May 17, 2014

REVIEW : GODZILLA


“Let them fight!” – Ichiro Serizawa 

Wahai penduduk San Fransisco, bersiaplah untuk merasakan goncangan keras, mendengar pekikkan nyaring, serta melihat gedung-gedung pencakar langit luluh lantak dalam waktu dekat karena... sang Raja Kaiju telah bangun dari tidurnya! Setelah beristirahat selama 16 tahun semenjak Godzilla versi Roland Emmerich yang dihujat oleh para penggemar berat lantaran dianggap mengkhianati warisan Ishiro Honda yang begitu sakral – namun begitu dicintai oleh penonton awam dari generasi 1990’an (termasuk saya) – Hollywood memutuskan untuk membangunkan Big G dari istirahat panjangnya melalui sebuah reboot yang, untuk sekali ini, mencoba setia terhadap sumber asli. Hasilnya, Gojira (Godzilla) versi 2014 yang dikreasi sesuai desain asli Toho dalam bentuk monster berukuran gigantis yang menjulang tinggi dengan tampilan fisik yang mengerikan lengkap bersama perut membuncit, punggung bergaya Mohican menyerupai stegosaurus, lekingan yang mendirikan bulu kuduk, hingga atomic breath yang sensasional, ini terlihat mencengangkan. Anda akan mendapatkan cinematic experience yang menimbulkan decak kagum di sini. 

Pada tahun 1999, dua ilmuwan, Ishiro Serizawa (Ken Watanabe) dan Vivienne Graham (Sally Hawkins), menemukan sejumlah fosil raksasa misterius yang terlihat seperti milik makhluk purbakala di Filipina. Sementara itu, sebuah instalasi nuklir di Janjira, Jepang, mengalami kebocoran radiasi yang menewaskan istri dari seorang ilmuwan Amerika, Joe Brody (Bryan Cranston). Dua peristiwa yang seolah tidak memiliki keterkaitan satu sama lain ini menemukan benang merahnya dalam 15 tahun ke depan, saat sebuah panggilan telepon memaksa Ford (Aaron Taylor-Johnson), penjinak bom di US Navy yang juga putra Joe, untuk terbang ke Jepang. Rupanya, Joe masih begitu terobsesi dengan peristiwa di Janjira hingga nekat menerobos ke kawasan karantina. Hanya berbekal misi meyakinkan sang ayah untuk melanjutkan hidup, Ford malah justru ikut terseret ke dalam petualangan Joe yang berbahaya terlebih setelah monster misterius yang eksistensinya telah tercium sejak puluhan tahun silam tersebut menunjukkan wujud aslinya. 

Meski ditangani oleh Gareth Edwards yang baru mengantongi film indie Monsters di deretan filmografinya, Godzilla milik Legendary Pictures dan Warner Bros. ini memenuhi segala apa yang diharapkan ada dalam sebuah tontonan blockbuster; ledakan-ledakan yang menimbulkan kekacauan besar, kehancuran dalam skala masif dengan beragam penyebab dari gempa bumi sampai tsunami mematikan, hingga final showdown epik yang berlangsung di sebuah kota besar padat penduduk. Dengan kucuran dana mencapai sekitar $160 juta, maka mudah bagi Edwards yang memiliki latar belakang special effects ini untuk mewujudkannya. Terlebih lagi, dia mendapat sokongan dari dream team di Hollywood yang melibatkan sinematografer Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers), VFX supervisor Jim Rygiel (trilogi The Lord of the Rings), hingga komponis Alexandre Desplat (Harry Potter and the Deathly Hallows, The Tree of Life) yang akan membuat sineas manapun iri. 

Memanfaatkan keuntungan yang dimilikinya secara maksimal adalah hal pertama (dan utama) yang dilakukan oleh Edwards. Seolah telah mempunyai jam terbang tinggi melebihi Michael Bay, Godzilla dihidangkannya sebagai sebuah sajian yang menggelegar dengan pengalaman sinematik yang akan memunculkan efek jaw dropping. Lihat saja bagaimana cara Edwards memberi perlakuan terhadap kemunculan penuh perdana ‘King of the Monsters’. Sengaja menyimpannya rapat-rapat di menit-menit awal, dengan penampakan hanya berupa siluet, sirip punggung, maupun ekor yang mengibas-ibas, si pembuat film sukses membuat penonton senantiasa bertanya-tanya, “seperti apa sih si Gojira yang katanya hebat ini?.” Bahkan ketika monster tandingan telah menampakkan diri, Godzilla masih juga menutup diri. Sepertinya konsep ‘less is more’ benar-benar diterapkan di sini. Benar saja, saat Big G terlihat utuh untuk pertama kalinya di Hawaii, suara decak kagum memenuhi seantero gedung bioskop dan... rahang nyaris setiap penonton pun terjatuh (you know what I mean). 

Hanya saja, untuk mencapai tahapan yang memicu reaksi riuh ini, Anda harus bersabar menanti... benar-benar bersabar. Keputusan untuk patuh kepada sumber asli berarti menganut pula nada penceritaan yang cenderung bersifat ‘slow burn’ – dalam artian, perlahan-lahan tapi pasti. Setelah pembuka yang gegap gempita, secara berkala tensi ketegangan mulai menurun. Penonton digiring ke ranah drama kemanusiaan yang (maunya) penuh kehangatan. Terasa meyakinkan dan menggugah emosi saat Sandra (Juliette Binoche, dalam peran yang sangat singkat!), istri Joe, tewas dalam insiden Janjira, namun setelah itu tak ada lagi yang mampu menyamainya. Sebelum akhirnya Godzilla benar-benar mengamuk, film memasuki masa-masa yang terbilang menjemukan, bertele-tele dan melelahkan. Keberadaan nama-nama seperti Bryan Cranston, Ken Watanabe, Sally Hawkins, Elizabeth Olsen, dan David Strathairn, sama sekali tidak membantu. Mereka tak lebih dari sekadar penggembira karena bagaimanapun Godzilla adalah bintang utamanya. 

Tapi untungnya ini masih bisa dimaafkan karena setelah menit-menit menyiksa dalam dramatisasi yang gagal, Edwards lantas mengomando penonton untuk mengencangkan sabuk pengaman. Perjuangan melewati rasa jenuh itu akhirnya terbayarkan dengan lunas saat Godzilla menampakkan wujudnya secara utuh di Hawaii dan berlanjut ke pertarungan seru melawan monster misterius lain dalam 30 menit terakhir yang menggetarkan. Dipoles menggunakan efek khusus yang megah pula mewah, maka bisa jadi apa yang dipertontonkan oleh Gareth Edwards di sini adalah sajian terbaik di musim panas tahun ini. Godzilla boleh saja tidak terlampau jago dalam mempermainkan emosi penonton, tetapi setidaknya Godzilla jago dalam membuat penonton terhibur dengan aksinya, raungannya, dan semburan mautnya. Dalam kaitannya sebagai sebuah ‘popcorn movie’ (dan monster movie), ini tentu lebih penting. Rawrrr!!!

2D atau 3D? Tidak ada yang istimewa dari format 3D karena Godzilla memang tidak khusus dibuat untuk format ini. Cukup saksikan dalam format 2D di studio terbesar.

Exceeds Expectations

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch