November 10, 2013

REVIEW : ADRIANA


"Untuk bisa merasa kebahagiaan, ada tiga yang harus dimiliki; sesuatu untuk diharapkan, dikerjakan, dan untuk dicintai."

Dalam garapan teranyarnya sekaligus menjadi film ketiga untuk tahun ini, Fajar Nugros mencoba untuk mengambil resiko. Ada sesuatu yang tidak biasa – dan cenderung unik – dalam Adriana. Masih berada di jalur film romantis dengan pangsa pasar utama adalah remaja, namun untuk sekali ini ada bubuhan sejarah yang dimanfaatkan untuk menggulirkan kisah. Huh, sejarah? Ya, si pembuat film dengan suka cita membagi latar belakang dari sejumlah monumen bersejarah di Jakarta yang disajikan dalam bentuk teka teki. Jika Anda telah menyaksikan dwilogi National Treasure yang dibintangi oleh Nicolas Cage, maka boleh dikatakan ini adalah semacam versi Indonesia-nya dengan penekanan lebih pada sisi romantisme. Penonton diajak untuk menyibak teka-teki dari secarik kertas yang menghantarkan pada sisi lain dari Jakarta yang menarik untuk dikuliti demi memenangkan hati seorang gadis. Menggugah selera. 

Teka teki bertema sejarah kota Jakarta tersebut diluncurkan pertama kali oleh Adriana (Eva Celia), seorang gadis manis yang membuat jantung Mamen (Adipati Dolken) berdetak kencang kala pertama kali melihatnya di Perpustakaan Nasional. Tidak seperti gadis pada umumnya yang, mungkin, menyambut gembira ajakan perkenalan dari Mamen, Adriana malah menyodori si playboy ulung dengan secarik kertas. Tulisan yang tercantum di kertas tersebut berbunyi, “Temui aku ketika karpet lift berganti dua kali, aku akan menunggumu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya saat proklamasi pertama kali dibacakan.” Apakah maksudnya? Inilah yang kudu dipecahkan oleh Mamen apabila ingin mengungkap jati diri dari gadis misterius tersebut. Lantaran menemui jalan buntu, Mamen meminta bantuan pada Sobar (Kevin Julio), sahabatnya yang sekaligus asisten dosen Sejarah. Atas pertolongan yang diberikan secara suka rela oleh Sobar, penelusuran ini mulai menemui titik terang. Akan tetapi, yang tidak diketahui oleh Mamen dan Sobar, petualangan ini masih jauh dari garis akhir, Adriana baru saja memulainya... 

Dengan perkawinan antara romansa segi rumit, teka teki, dan sejarah, Adriana terhindar dari ramuan klise yang kerap digunakan oleh sineas Indonesia. Racikan dari Fajar Nugros (yang lantas dikembangkan dalam bentuk skrip oleh Lelelaila) terbilang unik, informatif, dan menyegarkan. Si pembuat film tak mengartikan, “esensi cewek cantik itu adalah petualangan untuk dapetinnya,” secara mentah dengan menghadirkan rintangan-rintangan yang kelewat umum di film sejenis, namun justru membawa petualangan sesungguhnya yang melibatkan teka-teki dengan segala trivia seputar landmark dan budaya kota Jakarta. Dengan pengemasan seperti ini – sekalipun resiko yang kudu dihadapi secara otomatis tak sedikit – film telah mendapatkan perhatian dari penonton sejak awal. Ada rasa tertarik untuk mengikuti petualangan cinta tak biasa dari si tokoh utama. Demi menjaga agar penonton tak berpaling dari layar, si pembuat film pun tak lupa menyelipkan humor-humor yang menggelitik urat tawa dan beberapa kelokan dalam lajur penceritaan. 

Hanya saja, Adriana mulai kehilangan pijakan memasuki pertengahan film. Ikatan emosional antara penonton dengan para tokoh di film yang tak pernah benar-benar dibangun sejak awal mulai berhamburan. Agaknya, Fajar Nugros terlalu mencurahkan segalanya kepada penyusunan teka-teki sehingga ‘ketiga anaknya’ menjadi tak terurus. Padahal ini krusial. Bagaimana penonton bisa turut hanyut ke dalam film sementara tak ada rasa peduli kepada para karakternya? Film yang memulai langkahnya dengan tegap dan menjanjikan, perlahan tapi pasti mulai kehilangan kendali seiring dengan semakin dalamnya misteri yang kudu dikuak lantaran minim emosi dengan para karakter yang nyaris tidak memiliki kedalaman dan kosong. Sungguh sangat disayangkan. 

Akan tetapi, Adriana masih beruntung karena terselamatkan oleh tata kamera yang cantik dari Yadi Sugandi, tata kamera oleh Benny Lauda yang apik, performa mengesankan dari Kevin Julio, sentuhan musik contemporaray jazz yang manis dari Indra Lesmana, serta jalinan kisahnya boleh dibilang informatif dan mengundang rasa penasaran. Dan apakah saya merekomendasikan film ini? Oh ya, tentu saja, terlepas dari hasil akhir yang tidak seperti pengharapan, upaya Fajar Nugros untuk menghadirkan sebuah sajian yang berbeda ini perlu diberi apresiasi lebih. Setidaknya, melalui Adriana, Fajar Nugros telah mengajak saya untuk belajar sejarah dengan cara yang menyenangkan.

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena Adriana menyimpan sebuah post-credit scene di pertengahan credit title.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch