ini rasa-rasanya tepat disebut sebagai film horor Indonesia terbaik dalam kurun beberapa tahun terakhir. Bagi kamu yang belum merasakan (nikmatnya) menjadi saksi secara langsung tebaran teror dari Awi ini di layar lebar mungkin akan menganggapnya agak berlebihan, tapi percayalah, label ini teramat layak disandang oleh Badoet apalagi sudah cukup lama saya tidak merasakan sensasi was was seraya meringkuk tampan di kursi bioskop dengan kedua bola mata tersembunyi di balik telapak tangan lantaran menyimak film memedi asal Indonesia. Phew. 

November 8, 2015

REVIEW : SPECTRE


“Welcome, James. It's been a long time. And, finally, here we are.” 

Dengan Sam Mendes telah standar begitu tinggi bagi franchise James Bond melalui Skyfall, sebetulnya sedikit tidak rasional mengharapkan film kelanjutannya akan lebih menakjubkan – melampaui segala pencapaian di seri sebelumnya – walau pada akhirnya ekspektasi tersebut sulit terhindarkan terlebih usai menilik barisan pemain anyarnya yang ‘wow’. Siapa coba tidak tergiur untuk menyaksikan Christoph Waltz, Monica Bellucci, serta Lea Seydoux (komoditi panas di dunia sinema saat ini) beradu akting dalam sebuah film Bond? Belum apa-apa, Spectre terlihat siap untuk bergabung bersama jajaran film terbaik dalam franchise ini. Mungkin tidak satu level dengan Skyfall apalagi Casino Royale, perwakilan seri terbaik dari era Daniel Craig, namun sudah cukup tinggi sehingga membuat para penggemar terus menerus mengenang kehebatannya. Akan tetapi, segala hype yang bergema dengan indahnya ini perlahan tapi pasti mulai terkena noda dimulai dari materi promosi asal jadi (dalam hal ini, poster) hingga lagu tema dari Sam Smith, Writing’s On the Wall, yang melempem. Kekhawatiran bahwa Spectre tidak akan sekuat dua kakaknya pun mulai menyeruak yang pada akhirnya memang dibuktikan oleh hasil akhir filmnya yang jauh dari kesan impresif. 

October 17, 2015

REVIEW : GOOSEBUMPS


"You've just released every monster I've ever created!"

Sebagai bagian dari generasi 90’an yang tumbuh dewasa ditemani dongeng pengantar mimpi buruk, Goosebumps, mengetahui literatur anak yang fenomenal ini diboyong ke layar lebar, saya pun berjingkat-jingkat kegirangan. It’s like a dream come true, menyaksikan melihat monster-monster unik pula mengerikan kreasi R.L. Stine dihidupkan untuk kemudian menebar teror di dalam bioskop. Well, Fox Kids memang telah menerjemahkan gores-gores kata R.L. Stine ke medium audio visual dalam wujud serial televisi yang mengudara sejak tahun 1994 hingga 1998, namun hasilnya sendiri jauh dari pengharapan dengan pengecualian pada setiap episode mengenai boneka ventrilokuis penebar teror, Slappy. Kini, mencoba langkah berbeda dibanding adaptasi novel kebanyakan, Sony tidak sekadar secara spesifik menjumput satu instalmen untuk dikupas dalam versi film Goosebumps melainkan memilih menggabungkan elemen-elemen terbaik pembentuk seri ini termasuk barisan monster-monsternya. Hasilnya? Sebuah sajian petualangan seru nan mengasyikkan yang cocok dikudap oleh seluruh anggota keluarga menjelang perayaan Halloween. 

October 16, 2015

REVIEW : MAY WHO


Mudah untuk memandang rendah May Who hanya karena premisnya yang sudah terlalu umum di genre komedi romantis. Ya, ini tentang seorang siswi biasa-biasa saja yang naksir siswa terkeren di sekolah tanpa menyadari sahabatnya yang juga berasal dari kaum ‘proletar’ diam-diam menaruh hati padanya. Sepintas memang tidak ada keistimewaan terlebih dasar cerita semacam ini telah mengalami bongkar pasang berulang-ulang kali untuk diaplikasikan dalam tontonan berpangsa pasar remaja. Akan tetapi, belajar dari pengalaman-pengalaman terdahulu, jangan sekali-kali meremehkan kreativitas dari sineas negeri Gajah Putih. Mereka semacam memiliki kemampuan khusus dalam mengolah kembali gagasan lawas untuk disajikan sebagai tontonan menyegarkan – terlebih mereka yang terafiliasi dengan rumah produksi GMM Thai Hub (GTH) – yang sekali ini terbukti pada May Who. Sebuah tontonan pelepas penat dengan tingkat hiburan diatur untuk senantiasa berada di level maksimal yang akan membuat penontonnya terus menerus digenjot tawa tiada henti hingga detik terakhir. 

October 9, 2015

SHORT REVIEWS : THE WALK & THE MARTIAN


“People ask me "Why do you risk death?". For me, this is life.” 

Apa kamu pernah merasakan mimpi-mimpimu diremehkan oleh orang lain hanya karena dinilai terlalu ambisius atau malah, yah... bukan sesuatu yang prestisius? Philippe Petit (Joseph Gordon-Levitt) pernah. Sebagai putra dari seorang pilot, tujuan hidup yang ingin dicapai oleh Philippe bukanlah mengikuti jejak keberhasilan sang ayah melainkan berjalan menyebrangi gedung pencakar langit kembar World Trade Center New York di atas seutas tali tanpa menggunakan pengaman. Mimpi, atau bisa juga kamu sebut obsesi, Philippe ini memang terdengar terlalu mengada-ada bagi kebanyakan orang. Akan tetapi, sekalipun cibiran terus menerus menghampiri Philippe yang berujung pada diusir oleh orang tuanya dari rumah, Philippe tidak pernah menyerah untuk mewujudkan ide gilanya tersebut. Kegigihan Philippe dalam memperjuangkan cita-cita yang disebutnya sebagai ‘coupe’ ini menarik perhatian aktris jalanan Annie (Charlotte Le Bon), fotografer Jean-Louis (Clément Sibony), guru matematika yang takut ketinggian Jeff (César Domboy) dan pemilik sirkus Papa Rudy (Ben Kingsley) yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran mereka agar apa yang didamba-dambakan oleh Philippe dapat terlaksana dengan sukses. 

October 3, 2015

REVIEW : 3 (ALIF LAM MIM)


“Fight and never lose hope.” 

Sepintas ditilik dari materi promosi, 3 (Alif Lam Mim) memang tampak seperti epigon lainnya dari The Raid yang konon telah menetapkan standar tinggi untuk genre laga di perfilman Indonesia. Dengan polesan efek khusus jauh dari kata meyakinkan – mengingatkan pada Garuda Superhero – mudah bagi penonton yang tidak tahu menahu mengenai seluk beluk film ini untuk memunculkan cibiran, “apa sih yang bisa ditawarkan oleh 3?.” Lalu kita melihat adanya nama Anggy Umbara (dwilogi Comic 8, Coboy Junior the Movie) di balik kemudi yang memunculkan secercah harapan mengingat fun merupakan nama tengah dari si pembuat film. Setidaknya, jika pada akhirnya hasil memang di bawah pengharapan, 3 masih menawarkan hiburan. Akan tetapi, apakah 3 memang tidak semeyakinkan trailernya yang kata seorang kawan gagal memberi gambaran mengenai isi dari filmnya itu sendiri? Well, jika kamu mempunyai pemikiran demikian dan berencana melewatkannya, your loss then. Karena saya berani mengatakan secara lantang bahwa 3 adalah salah satu film terbaik tahun ini. Seriously, you don’t want to miss this one! 

October 1, 2015

REVIEW : THE INTERN


"Well, I was going to say intern slash best friend."

Mengetahui Nancy Meyers – sutradara dari salah satu film favorit saya, The Parent Trap, sekaligus The Holiday yang tetap saja memiliki cita rasa manis sekalipun telah ditonton beberapa kali – akan meluncurkan film baru usai 6 tahun vakum dari industri perfilman, reaksi pertama adalah melakukan tarian penuh kegembiraan. Yup, happy dance! Seolah kabar ini masih belum cukup membahagiakan, film bertajuk The Intern ini pun melanjutkan kebiasaan Meyers memasangkan dua aktor berkaliber Oscar dengan kali ini berasal dari generasi berbeda, yakni Anne Hathaway dan Robert De Niro, untuk saling beradu akting. Sungguh menggugah selera, bukan? Tapi sebelum kamu mengkhawatirkan The Intern akan bertutur mengenai kisah roman beda usia (sejujurnya pikiran negatif ini sempat terbersit, yikes!), tenang saja, hubungan Hathaway dan De Niro disini lebih bersifat profesional alih-alih percintaan yang sedikit banyak akan mengingatkan penonton pada relasi Hathaway dan Meryl Streep yang kejamnya tiada ampun lagi di The Devil Wears Prada dengan Hathaway menggantikan posisi Streep. Whoa! 

September 30, 2015

SHORT REVIEWS : 3 DARA & VETERAN


Bagaimana jadinya saat tiga laki-laki (katanya macho) yang kerap melecehkan perempuan dikutuk menjadi perempuan? Tidak benar-benar bertransformasi secara fisik sih, melainkan cenderung pada emosi. Premis menggelitik yang sedikit banyak mengingatkan pada kasus Mel Gibson dalam What Women Want ini diangkat oleh Ardy Octaviand (Coklat Stroberi) untuk film terbarunya bersama MNC Pictures, 3 Dara. Ketiga laki-laki apes yang dijadikan bahan pergunjingan film, yakni Affandi (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting). Mereka bisa dikata sukses secara finansial, namun para lelaki ini mengalami kesulitan dalam menghargai perempuan. Kehidupan Affandi, Jay, dan Richard, berubah drastis seusai seorang pelayan bar bernama Mel (Ayushita) yang dilecehkan Richard melancarkan sumpah serapah bernada mengutuk. Mel berharap, ketiganya dapat merasakan menjadi perempuan teraniaya. Mulanya tiga sahabat ini menganggap ucapan Mel sebagai bualan belaka sampai mereka mengalami perubahan-perubahan emosi sekaligus tingkah laku yang sebelumnya tidak pernah menghinggapi diri mereka. 

September 27, 2015

REVIEW : MONSTER HUNT


Fenomenal adalah kata paling tepat untuk mendeskripsikan Monster Hunt. Betapa tidak, film arahan Raman Hui – seorang animator yang pernah terlibat dalam pembuatan Shrek, Madagascar, hingga Puss in Boots – ini mencetak rekor sebagai film paling laris sepanjang sejarah di Cina daratan yang notabene pasar film terbesar kedua setelah Hollywood menumbangkan kedigdayaan Fast & Furious 7 dengan raihan mendekati angka $400 juta! Sebuah pencapaian yang terhitung fantastis, tentu saja, terlebih kepenasaran besar tiba-tiba menggelayuti para penikmat film sekaligus pelaku industri mengenai resep yang dipergunakan oleh Raman Hui dan tim pada Monster Hunt sehingga mampu merengkuh kesuksesan gila-gilaan semacam ini yang memunculkan pertanyaan, “apa sih yang membuat Monster Hunt begitu dicintai publik Tiongkok?.” Tanpa perlu dijlentrehkan panjang lebar, sebetulnya jawaban yang bisa disodorkan pun sebetulnya mudah, menghibur. Memadupadankan elemen fantasi berbasis martial art yang memang telah akrab bagi penonton Cina dengan animasi yang menampilkan monster-monster menggemaskan untuk penonton cilik, Monster Hunt berhasil terhidang sebagai sajian yang tidak saja seru tetapi juga mengocok perut dan menyentuh hati. 

September 21, 2015

REVIEW : BLACK MASS


“Take your shot but make it your best. 'Cause I get up, I eat ya.” 

Ada dua kesamaan yang ‘menyatukan’ Black Mass dengan Everest selain fakta bahwa keduanya rilis berbarengan akhir pekan lalu: pertama, pemeriah suasana terdiri atas jajaran bintang-bintang ternama, dan kedua, tuturannya diolah dari peristiwa nyata menggetarkan. Di atas kertas, dua film tersebut dibekali amunisi mencukupi untuk menciptakan sebuah tontonan yang sulit dienyahkan dari benak hingga beberapa tahun mendatang. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkehendak lain saat Black Mass dan Everest berpisah jalan untuk menjalani takdirnya masing-masing. Keduanya terpisahkan oleh satu hal: rasa. Sementara Everest dengan segala riasannya yang tampak mentereng cenderung hambar secara emosi, maka Black Mass yang tampilan luarnya kurang menggugah selera untuk disantap justru mempunyai cita rasa yang sungguh lezat. Ya, Black Mass memang tidak menawarkan pembaharuan terhadap khasanah film-film bertema gangster, tetapi film arahan Scott Cooper ini sanggup menghidangkan salah satu parade akting terunggul dari ensemble cast tahun ini dan jalinan pengisahan dengan intensitas emosi yang dalam. 

September 20, 2015

SHORT REVIEWS : EVEREST & THE TRANSPORTER REFUELED


“Our bodies will be literally dying.” 

Mengusung genre survival drama, Everest jelas tidak berusaha memaparkan pengalaman mengasyikkan naik-naik ke puncak gunung, melainkan lebih pada perjuangan sejumlah anak Adam dalam upaya mereka untuk bertahan hidup di alam liar. Ya, didasarkan tragedi nyata yang menimpa sejumlah pendaki gunung di gunung Everest pada tahun 1996, Everest arahan Baltasar Kormákur mencoba mereka ulang detik-detik terakhir kehidupan dari para pendaki yang mempergunakan jasa dua perusahaan tour guide, Adventure Consultants dan Mountain Madness, tersebut. Mayoritas dari mereka memang bukan lagi amatiran soal menaklukkan pegunungan – persiapan untuk mendaki sang Sagarmatha juga tidak main-main – tetapi mereka melupakan satu fakta bahwa alam tidak pernah bisa diprediksi. Melakukan kecerobohan besar dengan mengizinkan terlalu banyak pendaki untuk turut serta dalam ekspedisi alhasil waktu pendakian pun meleset dari perencanaan sementara badai besar telah berderak-derak mendekati Everest secara cepat. 

September 15, 2015

REVIEW : HEART ATTACK


"Do you have a girlfriend?"
"If I don't, What is your medical opinion about having one or not?"

Sebagai rumah produksi paling terkemuka di industri perfilman Thailand, kualitas film-film keluaran GMM Thai Hub (atau biasa disingkat GTH) memang seringkali dapat dipertanggungjawabkan. Dari mereka, para penikmat film mendapatkan Hello Stranger, Bangkok Traffic Love Story, ATM Errak Error, Pee Mak, hingga paling segar di ingatan, I Fine Thank You Love You. Kini, menggandeng sutradara indie Nawapol Thamrongrattanarit (Mary is Happy, Mary is Happy) dan memasangkan Sunny Suwanmethanon (I Fine Thank You Love You) dengan Davika Hoorne (Pee Mak) di garda terdepan, GTH meluncurkan sebuah gelaran komedi romantis manis bertajuk Heart Attack – atau Freelance, judul yang dipakai di negeri asalnya. Dijual sebagai romansa antara seorang dokter dengan pasiennya, kenyataannya Heart Attack tidak semata-mata mengedepankan kisah percintaan dua sejoli ini lengkap dengan segala kekonyolan-kekonyolan menyertai selayaknya film sejenis produksi GTH, tetapi turut menjlentrehkan pahit manisnya bekerja freelance yang dihantarkan dalam penceritaan bergaya indie dan thoughtful yang memungkinkan penonton untuk berkontemplasi. Ya, Heart Attack jelas tidak sedangkal yang diperkirakan banyak pihak. 

September 13, 2015

REVIEW : MAZE RUNNER: THE SCORCH TRIALS


“I'm a Crank. I'm slowly going crazy. I keep wanting to chew off my own fingers and randomly kill people.” 

Di penghujung The Maze Runner, para penyintas berusia remaja dibawah pimpinan Thomas (Dylan O’Brien) yang menjadi korban eksperimen sebuah organisasi misterius bernama W.C.K.D. berhasil melepaskan diri dari labirin raksasa berbenteng tembok tinggi yang mengungkung kebebasan mereka dan melawan monster mengerikan penjaga labirin setelah sebelumnya mengobrak abrik tatanan komunitas The Gladers hanya untuk mendapati bumi bukan lagi tempat ideal untuk melangsungkan hidup. Seolah-olah pergolakan yang memakan korban beberapa anggota komunitas tersebut berakhir sia-sia. Akan tetapi, apakah memang begitu adanya cara Wes Ball mengakhiri penceritaan film arahannya? Well, kita sama-sama tahu bahwa The Maze Runner merupakan adaptasi jilid pertama dari keseluruhan tiga seri novel young adult rekaan James Dashner, jadi ya, perjuangan Thomas dan kroni-kroninya ini barulah sekadar permulaan karena seusai berlari-larian mengitari labirin yang konfigurasinya senantiasa berubah saban malam hari, mereka harus berhadapan dengan wabah mematikan, kelompok pemberontak dan zombie-zombie ganas (ya, zombie!) dalam Maze Runner: The Scorch Trials.  

September 10, 2015

REVIEW : TED 2


“There are no chicks with dicks, Johnny, only guys with tits.” 

Terima kasih kepada gagasan edan Seth MacFarlane, citra manis boneka beruang kesayangan anak-anak pun sedikit tercoreng. Betapa tidak, ketimbang menggambarkan sang Teddy Bear sebagai sosok manis menggemaskan seperti kita kenal selama ini, dalam Ted yang dilempar ke pasaran tiga tahun silam, MacFarlane mempresentasikannya serba kebalikan. Tingkah lakunya tidak senonoh, mulutnya luar biasa kotor (sampai-sampai sabun cuci paling ampuh sekalipun angkat tangan!), serta waktu senggangnya dihabiskan untuk menghisap ganja dengan sesekali bersenggama (yikes!). Bisa dibilang, menjauhi segala bentuk norma-norma kebajikan. Dan memang itulah kegemaran Seth MacFarlane, melontarkan banyolan-banyolan dengan gaya teramat kasar, jorok dan cenderung ofensif yang bercampur referensi budaya populer seperti yang kamu bisa temukan pada film-film arahannya termasuk Ted yang tidak dinyana-nyana membuat para kritikus dan penikmat film mencapai kesepakatan menyambut hangat kemunculannya. Tentu saja, mengingat Ted laris manis maka film kelanjutannya bertajuk (errr) Ted 2 pun dilepas dengan harapan mampu mendulang kesuksesan yang sama. Berhasilkah atau gagalkah? 

September 8, 2015

REVIEW : NO ESCAPE


Kapan terakhir kali kamu menyaksikan sebuah film bergenre diluar horor namun sanggup memberi efek cekam dan teror yang melebihi? Bagi saya, sejauh ingatan bisa digali, saat menyimak The Impossible garapan Juan Antonio Bayona di layar lebar tiga tahun silam. Si pembuat film memotret bencana tsunami di Asia Tenggara beserta dampak-dampaknya secara riil yang seketika menegakkan bulu roma sekaligus memunculkan letupan-letupan emosi dahsyat berwujud drama keluarga sehingga nyaris mustahil untuk tidak bercucuran air mata sepanjang guliran penceritaan The Impossible. Phew. Menjajal mengaplikasikan formula kurang lebih sejenis – meski kali ini lebih menggali sisi ketegangan alih-alih melodrama – adalah karya terbaru dari sutradara spesialis film seram, John Erick Dowdle (As Above So Below, Devil), bertajuk No Escape. Persoalan coba dikupas oleh No Escape pun tidak kalah ngerinya, terkait pergolakan politik di suatu negara Asia Tenggara yang memicu para pemberontak menggelorakan kerusuhan besar-besaran menentang kerjasama pemerintah dengan pihak asing. Membuat saya sedikit banyak teringat pada tragedi Mei 1998. 

September 5, 2015

REVIEW : ASSASSINATION

 

Berlatar tahun 1930-an saat Jepang menduduki Korea, Assassination menyoroti kiprah satu pasukan pejuang kemerdekaan yang dititahkan untuk membunuh Kawaguchi Mamoru (Shim Cheol-jong), Gubernur garnisun Jepang di Gyeongseong, dan Kang In-gook (Lee Geung-young), pebisnis Korea yang menjadi antek Jepang. Pasukan ini terdiri atas tiga orang yang masing-masing memiliki catatan kriminal, yakni penembak jitu Ahn Ok-yun (Jun Ji-hyun), lulusan sekolah militer Chu Sang-ok (Cho Jin-woong), dan spesialis bahan peledak Hwang Deok-sam (Choi Deok-moon). Ketiganya dipersatukan oleh seorang agen dari Pemerintahan Korea sementara, Yeom Seok-jin (Lee Jung-jae), di Shanghai. Dengan kemampuan mumpuni ditambah strategi terancang matang, misi yang dilakoni Ahn Ok-yun dan rekan-rekan ini seharusnya mudah untuk dieksekusi. Namun segalanya berbalik menjadi kekacauan besar tatkala terungkap bahwa salah satu diantara mereka ternyata mata-mata Jepang dan dia telah menyewa duo pembunuh bayaran kenamaan, Hawaii Pistol (Ha Jung-woo) dan Old Man (Oh Dal-su), guna menghabisi setiap anggota dari pasukan kecil ini. 

September 2, 2015

REVIEW : PAPER TOWNS


“She loved mysteries so much, that she became one.” 

Bagaimana kamu memilih untuk mengenang hari-harimu semasa mengenakan seragam putih abu-abu? Mengasyikkan karena memiliki partner in crime yang bersedia diajak gila-gilaan, menyedihkan karena kamu merasa tidak ada seorang pun yang dapat memahamimu, atau malah biasa-biasa saja karena well, tujuan bersekolah bukan untuk bersenang-senang melainkan memperoleh nilai sebagus mungkin sehingga bisa memasuki perguruan tinggi favorit? Seperti halnya kebanyakan orang yang menyebut SMA sebagai salah satu fase terbaik dalam hidup, saya pun menjatuhkan pilihan di opsi pertama. Walau kadar kegilaannya tidak cukup untuk diabadikan dalam bentuk prosa (apalagi film, duh!), tetapi setidaknya cukup membuat saya merindukan masa-masa remaja terlebih setelah menyimak gelaran terbaru karya Jake Schreier (Robot & Frank) yang disadur dari novel populer rekaan John Green, Paper Towns. Disusun atas celotehan seputar persahabatan, percintaan, dan pencarian jati diri, Paper Towns was one of the finest teen movies in recent years! 

August 30, 2015

REVIEW : GANGSTER


“Saya tidak pernah percaya pada orang lain karena percaya pada orang lain bagi saya adalah kelemahan” 

Para penikmat film Indonesia tentu sama-sama tahu bahwa Fajar Nugros telah terbiasa berkecimpung di ranah komedi dan drama romantis – setidaknya dalam filmografinya didominasi genre ini. Maka ketika dia menjajal keluar dari zona nyamannya dengan menggarap film beraliran laga, respon pertama kali meluncur dari mulut adalah, “heh, Fajar Nugros dan film action?.” Sepintas terdengar sangat meremehkan, memang. Bukan apa-apa, genre yang memperkenalkan kita kepada Barry Prima atau George Rudy ini bukanlah tipe mudah dieksekusi... setidaknya di sinema Indonesia. Dalam kurun satu dasawarsa terakhir bisa dikata hanya segelintir film action produksi lokal berkualitas diatas rata-rata dengan dwilogi The Raid telah menetapkan standar begitu tinggi sehingga kemunculan film teranyar Fajar Nugros, Gangster, produksi Starvision ini sedikit banyak diiringi sikap skeptis bertingkat. Satu-satunya yang mendesak minat saya untuk tetap menyimak Gangster di layar perak adalah melihat Dian Sastrowardoyo mencak-mencak dalam three-way fight bersama Kelly Tandiono dan Yayan Ruhian. 

August 28, 2015

REVIEW : THE MAN FROM U.N.C.L.E.


“For a special agent, you're not having a very special day, are you?” 

Ada kejutan mengasyikkan yang diberikan oleh Matthew Vaughn di kuartal pertama tahun ini dalam wujud Kingsman: The Secret Service. Betapa tidak, tatkala Jason Bourne dan James Bond era Daniel Craig berusaha tampil lebih serius dari sisi penceritaan, film yang memperkenalkan kita kepada sosok Eggsy ini justru mengajak penonton untuk sekadar bersenang-senang menikmati geberan kegilaan tiada henti dengan tujuan utama mencoba mengembalikan genre spy movies ke jalurnya yang mengedepankan unsur fun. Tidak lebih. Semacam menjadi pionir, berturut-turut sederet judul film mata-mata tahun ini mengikuti formula ‘hura-hura’ Kingsman: The Secret Service dimulai dari Spy yang menunjukkan sisi lain dari Jason Statham, lalu Mission: Impossible – Rogue Nation yang turut mengentalkan laga beserta humornya, hingga paling gres, The Man From U.N.C.L.E. Judul terakhir disebut ini mungkin terdengar kurang familiar utamanya bagi telinga generasi masa kini, meski kenyataannya film arahan Guy Ritchie tersebut didasarkan pada serial televisi populer berjudul sama dari era 60’an yang memasangkan agen CIA asal Amerika Serikat dan agen KGB dari Rusia dalam satu tim! 

August 23, 2015

REVIEW : INSIDE OUT


“Take her to the moon for me, Joy.” 

“Pixar is back!” adalah seruan pertama yang saya lontarkan seusai melahap Inside Out di layar lebar. Rasa-rasanya, siapapun yang beranggapan empat tahun terakhir film keluaran Pixar tidak berada dalam kondisi prima pun akan melakukan hal serupa. Ya, paska Toy Story 3, studio animasi berlogo lampu meja ini seolah-olah kehilangan pegangan – bahkan perlahan tapi pasti dihempaskan oleh rekannya, Disney, yang semakin menggila produksi animasinya – dengan melempar proyek film-film kelanjutan yang secara kualitas terbilang medioker untuk ukuran Pixar. Di saat Pixar mulai meredup, Pete Docter, otak dibalik kecemerlangan Monsters, Inc dan Up, mengajukan gagasan ambisius untuk divisualisasikan di film teranyarnya bertajuk Inside Out. Hanya dengan mendengar premisnya saja, “bagaimana jika ada makhluk-makhluk kecil yang mendiami tubuh manusia saling bekerjasama untuk mengontrol emosi dan tetek bengeknya?” antisipasi seketika meninggi yang berarti masih ada harapan untuk studio penelur trilogi Toy Story ini kembali bangkit. Dan memang, Inside Out merupakan sebuah langkah awal sempurna bagi Pixar guna merebut lagi posisi penguasa dunia film animasi yang sebelumnya sempat mereka genggam. 

August 21, 2015

REVIEW : MAGIC HOUR


“Kenapa Tuhan menciptakan hati kalau cuma buat dipatahin?” 

Beberapa pekan lalu, (mungkin) tidak ada yang peduli dengan keberadaan film panjang perdana kreasi Screenplay Films, Magic Hour. Dengan dasaran kisah, jajaran pemain maupun rumah produksi tergolong kerap dijumpai wara-wiri di film khusus televisi sebuah stasiun televisi nasional, mudah untuk menganggap remeh film arahan Asep Kusdinar (Dawai 2 Asmara) ini. “Palingan juga nggak ada bedanya dibandingkan FTV,” begitu cibir beberapa rekan dekat. Bisa dibilang Magic Hour tidak mempunyai cukup amunisi untuk membuat penonton berduyun-duyun ke bioskop yang belakangan terbukti salah kaprah. Betapa tidak, film yang semula dipandang sebelah mata malah justru menggila di tangga box office dengan merengkuh 173 ribu penonton dalam tempo 5 hari saja! Sebuah pencapaian yang bisa dikata fantastis apalagi kompetitor di pekan sama terdiri atas remake film laris yang mengandalkan Chelsea Islan dan superhero movie. Seorang kawan menyebutnya sebagai sleeper hit (kuda hitam di industri film dan musik). Diri ini pun dibuat bertanya-tanya, “apa kekuatan utama film ini sampai-sampai ratusan ribu penonton tersihir untuk menyimaknya di layar lebar?”. 

August 16, 2015

REVIEW : LOVE YOU... LOVE YOU NOT...


“Gue kalau pergi, lo bakalan kangen nggak sama gue?” 

Seperti halnya menerjemahkan tulisan populer ke dalam bahasa gambar, membuat ulang sebuah film yang telah terbukti sukses merupakan proyek teramat beresiko serta penuh tantangan terlebih lagi jika materi asli masih segar di benak publik. Pro dan kontra akan senantiasa mengiringi sejak awal proses pembuatan dengan para penggemar berat kebanyakan memberi perhatian lebih terhadap “kesetiaan terhadap materi sumber” maupun “kecocokan pemilihan pemain”. Keluaran terbaru dari MVP Pictures, Love You... Love You Not yang diadaptasi dari film Thailand banjir penonton, I Fine... Thank You Love You, pun memancing keramaian di kalangan netizen jauh sebelumnya dilempar ke pasaran. Tudingan menjiplak dan plagiat (meski pihak produsen telah menegaskan berulang kali bahwa film ini telah membeli lisensi secara resmi. Duh!) sulit terhindarkan apalagi trailer Love You... Love You Not mengindikasikan pula film akan plek-plekan sama dengan versi Thailand. Jadi, pertanyaan pertama terbersit di benak publik adalah “apa yang lantas membuat Love You... Love You Not berasa istimewa jika well, si pembuat film hanya sekadar melakukan reka ulang?” 

August 14, 2015

REVIEW : FANTASTIC FOUR


"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Begini. Di atas kertas, proyek reboot dari Fantastic Four memang terdengar menjanjikan. Dengan versi satu dasawarsa lalu biasa-biasa saja, maka ya bukankah kecil kemungkinan film pembaharuan untuk superhero Marvel kepunyaan Fox ini akan lebih buruk mengingat sekali ini diperkuat oleh sutradara dengan jejak rekam mengesankan (hey, Josh Trank memberi kita film found footage keren Chronicle!) dan jajaran pemainnya yang boleh dibilang aktor aktris muda berbakat masa kini? Ya, seolah-olah mustahil memperoleh pengalaman sinematik penuh duka lara seperti saya alami awal tahun ini gara-gara Seventh Son dan Dragon Blade. Sebagai seseorang yang seringkali berhasil menemukan titik kesenangan dari suatu film – meski buruk sekalipun – maka diwanti-wanti oleh beberapa kawan tidaklah meresahkanku toh Fantastic Four-nya Chris Evans masih membuatku bersenang-senang. Segala sikap optimis yang diboyong ke bioskop tatkala menyantap film garapan Bang Trank seketika meluntur selayaknya eye shadow terkena tetesan air begitu mendapati Fantastic Four yang tengah diputar ini bukanlah superhero movie melainkan dongeng pengantar tidur! Damn, damn. 

August 11, 2015

REVIEW : MISSION: IMPOSSIBLE - ROGUE NATION


”The Syndicate is real. A rogue nation, trained to do what we do.” 

Rangkaian seri Mission: Impossible menguraikan definisi “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.” Saat banyak franchise mulai megap-megap begitu memasuki instalmen keempat, Mission: Impossible malah justru baru menunjukkan tajinya melalui Ghost Protocol yang seketika menempatkannya dalam jajaran ‘spy films’ dengan keberadaan patut diperhitungkan. Menghidangkan intrik spionase tingkat tinggi yang diinjeksi serum pemacu adrenalin hingga titik maksimal, Ghost Protocol memberi pengalaman sinematik memuaskan dalam menyaksikan sebuah gelaran action blockbuster. Telah mencapai level baru dengan menebar semua kegilaan yang sulit terbayangkan sebelumnya, maka agak susah sebetulnya membayangkan Christopher McQuarrie (Jack Reacher) akan memberi suguhan yang melampaui pencapaian film sebelumnya di jilid kelima bertajuk Rogue Nation ini khususnya setelah adegan bergelantungan di Burj Khalifa yang sulit dilupakan itu sampai, well, kamu membuktikannya secara langsung dengan melahapnya di layar perak sehingga bisa memberikan kesimpulan: Rogue Nation is a great addition to the Mission: Impossible franchise. 

August 8, 2015

REVIEW : PIXELS


“Pac-Man's a bad guy?” 

Sebagai seseorang yang menggemari karya-karya Adam Sandler sebelum era Jack & Jill (I know, I am in the minority here), mendengar kabar sang komedian mengambil peran di sebuah film berpremis unik “bagaimana jadinya jika bumi diserang oleh alien berbentuk karakter dari permainan dingdong (arcade games)?” yang materinya dijumput dari film pendek memikat rekaan Patrick Jean merupakan kebahagiaan tersendiri. Ada harapan mengapung Adam Sandler akan bangkit dari keterpurukan terlebih film bertajuk Pixels ini dikomandoi Chris Columbus (dua jilid pertama Harry Potter dan Home Alone) yang telah terbukti memiliki jam terbang tinggi di area fantasi keluarga serta diciptakan sebagai surat cinta bagi budaya populer era 1980’an yang menjadi zona kekuasaan Sandler. Selain itu, nostalgia ke video game lawas di Wreck-It Ralph tiga tahun silam juga membuahkan segudang puja-puji, jadi apa yang bisa salah dari ini? Jawabannya hanya ada satu: ketidakpekaan Adam Sandler yang masih kekeuh bertahan di zona nyamannya. 

August 5, 2015

REVIEW : LITTLE BIG MASTER


Setiap orang pastinya memiliki pemaknaan berbeda perihal film bagus. Bagi saya, tatkala emosi berhasil dilibatkan – entah itu tertawa, menangis, bersemangat, tegang, atau ketakutan – maka film tersebut telah layak menyandang label ‘bagus’. Sesederhana itu. Dengan semata-mata berpatokan pada definisi ini, maka film laris asal Hong Kong arahan Adrian Kwan, Little Big Master, telah sangat memenuhi kriteria untuk disebut sebagai film bagus. Melantunkan kisah sepanjang 112 menit yang dasaran kisahnya terinspirasi pada sebuah kisah nyata, Little Big Master tidak segan-segan dalam mengobrak abrik emosi penonton sejak menit-menit pembuka. Seperti melihat kombinasi antara drama pembangkit semangat asal Indonesia, Laskar Pelangi, dengan melodrama penuh air mata dari Taiwan, Mama Hao (My Beloved), Little Big Master hadirkan sebuah tontonan yang tidak saja akan membuat pelupuk mata penonton basah, tetapi juga menghangatkan hati dan menginspirasi. Definitely a must-see! 

August 4, 2015

REVIEW : 99% MUHRIM - GET MARRIED 5


Usai disodori jilid ketiga yang mengalami kemerosotan signifikan dari sisi kualitas, tidak ada lagi gairah menantikan seri terbaru dalam rangkaian seri Get Married. Hanya berharap Starvision segera mengakhiri franchise ini dengan hormat. Akan tetapi, saat kepercayaan mulai luntur, Monty Tiwa dan Cassandra Massardi yang memanggul tanggung jawab atas buruknya Get Married 3 menebus kesalahan mereka dengan memberikan Get M4rried yang tiada dinyana-nyana begitu mengasyikkan buat dilahap. Menyentil-nyentil fenomena sosial secara centil seraya menciptakan ledakan tawa disana sini. Dengan banyaknya kesenangan diperoleh tatkala menyimak seri keempat, maka pengharapan terhadap seri kelima sedikit banyak meningkat terlebih film berjudul lengkap 99% Muhrim – Get Married 5 ini dimaksudkan sebagai instalmen puncak. Dalam penanganan tepat, bisa menjelma sebagai ‘gong’ bagi franchise masyhur ini yang sayangnya tidak benar-benar terjadi. Memberi porsi kelewat besar untuk elemen reliji nampaknya menjadi pedang bermata dua bagi 99% Muhrim – Get Married 5

July 22, 2015

REVIEW : ANT-MAN


“Pick on someone your own size!” 

Ketika versi layar lebar dari Guardians of the Galaxy diluncurkan tahun lalu ke pasaran, banyak pihak memandangnya sebelah mata karena well, praktis hanya pengikut setia komik Marvel yang benar-benar mengetahui mengenai gerombolan kriminal yang berubah menjadi superhero ini. Tapi lalu, puja puji kritikus dan perolehan dollar yang tinggi seketika membungkam para penyinyir. Marvel Studios membuktikan bahwa mereka dapat membangun tambang emas dari koleksi superhero mereka yang mana saja sekalipun kurang dikenal oleh khalayak luas. Kesuksesan tak terduga petualangan Star-Lord dan konco-konco ini lantas memberi keyakinan pada sesama ‘tokoh terabaikan’ Ant-Man yang dibandingkan para personil lain dalam The Avengers, popularitasnya terbilang paling rendah untuk mencicipi kejayaan serupa. Telah dipersiapkan sejak tahun 1980-an, proyek film Ant-Man ini seolah-olah berjalan di tempat, lalu mengalami perombakan skrip dan sutradara, hingga akhirnya dilepas juga sebagai bagian dari fase kedua Marvel Cinematic Universe pada 2015 ini. 

July 19, 2015

REVIEW : COMIC 8: CASINO KINGS PART 1


“Untung gue sering nonton Meteor Garden!”

Lebih dari setahun silam, Anggy Umbara mempunyai gagasan cukup ambisius dengan mengumpulkan sederet komika yang tengah naik daun untuk berlakon di film komedi laga garapannya, Comic 8, yang seperti versi penuh banyolan dari The Expendables. Memperoleh resepsi yang terpecah belah, antara menyukainya dan membencinya, Comic 8 berhasil membumbung tinggi dalam kaitannya merangkul penonton hingga mencapai angka 1,6 juta yang sekaligus menobatkannya sebagai film Indonesia paling banyak dipirsa tahun lalu. Dengan torehan kesuksesan semacam ini kamu tentu sudah memahami apa yang seharusnya dilakukan oleh Falcon Pictures, menciptakan sekuel. Anggy Umbara yang masih menduduki kursi penyutradaraan lantas mengkreasi film kelanjutan berjudul Comic 8: Casino Kings ini menggunakan serangkaian formula yang diaplikasikan untuk sekuel: lebih besar, lebih megah, dan lebih gila-gilaan dibandingkan jilid sebelumnya. Antisipasi penonton pun telah dibentuk sejak berbulan-bulan silam dengan pemberitaan perekrutan puluhan bintang dan besarnya gelontoran dana untuk Casino Kings. Akan tetapi, satu pertanyaan tertinggal, apakah serba lebih-lebih ini juga berarti Casino Kings lebih baik daripada Comic 8

July 16, 2015

REVIEW : MENCARI HILAL


“Memang bapak paling tahu soal agama, tapi tidak tahu bagaimana cara menjadi ayah yang baik!” 

Apabila saat diminta untuk mendeskripsikan suatu film hanya mempergunakan satu kata, maka tiada kata yang lebih tepat dalam menggambarkan Mencari Hilal kecuali... indah. Ya, sungguh tiada disangka-sangka diri ini akan dibuat jatuh hati sedemikian kuat terhadap garapan terbaru Ismail Basbeth ini. Selama beberapa saat tatkala lampu bioskop mulai dinyalakan, dengan credit title diiringi tembang menghanyutkan oleh Sabrang ‘Noe’ Panuluh, kedua bola mata masih sulit mengarahkan pandangan dari layar yang perlahan tapi pasti mulai menghitam. Apa yang baru saja saksikan? Kenapa tiba-tiba ada bulir-bulir air menggenang di pelupuk mata yang hanya membutuhkan sepersekian detik untuk lantas membasahi pipi? Apa ini disebabkan oleh debu-debu bertebangan karena para staf bioskop mulai beres-beres di dalam ruang pertunjukkan atau semata-mata saya dibuat takjub oleh betapa bagusnya film yang baru saja ditonton bersama segelintir penonton beruntung lainnya? Apapun itu, satu hal yang jelas, tidak mudah seketika mengekspresikan kekaguman terhadap Mencari Hilal sesaat setelah nonton karena ya ada semacam momen yang memaksa diri untuk merenung sejenak dan menetralkan emosi yang telah dihujam sedemikian rupa sepanjang durasi. Mencari Hilal was THAT good

July 15, 2015

REVIEW : SURGA YANG TAK DIRINDUKAN


“Surga yang Mas Amran gambarkan begitu indah. Tapi maaf, bukan surga itu yang aku rindukan.” 

Apakah kamu termasuk penonton yang membutuhkan sapu tangan untuk menyeka cucuran air mata saat menyaksikan Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, atau paling baru, Assalamualaikum Beijing, di layar bioskop? Lebih mendalam lagi, apakah kamu termasuk penonton yang menggandrungi tontonan melodrama dewasa dengan tuturan kisah seputar lika-liku kehidupan pernikahan? Jika kamu memberikan jawaban ya, bahkan mengharap adanya tontonan serupa, maka film terbaru produksi MD Pictures yang diangkat dari novel rekaan Asma Nadia, Surga Yang Tak Dirindukan, ini kemungkinan besar tidak akan mengalami kesulitan untuk merebut hatimu. Tapi jika tidak, well... mungkin membutuhkan perjuangan lebih untuk menyukainya. Problematika yang dikedepankan pun tidak jauh-jauh dari mengarungi bahtera rumah tangga yang sekali ini dihadang ombak besar berwujud poligami dengan premis yang sekaligus menjadi pertanyaan kunci untuk dihadapkan pada penonton, “apakah mungkin bersikap adil, sabar, serta ikhlas dalam sebuah rumah tangga yang di dalamnya terdapat lebih dari satu istri? Bisakah pernikahan harmonis dicapai saat sang suami berpoligami?.” 

July 13, 2015

REVIEW : THE GALLOWS


Mungkin membutuhkan waktu cukup lama bagi penonton awam untuk menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan, “kapan terakhir kali film seram berkonsep found footage mencengkrammu erat?” sementara bagi pecinta tontonan horor kelas berat, bisa jadi jawabannya ditemukan pada The Taking of Deborah Logan (surprisingly good!). Dimanapun posisimu, sulit untuk ditampik bahwa semakin langka menemukan sajian yang meninggalkan kesan mendalam pada subgenre ini dengan Hollywood berulang kali meluncurkan tontonan berkualitas menyedihkan – halo, Devil's Due dan The Pyramid! – ke layar perak dalam beberapa tahun terakhir sehingga tak mengherankan jika lantas skeptisisme melanda para penggemar film horor found footage. Kepercayaan yang mulai meluntur ini pun tampaknya belum bisa dibangkitkan dalam waktu dekat oleh sajian terbaru dari Blumhouse Productions, rumah produksi yang memberi kita Paranormal Activity, Insidious, dan seabrek film horor lain, bertajuk The Gallows yang sekalipun berada di level cukup terhormat tapi jelas tidak dibekali daya mencukupi untuk membuat penonton kembali yakin. 
Mobile Edition
By Blogger Touch