October 14, 2013

REVIEW : MANUSIA SETENGAH SALMON


"Nyari rumah itu kayak nyari jodoh. Cocok-cocokkan. Nggak bisa langsung ketemu." - Ibu

Semoga Anda belum bosan dengan Raditya Dika karena dia akan kembali lagi melalui film ketiganya di tahun 2013 ini! Ya, setelah Cinta Brontosaurus yang laris manis (masih bertengger di urutan pertama film Indonesia terlaris 2013 dengan nyaris 900 ribu penonton) dan Cinta Dalam Kardus yang manis nan unik, Dika siap untuk kembali menyapa penggemarnya setelah istirahat selama, errr... 3 bulan, melalui Manusia Setengah Salmon. Dengan basis penggemar yang luas dan besar, maka tidak sulit untuk bagi keluaran terbaru ini untuk mengungguli pencapaian kedua pendahulunya dari segi kuantitas. Namun bagaimana dari sisi kualitas? Well... bagi Anda yang tergabung dalam jajaran fans, maka tak usah risau karena sekuel dari Cinta Brontosaurus ini masih menawarkan guyonan khas Dika yang akan tetap membuat Anda terpuaskan, sementara bagi Anda dari kalangan non-fans... bersiaplah untuk dibuat terkejut. Dibanding sang predesesor, Manusia Setengah Salmon adalah sebuah peningkatan. Ini lebih lucu, lebih berisi, lebih mengena, lebih jujur, lebih hangat, dan lebih quotable

Tidak seperti pendahulunya yang lebih banyak berputar-putar dalam problematika asmara serta menonjolkan ego dari seorang Raditya Dika, maka apa yang dituturkan di sini cenderung lebih kaya dan membumi. Masalah percintaan Dika (Raditya Dika) memang masih mendapat sorotan utama yang melibatkan Jessica (Eriska Rein) dan Patricia (Kimberly Ryder), namun untuk sekali ini hubungannya dengan orang terdekat seperti ibu (Dewi Irawan), ayah (Bucek), supir (Insan Nur Akbar), hingga editor (Mosidik), pun turut ditonjolkan. Dika yang masih kesulitan untuk move-on usai berpisah jalan dengan Jessica, harus menghadapi fakta bahwa keluarganya juga akan pindah rumah. Meski menentang keputusan sang ibu, toh pada akhirnya Dika tetap menemani ibunya berkeliling kesana kemari demi mencari rumah baru yang cocok. Dalam perjalanan mengarungi Jakarta demi menemukan tempat tinggal baru inilah Dika banyak memeroleh pelajaran berharga yang lantas diaplikasikannya demi menciptakan hubungan yang lebih baik bersama orang-orang terkasih. 

Ya, jika disandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh jilid sebelumnya, maka Manusia Setengah Salmon ini merupakan sebuah peningkatan yang benar-benar menyenangkan dan memuaskan. Seperti apa yang telah saya jabarkan di paragraf pembuka, dari segi guliran kisah, film ini cenderung lebih berisi dan padat. Raditya Dika tidak melulu berceloteh seputar kehidupan asmaranya yang kerap kali berujung kegagalan, namun juga turut menyinggung hubungan dengan keluarganya yang eksentrik serta orang-orang di sekelilingnya (supir dan editor) yang tak kalah aneh. Selayaknya yang sudah-sudah, ini pun disampaikan dengan kelakar Dika yang khas nan absurd. Di sejumlah bagian mungkin kehadirannya agak dipaksakan dan terlampau panjang (errr... adegan kuntilanak dan konco-konconya, anyone?), tapi secara keseluruhan, untuk sekali ini terasa efektif, mengalir lancar, dan ‘nyampe’ ke penonton yang bukan penggemar dari Dika. Tawa renyah nan berderai-derai berhasil diciptakan. 

Yang membuat film kian mengasyikkan untuk disimak adalah departemen akting yang bermain dengan kuat. Chemistry yang tercipta antara Raditya Dika dengan Kimberly Ryder beserta Dewi Irawan, Bucek, dan Griff Pradapa, berhasil melebur dengan baik, solid dan natural. Kepergian Soleh Solihun yang bisa dibilang pemantik tawa tunggal di film sebelumnya, sukses digantikan oleh Insan Nur Akbar sebagai supir dengan bau ketek menyengat. Bagusnya, meski sama-sama berada dalam posisi scene stealer, Insan tidak bekerja sendirian untuk menciptakan gelak tawa penonton. Nyaris semua pelakon berkontribusi dalam menghantarkan humor rekaan Dika agar mudah dicerna. Dewi Irawan tampil menonjol dalam adegan mencari rumah bersama Dika, sementara Bucek dan Mosidik berkat bangunan tokoh masing-masing yang memang sudah ajaib. 

Sulit untuk tidak jatuh hati dengan film panjang perdana dari Herdanius Larobu (alias Capluk) ini terlebih dengan jalinan pengisahan yang jujur, hangat, menyentil, dan membumi. Siapa yang tidak pernah merasakan betapa beratnya pindah rumah, menghapus kenangan akan mantan, hingga menyadari orang yang kita sayangi telah berubah? Rasa-rasanya kita semua pernah merasakannya. Raditya Dika tidak hanya mengajak penonton untuk menertawakan dirinya, tetapi juga menertawakan diri kita masing-masing seraya bercermin. Kedekatannya dengan realita inilah yang membuat skrip terasa kokoh, sekalipun turut berdampak pada laju pengisahan yang terkadang terasa datar nyaris tak mengalami fluktuasi. Pun demikian, ketimbang dua film sebelumnya yang juga beranjak dari novel rekaan Dika, Kambing Jantan dan Cinta Brontosaurus, maka Manusia Setengah Salmon ini hadir sebagai yang terunggul dan terkuat.

Exceeds Expectations



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch