November 17, 2013

REVIEW : NOAH: AWAL SEMULA


"Nasib akan mempertemukan kita lagi."

Jika memperbincangkan mengenai musisi atau grup musik dengan pengaruh yang kuat terasa di Indonesia, maka tidak ada alasan untuk tidak menyebut NOAH (dulu dikenal sebagai Peterpan). Di tengah iklim industri musik dalam negeri yang gersang tiada berkesudahan, grup musik ini tak henti-hentinya menciptakan rekor dalam hal angka penjualan album. Ini pun selaras dengan resepsi dari para pemerhati musik yang bernada positif. Kecemerlangan karir yang telah ditorehkan sejak awal 2000-an tetap melaju kencang hingga usia band mencapai angka belasan. Banyak dari kita pun lantas bertanya-tanya, “apa yang membuat NOAH sedemikian istimewanya sehingga publik tak segan-segan untuk memuja, menyembah, dan menjadikan grup musik ini sebagai ‘Tuhan’ mereka?”. Melalui NOAH: Awal Semula, Putrama Tuta yang angkat nama melalui Catatan Harian Si Boy lantas memberikan sebuah akses ke belakang panggung yang tak terbatas kepada khalayak luas. Tujuannya? Membeberkan resep rahasia dari kharisma tak tertahankan milik NOAH. 

Dalam kurun waktu yang singkat, NOAH telah membukukan angka lebih dari 7 juta penjualan album serta lebih dari 40 penghargaan... dan itu pun masih akan terus menghitung. Sebuah jumlah yang jelas tidak main-main. Kalimat pembuka ini lantas menghantarkan penonton ke masa lalu melalui serangkaian footage dan foto kala Peterpan masih berkibar di puncak. Di tengah-tengah itu, dihadirkan pula wawancara bersama para personil inti, mantan personil (Andika), serta beberapa orang di belakang layar. Masing-masing membagi kisahnya mengenai bagaimana grup ini dengan cepat mendaki tangga popularitas, bagaimana ketenaran (yang tampak begitu menggoda di awal) malah menyerang balik mereka, hingga retaknya keharmonisan lantaran perbedaan visi. Setelah perpecahan yang memaksa empat personil yang tersisa untuk hadir dengan nama anyar, mereka mencoba untuk tetap maju. Hanya saja, ini belum saatnya bagi mereka untuk benar-benar bangkit. Skandal video porno yang menimpa sang vokalis, Ariel, nyatanya malah kian menjerumuskan mereka ke jurang yang lebih dalam. Harapan untuk kembali bersinar terang benderang seperti sedia kala, secara perlahan mulai pupus. 

Apakah persoalan yang seolah tiada habisnya ini menjadi alasan bagi mereka untuk menyerah dan bubar jalan? Anda tentu telah mengetahui jawabannya. Pada dasarnya, kita semua telah mengetahui bagaimana film rockumentary ini akan berakhir. Akan tetapi, bukan kemana alur film ini akan bermuara yang menarik perhatian, namun lebih kepada bagaimana proses menuju ke sana; berbagai proses yang kudu dilalui oleh Ariel, Uki, Reza, Lukman, dan David untuk kembali merebut posisi singgasana setelah dijatuhkan tanpa ampun hingga ke dasar. Melalui pemaparan yang begitu jujur, tanpa pernah berusaha untuk ditutup-tutupi dengan ‘topeng’, ada kehangatan yang berhasil tersampaikan dan dirasakan, juga inspiratif. Kita mampu terhubung dan merasa kenal dengan para personil – seperti kawan lama – sehingga ada rasa percaya serta peduli terhadap setiap curahan hati yang meluncur dari mulut mereka pada masa-masa sulit. Terlihat jelas kerapuhan, kegamangan, hingga hilangnya rasa percaya diri ketika Ariel dijebloskan ke penjara yang berdampak pada ketidakjelasan status NOAH. Pun demikian, mereka menolak menyerah terhadap nasib buruk, setiap personil saling mendukung satu sama lain demi memeroleh kesempatan kedua 

Lalu, kita semua akhirnya mengerti mengapa grup ini layak untuk kembali melesat ke puncak dan sebuah pertanyaan besar atas ‘mengapa NOAH begitu dicintai oleh segala lapisan masyarakat’ secara perlahan terjawab. Personality yang kuat dari personilnya terutama sang vokalis, passion yang begitu tinggi terhadap musik – tergambar keseriusan, kecermatan, kalkulasi, dan rasa cinta dalam setiap penciptaan karya anyar dan konsep untuk konser, hingga (tentu saja) lagu-lagu yang mudah untuk nyantol di telinga. Tanpa dipelintir sedemikian rupa, Putrama Tuta mencoba menghidangkan segalanya secara apa adanya demi menciptakan cita rasa yang lebih otentik, termasuk dengan membiarkan segala bentuk dokumentasi yang mentah dan kasar masuk ke dalam film, yang lantas disulam dengan begitu menawan oleh Cesa David Luckmansyah, Aline Jusria serta Faesal Rizal, dan mendapat dukungan skoring yang megah dari Aghi Narottama. 

Mungkin sebagian dari Anda bertanya-tanya, bagaimana dengan adegan konsernya? Well... jika yang diharapkan dari film ini adalah sajian berupa konser berbalut dokumentasi seperti film doku-konser yang belakangan marak dirilis, maka bersiaplah untuk kecewa. Putrama Tuta menciptakan ini sebagai backstage documentary - berarti lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkeliaran di belakang panggung - dengan beberapa lagu yang sesekali mengiringi. Sebuah keputusan yang berani dan beresiko, sesungguhnya, namun memungkinkan bagi si pembuat film untuk menuturkan kisah peralihan dari Peterpan menuju NOAH dengan lebih intim. Hanya saja, sayangnya, ada yang luput dibubuhkan ke dalam film; timeline. Padahal ini penting untuk memandu penonton agar lebih nyaman (dan tak tersesat) dalam menyimak perjalanan karir penuh goncangan dari NOAH. Cukup disayangkan, tapi untungnya tak menjatuhkan film secara keseluruhan. Bagaimanapun, NOAH: Awal Semula adalah akses tak terbatas ke belakang panggung yang dikemas dengan sungguh apik, menggugah emosi, dan inspiratif. Sebuah film rockumentary yang sangat keren!

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena ada post-credit scene yang diselipkan di penghujung film!

Exceeds Expectations

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch