June 30, 2014

REVIEW : THE FAULT IN OUR STARS


“You gave me a forever within the numbered days, and for that I am eternally grateful.”

Komedi bukanlah sahabat terbaik bagi romansa tragis berembel-embel penyakit mematikan. Kerap diwujudkan penuh derita dan uraian air mata seolah kebahagiaan telah sirna, khususnya di khasanah melodrama Asia, penderita dieksploitasi sedemikian rupa sampai-sampai menyunggingkan senyuman pun membutuhkan perjuangan tersendiri untuk dilalui. Akan tetapi, Hollywood sepertinya sudah lelah dengan rengekan tak berkesudahan sehingga mencoba memandang subjek pahit ini lewat nada yang lebih positif. Anda mungkin paling mengingatnya paling jelas di 50/50, dan kali ini, Josh Boone pun mengaplikasikan formula yang sama kala menuangkan novel young adult sarat puja puji dari banyak kalangan karya John Green, The Fault in Our Stars, ke dalam bahasa gambar dengan meminimalisir kecengengan dan mengalunkan penceritaan secara dewasa pula bijaksana. Hasilnya? Malah justru lebih membekas di hati. 

June 28, 2014

REVIEW : TRANSFORMERS: AGE OF EXTINCTION


“This is not war... it's human extinction!” 

Apa yang bisa Anda harapkan dari franchise film Transformers yang beranjak dari mainan laris keluaran Hasbro? Jawaban yang paling bisa diterima adalah pameran visual yang mewah megah di balik gelaran aksinya yang habis-habisan. Selain itu, sebaiknya lupakan saja karena mustahil akan dituai di seri ini. Transformers: Age of Extinction pun bukan pengecualian. Sekalipun Michael Bay – yang sempat berulang kali berencana mengundurkan diri dari posisi sutradara semenjak, yah, Revenge of the Fallen – telah sesumbar bahwa instalmen keempat ini akan dicanangkan sebagai semacam era baru, tetapi pada kenyatannya tidak banyak yang berubah di sini kecuali konfigurasi para pemain. Transformers: Age of Extinction masih seperti versi layar lebar dari Transformers yang Anda kenal; megah secara tampilan, namun begitu berisik, kelewat panjang, dan dangkal. Untuk sekali ini, Bay meningkatkan ‘kegilaan’ itu sehingga bagi Anda yang memang sedari awal tidak menggemari franchise ini (namun tetap memaksa untuk menontonnya), bersiaplah untuk menggelepar tak berdaya di dalam gedung bioskop. 

June 24, 2014

REVIEW : CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU


"Seng ada Passo, Seng ada Tulehu. Seng ada Islam, Seng ada Kristen. Beta disini Maluku. Kalo ada yang tanya ose siapa, ose jawab Beta Maluku!" 

Gemuruh sorak sorai dan tepuk tangan membahana di stadion, warung pinggiran, rumah penduduk, bahkan tempat ibadah. Sebuah pertanda bahwa tim jagoan telah merengkuh kemenangan, menghempas seluruh pandangan sarat skeptisisme. Segala keraguan yang tadinya hadir membayangi perlahan-lahan beralih rupa menjadi elu-elu pujian penuh kebanggaan. Pergulatan berhiaskan peluh keringat, air mata, dan pengkhianatan yang menyakitkan pun terbayar lunas, tersimpan di ingatan sebagai kenangan pahit... sekaligus manis. Berstatus sebagai tim ‘underdog’ dengan tipe perjuangan ‘from zero to hero’, pencapaian gemilang yang diukir oleh Tim U-15 Maluku dalam usaha mereka untuk berjaya di kompetisi tingkat nasional tentulah banyak memiliki cerita yang patut dibicarakan di belakangnya. Atas dasar inilah, Angga Dwimas Sasongko (Hari Untuk Amanda) bersama Visinema Pictures merasa perlu untuk menerjemahkan kisah perjuangan mereka ke dalam bahasa gambar melalui Cahaya Dari Timur: Beta Maluku

June 21, 2014

REVIEW : SELAMAT PAGI, MALAM


“Kenapa sih semua orang di Jakarta harus punya lebih dari satu telepon?” 

Bagaimana mendeskripsikan Jakarta? Mudah. Sebut saja kebisingan suara klakson yang bersahut-sahut tak berkesudahan, kemacetan tak berkeprimanusiaan sampai-sampai jalanan tak ubahnya lapangan parkir, barisan pengendara motor yang siap senggol bacok siapapun yang menghalangi laju mereka, pengguna angkutan umum yang berdempet-dempetan berhiaskan peluh keringat, sampai pekerja kantoran berlarian berpacu dengan waktu, maka itu sudah cukup merangkum rutinitas mengerikan yang dihadapi oleh warga Jakarta... setiap hari! Jelas, ini bukanlah tempat bagi Anda yang berharap bisa menjalani kehidupan dengan penuh kenyamanan, karena itu perkara yang nyaris mustahil diwujudkan. Ini adalah tempat yang mungkin (mungkin lho ya!) tepat bagi Anda yang ambisi utamanya adalah merengkuh rupiah sebanyak mungkin dan mengembangkan karir ke puncak tertinggi. 

June 17, 2014

REVIEW : HOW TO TRAIN YOUR DRAGON 2

 

“You have the heart of a chief. And the soul of a dragon.” 

Dirilis pertama kali di bioskop pada 4 tahun silam, How to Train Your Dragon sukses membelalakkan mata banyak pihak, meninggalkan kesan mendalam, sekaligus mengembalikan kejayaan film naga fantasi. Selain disebabkan oleh kualitas penceritaannya yang tidak dinyana akan tergarap begitu baik – sehingga menempatkannya sebagai film salah satu animasi terbaik ciptaan DreamWorks Animation – keputusan berani si pembuat film, kala itu Dean DeBlois dan Chris Sanders, untuk mengakhiri film secara bittersweet yang sedikit banyak mengkhianati pakem yang telah digariskan oleh film animasi keluarga, pun patut memeroleh apresiasi. Tidak dipaksakan terwujud happy ending, membuat akhiran kisah terasa lebih membekas. Hasilnya, tidak saja dipuja puji para kritikus film, penonton kebanyakan pun menggemarinya. Seketika itu pula, naga berjenis Night Fury yang wujudnya seperti perpaduan anjing, kucing, dan kelelawar bernama Toothless menjadi idola baru yang begitu dicintai oleh para penikmat film. 

June 15, 2014

REVIEW : MARI LARI


"Orang nggak jadi kuat hanya dalam sehari. Ini bukan film. Semua butuh proses." 

Rio (Dimas Aditya), putra dari pasangan Tio (Donny Damara) dan Fitri (Ira Wibowo), tumbuh berkembang sebagai pemuda pemalas dan tidak memiliki tekad kuat untuk menggapai apapun dalam hidupnya. Sedari kecil, apapun yang dikerjakannya tak pernah menuai hasil, selalu berhenti di tengah jalan. Kebiasaan buruk ini terus berlanjut hingga Rio duduk di bangku kuliah dan berdampak pada pengerjaan skripsi yang mandeg. Malu melihat putra semata wayangnya tak kunjung wisuda hingga tahun ke-7, Tio pun membuat keputusan besar dengan mengusir Rio dari rumah. Untuk menyambung hidup, Rio bekerja sebagai sales di showroom yang dikelola sahabatnya. Jalan hidup Rio mulai menampakkan perubahan tatkala Fitri wafat dan memaksa Rio berdamai dengan sang ayah. Termotivasi untuk menunjukkan kepada Tio bahwa dirinya adalah putra yang bisa diandalkan, Rio pun berniat mengikuti lomba lari marathon di Bromo. Sebagai persiapan, Rio bergabung bersama komunitas lari, Indo Runners, yang memertemukannya dengan Anisa (Olivia Lubis Jensen) yang semakin mengobarkan semangat hidupnya. 

June 14, 2014

REVIEW : 22 JUMP STREET


“We Jump Street, and we 'bout to jump in yo ass.” 

Ketika ide pembuatan film layar lebar dari serial televisi klasik, 21 Jump Street, dicanangkan, nyaris tidak ada yang menyambutnya dengan suka cita. Sinis, sinis, sinis. Itulah hasil tarikan simpulan yang umum dijumpai. Nyatanya, beragam pihak yang tadinya melontarkan pandangan merendahkan mau tak mau menelan ludah sendiri saat 21 Jump Street berkibar tidak hanya sisi komersil tetapi juga kualitas. Kecaman seketika beralih wujud menjadi pujian. Pihak studio yang sempat was-was menanti laporan pengumpulan dollar pun tak ragu memberi lampu hijau untuk pembuatan film kelanjutan sepak terjang Schmidt (Jonah Hill) dan Jenko (Channing Tatum) dalam memberangus peredaran narkotika di kalangan muda-mudi usai $200 juta lebih memasuki kantong. Ini berarti... sebuah sekuel? Ugh. Skeptisisme hampir bisa dipastikan akan menyeruak kembali – tidak peduli sehebat apa performa jilid pertama – karena yah, komedi aksi biasanya kehilangan kemesraannya saat memasuki film kedua. Lebih besar dan gegap gempita, tapi tidak lebih dari sekadar pengulangan. Apakah ini akan menimpa pada 22 Jump Street? Let’s see

June 10, 2014

REVIEW : OCULUS


“I've met my demons and they are many. I've seen the devil, and he is me.”

Telah menginjak separuh jalan menapaki tahun 2014, apakah Anda telah menemukan sebuah film horor yang meresap hingga ke ulu hati? Adakah? Tahun ini memang bersinar terang bagi film yang pijakan sumber aslinya adalah komik superhero, tetapi bagi film horor... errr, tunggu dulu. Kekeringan film horor berkualitas, ada pertanda bahwa musim paceklik untuk genre ini akan datang. Dua film (maunya) seram yang hadir di awal tahun semacam Paranormal Activity: The Marked Ones dan Devil’s Due adalah lelucon yang menyakitkan bagi penggemar film memedi. Lagipula, masa kejayaan found footage telah berlalu dan kesenangan dalam menyimaknya telah berlungsuran. Saat ini adalah masa-masa dimana film horor bergaya konvensional kembali menunjukkan taringnya ke khalayak ramai. Menyadari penuh tren tersebut, Mike Flanagan (Absentia) pun mengolah film pendeknya untuk diwujudkan sebagai konsumsi penonton bioskop dalam wujud Oculus

June 8, 2014

REVIEW : MALEFICENT


“Before the sun sets on her sixteenth birthday, she will fall into a sleep like death!” – Maleficent 

Disney sedang getol menciptakan versi pelengkap bagi film-film yang telah mendapatkan status klasik. Lihat saja apa yang mereka perbuat untuk The Wizard of Oz dengan memberinya Oz the Great and Powerful, Mary Poppins bersama Saving Mr. Banks, dan yang teranyar adalah Sleeping Beauty yang ditemani oleh Maleficent – seraya merayakan ulang tahun ke-55 dari Sleeping Beauty. Apakah ini semacam pertanda bahwa danau ide di Hollywood telah mengering? Bisa dibilang demikian. Walau toh tidak bisa dipungkiri masih banyak penonton yang menanggapi konsep ini dengan suka cita karena paparan yang berbeda dari sebuah cerita (atau dongeng) yang telah dikenal baik oleh khalayak ramai memang memiliki daya tariknya sendiri. Dalam kasus Maleficent, siapa pula yang tidak tergugah untuk mengetahui motif sesungguhnya dari dilepaskannya kutukan legendaris itu? Terlebih, film tak akan melantunkan kisahnya mengikuti penderitaan Putri Tidur, melainkan membangun pilar cerita baru memanfaatkan sang villain ikonis berjubah hitam dan bertanduk panjang, Maleficent, sebagai poros utama. 

June 6, 2014

REVIEW : VIVA JKT48


“Kalian itu satu-satunya group idol yang bisa kita temui setiap hari. Yang lain mana bisa seperti kalian.” 

Dengan rekan-rekan seprofesi di blantika musik telah terlebih dahulu mengepakkan sayap ke panggung sinema, hanya soal waktu JKT48 akan mengikuti jejak mereka. Memiliki basis penggemar yang terbilang besar, kuat, dan loyal, maka tidak ada alasan bagi para produser film di Indonesia untuk menolak mendapuk idol group ini sebagai bintang utama dalam sebuah film layar lebar. Benar saja, berjarak sekitar kurang dari 3 tahun terhitung sejak pertama kali debut, JKT48 telah dihadiahi film sendiri yang bahkan tidak dimiliki oleh sister group-nya yang bertempat di Jepang, AKB48. Mengambil haluan berbeda dari film-film yang mengedepankan grup musik di garda depan, film berjudul Viva JKT48 yang diproduksi oleh Maxima Pictures ini sepenuhnya dimaksudkan sebagai film fiksi fantasi tanpa sedikitpun mencuplik kisah perjalanan hidup para member-nya dalam membangun karir profesional. 

June 4, 2014

[Preview] DAFTAR FILM INDONESIA SIAP RILIS JUNI 2014


Memasuki liburan sekolah di bulan Juni ini, perfilman Indonesia cenderung adem ayem. Selain Viva JKT48, tak ada rilisan besar pada bulan ini. Mungkin, menghindari persaingan secara langsung dengan Hollywood yang tengah membara bersama summer blockbuster-nya. Pun demikian, minim rilisan besar bukan berarti ini akan menjadi bulan kering. Ada beragam varian dan premis menggugah selera yang ditawarkan; soal lari, soal bola, soal Jakarta, soal lingkungan, dan soal percintaan. 

Untuk lebih lengkapnya, inilah film-film Indonesia yang dirilis pada Juni 2014:
Mobile Edition
By Blogger Touch