October 3, 2014

REVIEW : THE EQUALIZER


“Progress. Not Perfection.” 

Seberapa jauh kamu mengenal orang yang nyaris setiap hari berada di sekelilingmu; rekan kerja, teman seperjuangan dalam menimba ilmu, atau tetangga? Ketika kamu mengira telah mengetahui semua tentangnya, sejatinya tanpa disadari... itu hanyalah sebagian kecil. Bahkan bisa jadi bukan kenyataan sebetulnya. Mungkin dia memang memiliki hati yang tulus, tetapi mungkin saja dia pembunuh berdarah dingin. What do we know? The Equalizer yang diadaptasi dari serial televisi angkatan 80-an berjudul sama adalah contoh sempurna bagaimana kita merasa telah mengenal baik rekan kerja yang duduk di meja sebelah, tetapi sesungguhnya tidak sama sekali. Dikemas melalui gelaran action-thriller, kolaborasi reuni bagi Denzel Washington dan Antoine Fuqua setelah Training Day (2001) yang menghantarkan piala Oscar untuk Washington ini jelas bukanlah sesuatu yang seharusnya kamu pandang sebelah mata karena sajiannya yang begitu seru, menegangkan, serta brutal. Sulit untuk menolak daya pikatnya. 

Sepintas, tidak ada keistimewaan berlebih yang dimiliki oleh Robert McCall (Denzel Washington). Selain sikap bersahabat, penuh dedikasi, dan berwibawa yang membuatnya disegani oleh rekan kerjanya di Home Mart – sebuah supermarket khusus perlengkapan rumah tangga – Robert hanyalah seorang pria paruh baya penderita OCD yang tertutup dan kesepian. Untuk melewati malamnya yang panjang, Robert kerap menghabiskan waktu dengan membaca novel-novel hasil rekomendasi mendiang istrinya di sebuah warung makan. Ketika malam dijepit pagi, rutinitasnya sebagai pegawai Home Mart kembali dimulai... begitu seterusnya, setiap hari. Pada titik ini, penonton pun dibuat bertanya-tanya, apa yang bisa dilakukan pria seperti ini selain memberikan motivasi dan nasihat yang bijak untuk kaum muda? Dengan sedikit mencemooh, nyaris tidak ada. Tentu saja kita belum tahu apapun soal Robert sampai seorang pelacur muda bernama Teri (Chloe Grace Moretz) menghampirinya, mengacaukan kehidupan normalnya, dan membangunkan singa dalam dirinya yang terlalu lama tertidur pulas. 

Di menit-menit awal, kita tidak dibekali sedikit pun latar belakang yang memungkinkan untuk mengenal si protagonis lebih mendalam. Apa yang bisa dilihat adalah Robert menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, cenderung monoton, namun dilakoninya dengan penuh semangat – tampak dari caranya bergaul di tempat kerja. Menjadi mentor bagi Ralphie (Johnny Skourtis) yang begitu mendambakan posisi sebagai petugas keamanan tapi terhalang oleh fisik gempalnya mungkin adalah hal paling menarik yang bisa dilakukan oleh Robert di tengah kesibukannya. Tanpa disediakan petunjuk, penonton dibiarkan menerka-nerka akan kemana film dialirkan. Menimbulkan sensasi kepenasaran yang tinggi, terlebih ada kesadaran bahwa ketenangan ini mustahil bertahan selamanya. Jelas akan ada badai yang hinggap cepat atau lambat. Sekalipun minim lonjakan, performa gemilang Denzel Washington dengan karismanya tak perlu lagi dipertanyakan mampu membuat kita bertahan, bersimpati penuh kepada karakter yang dibawakannya walau sama sekali tidak tahu menahu identitas aslinya. 

Ketika Chloe Grace Moretz lewat tampilan berbeda mengalihkan pandangan kita sejenak dari Washington, pada saat itulah pertanda bahaya muncul. Teri adalah sosok kunci munculnya petaka dalam film. Betul saja, penganiayaan terhadap Teri berbuntut panjang. Robert yang semula manis dan lembut – terkadang sulit membayangkannya melukai seekor semut – mendadak berubah tangguh, badass nan garang seketika selayaknya tukang jagal. Membantai sekelompok mafia Rusia dengan visualisasi bergaya a la miniseri Sherlock tanpa kesulitan sedikitpun. Menimbulkan pertanyaan lain, siapa sebetulnya dia? Sebuah pertanyaan yang sama pun membayangi Teddy (Marton Csokas), orang kepercayaan petinggi mafia Rusia, yang dikirim ke Boston untuk membereskan kekacauan yang telah ditimbulkan oleh Robert. Diposisikan sebagai villain, Teddy adalah tandingan sepadan bagi Robert. Seorang psikopat cerdas, dingin, dan penuh perhitungan. Menghalangi jalannya berarti membuka kesempatan untuk meniduri liang lahat lebih cepat. 

Teddy yang mengamuk merupakan cara bagi Richard Wenk meningkatkan ketegangan. The Equalizer menerapkan tipe slowburn – memanas secara perlahan – ke dalam tatanan pengisahan. Setapak demi setapak, ketenangan yang merajai paruh awal lenyap digantikan oleh badai yang telah dinanti-nanti kemunculannya. Fuqua menghadirkan gelaran kekerasan tanpa basi-basi, menghindari kompromi, sehingga bersiaplah menyaksikan tubuh manusia bergelimpangan lengkap ditemani muncratan darah segar. Sekalipun tensi sempat meredup di pertengahan sampai mendekati titik jenuh, Fuqua bangkit secara cepat dari keterpurukannya dan memberi penutup sempurna bagi The Equalizer melalui final showdown seru dengan aksi tanpa henti yang akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop dan menikmati fase penuh ketegangan. Pada akhirnya, meski bukanlah karya terbaik dari seorang Antoine Fuqua, The Equalizer tetaplah sajian blockbuster yang memuaskan dan sungguh mengasyikkan untuk disimak. Ada tuturan mengikat di balik gelaran aksinya yang keras, seru, dan mendebarkan. Keren!

Exceeds Expectations

1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch