May 29, 2014

REVIEW : EDGE OF TOMORROW

 

“I'm not a soldier.” – Cage 
“Of course not. You're a weapon.” – Rita 

Apakah musim panas tahun ini akan menjadi salah satu yang terbaik bagi para pecinta film? Ditilik dari gejalanya, sepertinya demikian. Deretan film musim panas yang hinggap di bioskop-bioskop Indonesia, dimulai dari The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro, memiliki asupan hiburan yang mencukupi dan memenuhi standar gizi. Bahkan, film yang semula banyak dianggap remeh, Edge of Tomorrow, lantaran promosi yang terbilang seadanya (untuk ukuran summer blockbuster dari Hollywood) dan sentuhan emas Tom Cruise yang perlahan-lahan mulai memudar – terlebih setelah film berkualitas medioker semacam Jack Reacher dan Oblivion yang ditanggapi dingin berbagai pihak – pun tak bisa juga dipandang sebelah mata. Malahan, Edge of Tomorrow berpotensi kuat keluar sebagai salah satu film yang terunggul di saat perlombaan film musim panas mencapai puncaknya di akhir Agustus nanti.  

May 26, 2014

REVIEW : X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST

 
“Use your power. Bring the X-Men together. Guide us, lead us...” - Logan 

Bryan Singer is back! Kekacauan yang ditimbulkan oleh X-Men: The Last Stand dan betapa mengagumkannya X-Men: First Class sebagai sebuah reboot tampaknya telah memacu Singer untuk mengambil alih tampuk penyutradaraan pada X-Men: Days of Future Past yang merupakan bagian kedua dari era baru franchise para superhero mutan ini setelah First Class. Tidak seperti jilid pendahulu yang lebih sering bermain-main (dan memiliki nuansa yang cerah ceria), Days of Future Past yang menganut pada tuturan kisah dari edisi komik berjudul sama yang terbit pada tahun 1981 ini pun mengikuti jejak sekuel film superhero kebanyakan yang merubah tone penceritaan menjadi lebih dewasa, kelam, dan gelap. Tidak ketinggalan, berambisi membuatnya sebagai seri terbaik, Singer pun menghidangkan Days of Future Past dengan asupan aksi yang jauh lebih menggelegar, penuh kegilaan, dan (tentunya) berskala masif. 

May 20, 2014

REVIEW : PHILOMENA


“I forgive you because I don't want to remain angry.” – Philomena 

Who the hell is Philomena?.” Itulah pertanyaan pertama yang terbersit di pikiran saya dan (cukup meyakini) sebagian besar dari Anda tatkala mengetahui bahwa film berjudul Philomena beranjak dari kisah nyata kehidupan seorang perempuan tua asal Irlandia bernama Philomena Lee. Bukan seseorang yang memiliki garis keturunan ningrat, menggerakkan revolusi di suatu bidang, atau tokoh masyarakat yang sarat akan skandal di masa lalu, tentu membuat siapapun diliputi penasaran; apa yang begitu istimewa dari sosok ini sehingga jalan hidupnya layak untuk diabadikan melalui media film? Pertanyaan itu akan langsung terjawab seusai Anda menyaksikan film yang diadaptasi dari buku non-fiksi rekaan jurnalis Britania Raya, Martin Sixsmith, berjudul “The Lost Child of Philomena Lee”. Sekadar saran bagi Anda yang buta sama sekali mengenai Philomena Lee dan berniat menyimak Philomena, ada baiknya tak mengubek-ubek Google terlebih dahulu. Semakin sedikit yang Anda tahu mengenai wanita berusia 80 tahun ini, semakin Anda dapat terlarut ke dalam tatanan pengisahan yang digelar dalam film. 

May 17, 2014

REVIEW : GODZILLA


“Let them fight!” – Ichiro Serizawa 

Wahai penduduk San Fransisco, bersiaplah untuk merasakan goncangan keras, mendengar pekikkan nyaring, serta melihat gedung-gedung pencakar langit luluh lantak dalam waktu dekat karena... sang Raja Kaiju telah bangun dari tidurnya! Setelah beristirahat selama 16 tahun semenjak Godzilla versi Roland Emmerich yang dihujat oleh para penggemar berat lantaran dianggap mengkhianati warisan Ishiro Honda yang begitu sakral – namun begitu dicintai oleh penonton awam dari generasi 1990’an (termasuk saya) – Hollywood memutuskan untuk membangunkan Big G dari istirahat panjangnya melalui sebuah reboot yang, untuk sekali ini, mencoba setia terhadap sumber asli. Hasilnya, Gojira (Godzilla) versi 2014 yang dikreasi sesuai desain asli Toho dalam bentuk monster berukuran gigantis yang menjulang tinggi dengan tampilan fisik yang mengerikan lengkap bersama perut membuncit, punggung bergaya Mohican menyerupai stegosaurus, lekingan yang mendirikan bulu kuduk, hingga atomic breath yang sensasional, ini terlihat mencengangkan. Anda akan mendapatkan cinematic experience yang menimbulkan decak kagum di sini. 

May 15, 2014

REVIEW : MARMUT MERAH JAMBU


“Yang bukan siapa-siapa, mana bisa mendapat apa-apa.” 

Raditya Dika telah curhat colongan seputar kisah asmaranya yang apes secara berturut-turut lewat Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Cinta Dalam Kardus, hingga Manusia Setengah Salmon. Melalui garapan terbarunya yang sekaligus menandai debutnya sebagai sutradara film panjang, Marmut Merah Jambu, (lagi-lagi) Dika berkisah mengenai kehidupan percintaannya yang dirundung sial. Hanya saja, selayaknya Manusia Setengah Salmon, Marmut Merah Jambu tidak memberatkan seluruh isian penceritaan dengan asmara penuh duka lara tetapi juga mengupas tentang pertemanan, keluarga, dan sedikit memberikan sentuhan misteri ke dalamnya. Inilah yang menjadikan film terasa lebih mengikat. Menariknya lagi, Dika turut menyemprotkan aroma nostalgia SMA dalam Marmut Merah Jambu yang akan membuat penonton manapun (yang telah melewati masa-masa ini) membongkar setumpuk kenangan yang tersimpan indah (maupun pahit) di ingatan.  

May 11, 2014

REVIEW : THE OTHER WOMAN


“Selfish people live longer!” – Lydia 

Apabila Anda tengah diterjang beragam masalah kehidupan yang pelik, ditiban setumpuk pekerjaan, dan membutuhkan sebuah tontonan yang mengasyikkan sebagai bentuk pelarian sesaat dari kepenatan, maka The Other Woman menawarkan solusi. Nick Cassavetes yang lebih dikenal sebagai sutradara film penguras air mata semacam The Notebook dan My Sister’s Keeper untuk sekali ini mencoba mengajak Anda bersenang-senang, tertawa terbahak-bahak, dan menikmati kehidupan lewat garapan terbarunya ini. Ya, ini adalah sebuah jenis tontonan yang tidak menuntut apapun kepada para penonton selain sandarkan tubuh ke kursi bioskop dengan santai, persiapkan cemilan ringan beserta minuman, dan nikmati saja apa yang terhidang di layar perak. Pemikiran yang kelewat serius sebaiknya ditinggalkan sebelum memasuki gedung bioskop. 

May 6, 2014

REVIEW : MALL KLENDER (THE MALL)


"Jangan pernah takut sama kemampuan lo. Jadikan itu sebagai kekuatan lo." - Panji

Bangunan pusat perbelanjaan (dan hiburan) yang hangus terbakar hingga menelan korban jiwa kerap kali menyisakan cerita mistis yang lantas berkembang sebagai urban legend. Entah berapa kali saya didongengi cerita seram seputar ‘bangunan A’ atau ‘bangunan B’ kala bertandang ke kota tertentu dengan rata-rata teror muncul dalam bentuk rintihan tangis, suara-suara misterius, hingga keramaian yang tidak semestinya. Bahkan ini tak juga berakhir tatkala bangunan telah beralih rupa dalam wujud baru. Jika mempercayai kisah dari mulut ke mulut yang beredar luas, toilet adalah jujugan favorit dari para lelembut terlebih di saat sunyi sepi. Waduh! Berdasar fenomena urban legend yang membuat bulu kuduk saya bergidik ngeri tiap mendengar kisahnya inilah David Poernomo lewat rumah produksi Hitmaker Studio melahirkan The Mall (dikenal juga dengan judul Mall Klender). 

May 5, 2014

[Preview] DAFTAR FILM INDONESIA SIAP RILIS MEI 2014


Selamat datang di bulan Mei. Pada bulan ini, para penikmat film di tanah air akan menjadi saksi bagaimana kiprah Raditya Dika sebagai sutradara di film panjang perdana garapannya yang diangkat dari buku larisnya. Selain itu, Anda juga bisa menyimak film KPK, film mengenai karate, serta (tentunya) sederet film yang beranjak dari novel ternama. Manakah yang membuat Anda tertarik untuk melahapnya? 

Untuk lebih lengkapnya, inilah film-film Indonesia yang dirilis pada Mei 2014:

May 2, 2014

REVIEW : THE AMAZING SPIDER-MAN 2: RISE OF ELECTRO


“You're Spider-Man, and I love that. But I love Peter Parker more.” – Gwen Stacy 

Ada semacam perjanjian tak tertulis yang lantas dipatenkan oleh para petinggi di Hollywood sebagai formula pencipta kesuksesan sebuah sekuel film superhero; cakupan skala yang lebih masif, villain yang lebih beringas (dan kalau perlu, lebih banyak), tuturan kisah yang lebih kompleks njelimet, dan bubuhan heart factor ke dalam penceritaan (meski ini tak selalu ada). Intinya, membawa standar yang telah ditetapkan oleh jilid sebelumnya ke tingkatan lebih tinggi demi memunculkan kesan fantastis dan bombastis. Berlandaskan pada fakta bahwa The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro adalah sebuah film kelanjutan, maka Marc Webb pun memberi perlakuan yang kurang lebih sama untuk film ini. Memikul beban berat usai kesuksesan jilid pertama dari sisi finansial maupun ulasan, Webb menghidangkan Rise of Electro sebagai sebuah sajian yang lebih besar, lebih padat, lebih berisik, dan lebih emosional dari sebelumnya. Tapi apakah ini berarti lebih baik dari The Amazing Spider-Man? Let’s see. 
Mobile Edition
By Blogger Touch