July 8, 2013

REVIEW : WHITE HOUSE DOWN


"Get your hands off my Jordans!" - President James Sawyer

Mulai detik ini, Gedung Putih kudu mulai mengetatkan keamanan, melipatgandakan kesiagaan, dan menaruh kewaspadaan kepada... Hollywood. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu 3 bulan, mereka telah dengan sukses membombardir simbol paling disegani di negeri adidaya sampai-sampai sistem pemerintahan pun tiarap. Antoine Fuqua mengawali pembajakan Gedung Putih melalui Olympus Has Fallen dengan merekrut ‘rekan-rekannya’ dari Korea Utara yang bertindak sebagai eksekutor. Baru juga fase rekonstruksi berlalu dan trauma belum sepenuhnya menguap, Roland Emmerich ikut-ikutan ambil peran dalam meluluhlantakkan gedung pemerintahan Amerika Serikat tersebut. Sekalipun mempunyai satu misi satu visi dan satu tujuan, keduanya memilih mengambil pendekatan yang berbeda dalam hal eksekusi. Tatkala sang kakak lebih serius, brutal dan berdarah-darah dalam ‘menjalankan misi’ maka sang adik cenderung lebih ‘lembut’, santai, penuh canda tawa, namun lebih jor-joran dalam kaitannya dengan penghancuran. 

Mengambil latar penceritaan dalam satu hari, film memerkenalkan kita kepada John Cale (Channing Tatum), seorang polisi pengaman dari ketua House of Representatives, Eli Raphelson (Richard Jenkins), yang menjalani hubungan tak sedap dengan sang putri, Emily (Joey King). Demi memerbaiki rajutan yang telah renggang ini, John mengajak Emily – yang terobsesi dengan politik dan tetek bengeknya serta Presiden James Sawyer (Jamie Foxx) – untuk turut serta mengunjungi Gedung Putih dalam rangka sesi wawancara kerja bersama Carol Finnerty (Maggie Gyllenhaal) demi menempati posisi sebagai agen rahasia. Sayangnya, dewi fortuna belum ada niatan untuk hinggap kepada John secepat itu. Ada sebuah proses berliku yang kudu ditempuh dan itu berkaitan dengan malapetaka hebat sepanjang sejarah Amerika Serikat; penyerangan atas Gedung Putih. Dimulai dengan sebuah ledakan besar, kepanikan pun dengan segera melanda, evakuasi dilakukan, dan di tengah-tengah itu, sekelompok pemberontak yang dipimpin oleh Emil Stenz (Jason Clarke) sukses menembus pertahanan dan membantai satu demi satu agen. Hanya dalam hitungan jam, bisa dipastikan pemerintahan akan lumpuh total. Berpacu dengan waktu, John yang menjadi tumpuan harapan satu-satunya bagi masyarakat Amerika Serikat kudu menyelamatkan sang presiden, negara, sekaligus... putri semata wayangnya. 

Tujuan awal mengapa Anda memilih untuk menyimak White House Down kudu ditetapkan terlebih dahulu dengan arahan yang tepat. Apabila tujuan tersebut meliputi: 1) mengharap tontonan yang riuh dimana hingar bingar ledakan berdentum nyaris setiap menit, dan 2) memanjakan mata melihat keseksian Channing Tatum, maka film ini tak akan kesulitan membuat Anda merasa terhibur. Tapi jika apa yang diharapkan adalah sebuah sajian yang menghadirkan ketegangan tiada akhir berdasar skrip padat penuh intrik yang cerdas, ini bukan pilihan yang tepat. Film teranyar dari sutradara yang sepertinya sangat membenci Gedung Putih ini (Ehem... dia telah menghancurkannya sebelumnya di Independence Day dan 2012) jelas dihadirkan sebagai sebuah film eskapisme murni. Mengenyahkan jauh-jauh logika penceritaan serta menghalalkan kemustahilan atas nama hiburan. Apabila Anda rajin mengikuti filmografi dari sang pembuat film, tentu mafhum dengan berbagai kekonyolan-kekonyolan yang kerap dimunculkannya. Di sini dia kembali menerapkannya, salah satunya dalam bentuk ‘car chase scene’ yang berlangsung di... halaman depan rumah kepresidenan Amerika Serikat! Seru dan menggelikan di saat yang bersamaan. 

Tak seperti Fuqua yang cenderung serius dalam bertutur, Emmerich justru lebih memilih untuk bermain-main secara riang yang berarti lebih banyak kandungan humor (baik berupa kesengajaan maupun tidak) dan ledakan eksplosif. Bukan sesuatu yang salah, toh ini telah menjadi semacam ‘signature’ dari dia. Hanya saja, saya justru merasa White House Down lebih sebagai sebuah film komedi dengan bumbu aksi ketimbang sebaliknya. Terlalu banyak canda tawa yang tak sesuai pada tempatnya. Perpaduannya dengan isu serius macam terorisme, pembunuhan, hingga konspirasi, tak mampu dikawinkan dengan cantik. Menyenangkan melihat Jamie Foxx sebagai presiden yang hobi berkelakar (termasuk adegan yang melibatkan sepatu Jordan miliknya) sesekali, namun nyaris sepanjang film? Rasanya tidak. Ini lantas berdampak pada penceritaan yang tak pernah benar-benar memberi greget sekaligus mengikat penonton untuk tetap duduk manis. Sesuatu yang dapat ditemukan dalam Olympus Has Fallen, namun menghilang di sini. 

White House Down jelas bukan film yang buruk, terutama dalam kaitannya sebagai sebuah tontonan eskapisme di musim liburan. Anda masih memeroleh kesenangan kala menyimaknya, terlebih bagi yang memasang tujuan seperti apa yang saya kemukakan di dua paragraf sebelumnya. Ada ledakan besar yang hancur-hancuran (dan berlebihan), kekonyolan yang memancing tawa, dan, well... Channing Tatum. Namun setelah melihat apa yang telah diperbuat Olympus Has Fallen dalam mengobrak abrik pemerintahan negeri adidaya, maka saya berharap Emmerich menawarkan lebih dari itu. Mengharapkan porsi lebih untuk keseruan di dalamnya, alih-alih kelakar yang terlalu banyak sehingga tensi ketegangan gagal terjaga dengan baik dan tidak pernah mencapai puncak. Memang masih cukup menghibur dan menyenangkan untuk disimak, akan tetapi pada akhirnya ini tak lebih dari film lainnya dari Roland Emmerich yang mudah untuk dilupakan dan cukup sekali tonton.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch