December 30, 2014

REVIEW : NIGHT AT THE MUSEUM: SECRET OF THE TOMB


“Why don't you take a picture, it'll last longer!” 

Jika kamu menggemari petualangan seru menjelajahi museum bersama para penghuni Museum of National History yang hidup berkat kekuatan dari sebuah lempeng emas ajaib, kehadiran kembali geng ini di layar lebar melalui Night at the Museum: Secret of the Tomb tentunya menjadi berita membahagiakan bagimu... sekaligus menyedihkan karena kemungkinan besar ini adalah instalmen penutup bagi trilogi Night at the Museum. Dengan kepergian mendiang Robin Williams yang merupakan salah satu pemberi jiwa bagi kelangsungan hidup franchise ini, maka sulit membayangkan Fox nekat melanjutkannya ke babak berikutnya – kecuali, tentunya, dengan konfigurasi pemain sama sekali baru. Lalu, sebagai film perpisahan, paling tidak ke sosok Theodore Roosevelt, apa gegap gempita yang akan ditawarkan oleh Shawn Levy sekali ini setelah sebelumnya membawa keseruan berkat kemunculan tokoh-tokoh bersejarah? Jawabnya mudah saja; mari bawa para karakter ini ke benua lain dan... keluar museum! 

Membuka film dengan penjabaran asal mula ditemukannya tablet emas milik Ahkmenrah (Rami Malek) melalui sebuah ekspedisi, kita segera menyadari bahwa benda inilah sumber utama masalah di jilid ketiga. Betul saja, puluhan tahun berlalu, tablet emas tersebut perlahan-lahan mulai menunjukkan gelagat kehilangan daya magisnya yang mengancam ‘nyawa’ para penguni Museum of National History. Apabila lamban ditindaklanjuti, mereka akan kembali menjelma menjadi patung lilin biasa. Satu-satunya orang yang mengetahui rahasia di balik lempeng emas ini adalah ayah Ahkmenrah, Merenkahre (Ben Kingsley), yang berada di British Museum. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang penjaga museum, Larry Daley (Ben Stiller), untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya – termasuk Theodore Roosevelt (Robin Williams), Attila the Hun (Patrick Gallagher), Octavius (Steve Coogan), Jedediah (Owen Wilson), Sacagawea (Mizuo Peck), dan monyet usil Dexter – selain bertolak ribuan mil jauhnya ke London. Bersama rombongan National History dan ditemani pula oleh beberapa pendatang baru, petualangan menjelajahi British Museum (dan London!) pun dimulai. 

Masih setia mempergunakan ramuan yang diketemukan 8 tahun silam, Night at the Museum: Secret of the Tomb memang tidak banyak membawa pembaharuan dari sisi cerita. Malah, permasalahan utama di sini cenderung mengingatkan kita dengan apa yang dihadapi oleh para protagonis di jilid pembuka hanya saja sekali ini Shawn Levy meningkatkan level kesukaran dalam penyelesaian konflik, melibatkan lebih banyak tokoh – termasuk mendatangkan beberapa karakter baru yang lucu semisal Sir Lancelot (Dan Stevens), petugas keamanan Tilly (Rebel Wilson), dan makhluk gua berwajah mirip Larry, Laa (Tom Cruise dalam cameo tak terduga) – dan memberi ruang gerak lebih luas bagi Larry dan konco-konco yang tidak terbatas pada ruang-ruang di Museum of National History. Ya, Levy melipatgandakan dosis untuk semua lini yang memicu kesenangan sehingga Night at the Museum: Secret of the Tomb terasa lebih kacau (in a good way), konyol, mengasyikkan, serta penuh semangat ketimbang kedua ‘kakaknya’. Dan, oh, seri pamungkas ini pun memiliki sisi sentimentil yang cukup dominan. 

Hubungan antara Larry bersama sang putra yang telah remaja, Nicky (Skyler Gisondo), yang menjadi problematika lain di franchise kembali disorot dengan sekali ini tampak mengusut. Ada perbedaan pandangan, kesalahpahaman, dan ketakutan mewarnai interaksi keduanya karena visi mengenai masa depan Nicky yang tidak sejalan lantaran Larry masih sulit menerima kenyataan bahwa putranya bukan lagi anak kecil yang bisa diatur sesuka hatinya. Perkara ini memberikan warna tersendiri pada petualangan akhir mereka yang akan menyumbang kontribusi terhadap keputusan yang diambil oleh Larry maupun Nicky. Dan tentu, fakta bahwa ini adalah salah satu peran terakhir yang dimainkan oleh Robin Williams, sedikit banyak menghangatkan Night at the Museum: Secret of the Tomb. Tatkala Theodore Roosevelt 'melantunkan' swan song kepada Larry, ada perasaan merinding, tak rela, pula sedih, melepas kepergiaannya. Tidak hanya itu, Levy pun memberi salam perpisahan bittersweet di penghujung film yang bisa jadi membuat penonton yang mencintai trilogi ini sejak Larry menjejakkan kakinya untuk pertama kali di Museum of National History menyeka air mata. Berpisah dengan karakter-karakter menyenangkan yang telah dianggap seperti sahabat sendiri memang tidak pernah mudah.

Acceptable


No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch