September 2, 2013

REVIEW : ONE DIRECTION: THIS IS US


"They don't know me, but they love me!" - Directioner

Saya telah mengenal One Direction sejak mereka masih tidak lebih dari sekadar lima pemuda biasa yang mencoba peruntungan untuk menembus industri musik dengan mengikuti ajang The X-Factor Inggris musim ketujuh. Dengan penampilan yang kerap kali, errr... di bawah rata-rata, maka adalah suatu kejutan boyband ini dapat bertahan hingga tiga besar. Kejutan lainnya, mereka bahkan bisa bertahan di industri musik! Lalu, siapa pula yang akan menduga jika usai lulus dari acara realitas tersebut mereka akan dengan cepat menjadi besar seperti sekarang ini? Hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, mereka telah mendunia, dipuja disana sini, dan melibas habis Rebecca Ferguson serta Matt Cardle. Dengan ketenaran One Direction yang kian membumbung tinggi, maka hanya tinggal menunggu waktu seseorang akan mencetuskan ide untuk membuat film konser tentang mereka... yang mana (tentu saja) itu pun tidak perlu menunggu waktu lama untuk diwujudkan. Yang lantas menjadi pertanyaan (seperti yang sudah-sudah), akankah One Direction: This Is Us ini dapat dinikmati oleh mereka yang bukan fans? Well... dengan adanya Morgan Spurlock – yang menelurkan sebuah film dokumenter ciamik, Super Size Me – di belakang kemudi, maka seharusnya ini tidak akan menjadi sesuatu yang buruk. 

Sesuatu yang buruk? Oh, yang benar saja. One Direction: This Is Us masih jauh untuk disebut sebagai sebuah film yang buruk atau bencana – yah, mungkin hanya ‘haters’ sejati yang akan menyebutnya demikian. Spurlock telah melaksanakan tugasnya dan memperhitungkan segalanya dengan sangat baik. Memang tarafnya tidak sampai melampaui ketangguhan dari Super Size Me atau bahkan dari sesama film doku-konser macam Celine: Through the Eyes of the World dan Katy Perry: Part of Me, namun One Direction: This Is Us bukanlah film konser 3D biasa yang akan dengan mudah menguap dari ingatan penonton. Mereka yang mengaku sebagai Directioner (sebutan untuk fans One Direction) jelas akan terpuaskan dengan gelaran yang dihadirkan oleh Spurlock, sementara bagi mereka yang bukan penggemar (atau malah justru pembenci), tak usah khawatir, tidak akan dibuat menggelepar tak berdaya di kursi bioskop. Si pembuat film telah menciptakan sebuah suguhan yang sangat menghibur, menyenangkan, lucu, dan juga hangat! Segala bentuk informasi mengenai boyband asal Inggris ini dituturkan secara interaktif, lugas, serta tepat sasaran. Pemakaian 3D-nya pun sangat efektif (dan luar biasa bagus!) sehingga kita pun seolah-olah sedang berada di tengah-tengah hingar bingar konser dan juga sangat dekat dengan para personil, Anda bisa mencoba untuk mencubit pipi Zayn Malik, Harry Styles, atau yang lainnya, jika mau. 

Dari sisi penceritaan, One Direction: This Is Us sesungguhnya tidaklah tergolong inovatif dan hanya menerapkan kembali formula yang sebelumnya telah digunakan oleh Justin Bieber: Never Say Never dan Katy Perry: Part of Me; menu utamanya berupa pertunjukkan konser One Direction yang sukses besar di O2 Arena, London, dengan pelengkap berupa peristiwa di belakang layar dalam tur dunia ‘Take Me Home Tour’ yang turut disisipi dengan kilas balik perjalanan karir Zayn Malik, Harry Styles, Niall Horan, Liam Payne, dan Louis Tomlinson dari remaja Inggris-Irlandia biasa hingga menjadi boyband fenomenal yang digilai jutaan penggemar dari berbagai belahan dunia dan turut berjasa dalam meluncurkan kembali ‘British Invasion’. Di samping One Direction (yang tentunya) menjadi sorotan utama, film ini juga menghadirkan Simon Cowell, Martin Scorsese, dan Chris Rock dalam penampilan singkat. Tidak lupa, orang tua para personil pun turut memeriahkan film guna berkisah mengenai kehidupan putra mereka sebelum dan sesudah tergabung dalam One Direction. 

Kesenangan dan hati menjadi kunci utama yang berperan dalam menggerakkan film tatkala kamera berpaling sejenak dari panggung konser yang riuh, megah, dan meriah. Kesenangan berarti melihat apa yang dilakukan oleh setiap personil kala menjelang konser, menghabiskan waktu luang, atau berjalan-jalan, yang mana pada akhirnya melahirkan satu kesimpulan: mereka tetaplah remaja laki-laki yang normal. Boys will be boys. Dengan personality yang mudah disukai dan cenderung down-to-earth, menyimak bagaimana mereka saling menggoda satu sama lain, menciptakan kehebohan di belakang panggung, dan berceloteh seputar pengalaman unik selama mereka bergabung dalam boyband ini terasa mengasyikkan, menggelikan, dan mampu menimbulkan gelak tawa yang renyah. Penonton yang awalnya tidak menggemari 1D mungkin tidak lantas menjadi penggemar, tapi dengan ini mereka setidaknya mengerti alasan mengapa mereka begitu digandrungi. 

Ketika waktu untuk bersenang-senang telah memenuhi kuota, Spurlock lantas memberi hati dan menyuntikkan kehangatan ke dalam film. Perbincangan antar personil yang tadinya tak lebih dari sekadar gurauan mulai beralih ke topik yang lebih serius; membahas masa depan grup yang bisa jadi tak berusia panjang. Lalu, hati masing-masing penonton pun mulai disentuh ketika kisah mengenai keluarga dan persahabatan diantara mereka mulai dikupas (yang turut mengungkap betapa ketenaran tidak selamanya membahagiakan). Momen-momen mengharukan – serta terkadang mengiris hati – ini terus berlanjut dan berlanjut, hingga pada sebuah klimaks emosional yang melibatkan Zayn Malik dan sang ibu. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, dan lebih sulit lagi untuk tidak merenungkan betapa saya belum melakukan apapun untuk membalas jasa orang tua! Pertanyaan pun muncul, “apakah saya telah berhasil membahagiakan orang tua dan membuat mereka merasa bangga dengan saya?”.

Beberapa orang mungkin akan secara terang-terangan menolak untuk menyaksikan film ini (dengan kebanyakan alasan adalah karena yah... Anda tahu sendiri lah), namun itu tidak menghalangi kenyataan bahwa One Direction: This Is Us sebagai salah satu film doku-konser berbalut 3D terbaik yang pernah dibuat. Morgan Spurlock mampu merangkul mereka yang awalnya tidak terlalu mengenal siapa itu One Direction dan membuat Directioners tidak bisa lagi meminta lebih dari ini. Meski kadangkala ini menjelma menjadi semacam propaganda (dengan dilenyapkannya sejumlah catatan buruk mengenai kehidupan asmara para personil), akan tetapi ini tetaplah sebuah hidangan yang mengesankan, mengasyikkan, penuh kegembiraan, namun tetap menghangatkan hati. Memang pada akhirnya One Direction: This Is Us tidaklah menjadi ‘best movie ever’ – kecuali bagi para penggemar fanatiknya – tapi ini pun tidak terperosok menjadi ‘worst movie ever.’ 92 menit berlalu secara cepat dan menyenangkan. 

2D atau 3D? Wajib hukumnya menonton One Direction: This Is Us dalam format 3D.

Exceeds Expectations



2 comments:

  1. "Penonton yang awalnya tidak menggemari 1D mungkin tidak lantas menjadi penggemar, tapi dengan ini mereka setidaknya mengerti alasan mengapa mereka begitu digandrungi"

    Jujur, belum nonton This Is Us. Tapi setelah baca review di atas, saya lega film 1D lebih dari sekedar memuaskan para penggemar yang bejibun itu. Yah, yang namanya fans berat, apapun yang dilemparkan pasti ditangkap dan disenangi. Tantangan terbesar semua sutradara film doku-konser adalah merangkul penonton yang bukan penggemar pelaku pop culture yang dibuatkan filmnya. Sepertinya sang sutradara sukses.
    Review yang bagus, Tariz, sebagai directioner ga berlebihan memuji 1D sampe "best movie eveeer" (hehe), informatif tanpa spoiler.

    ReplyDelete
  2. Wah.... Terima kasih banyak yah, Frau! Saya sampai tersapu-sapu malu nih. Hahaha.

    Oia, film ini bakalan hadir juga dalam bentuk extended version lho! Rencananya bakalan rilis tanggal 13 September ini. Akan ada 20 menit adegan tambahan dan 4 lagu yang tak tertampung di versi sebelumnya.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch