June 27, 2013

REVIEW : MONSTERS UNIVERSITY


"I'm here to make good scarers great, not make mediocre scarers less mediocre." - Dean Hardscrabble 

Tatkala proyek pembuatan jilid kedua dari Monsters, Inc. didengungkan secara resmi, komentar-komentar sinis bernada sumbang dengan segera menyeruak ke permukaan dan kian menjadi-jadi usai Cars 2 – yang banyak memperoleh kritik pedas – dilempar ke pasaran. Hasil penarikan kesimpulan menyatakan: Pixar telah kehilangan sentuhan magisnya. Dengan kompetitor semacam DreamWorks yang semakin mengangkasa, beban berat dipikul oleh Pixar untuk mempertahankan keperkasaan mereka di dunia film animasi terlebih banyak fans yang menuntut ide segar, bukan pengulangan. Monsters University yang merupakan prekuel dari Monsters, Inc. jelas tidak banyak menawarkan sesuatu yang inovatif di dalamnya lantaran hanya menerapkan kembali formula kesuksesan yang digunakan seri pendahulu yang dirilis tahun 2001. Akan tetapi... apakah dengan demikian film panjang ke-14 dari Pixar ini tak layak untuk disimak dan hanya menjadi kesalahan lain dari studio ini? Tunggu dulu. Sebaiknya jangan terlalu cepat untuk menyimpulkan. 


Monsters University merentang penceritaan sedari Mike Wazowski (Billy Crystal) masih bocah. Monster menggemaskan bermata satu ini telah melihat masa depannya setelah sebuah study tour ke Monsters, Inc. Pertemuannya dengan salah satu monster yang membuatnya terpana di pabrik tersebut, membuat Mike bertekad untuk mengejar mimpinya menimba ilmu di Monsters University. Tahun demi tahun berlalu, dan dengan kerja kerasnya, Mike sukses mendarat di universitas impiannya. Segalanya nampak bagaikan sebagai ‘dreams come true’ hingga dia menyadari... kehidupan kampus sangat kejam. Sekalipun berotak encer, sayangnya Mike tak terlampau diakui karena bentuknya yang imut alih-alih menyeramkan. Berbanding terbalik dengan James ‘Sulley’ Sullivan (John Goodman) yang raungannya dapat membuat siapapun membeku. Dengan kepribadian yang sama sekali berbeda, hubungan baik tak berhasil dijalin. Persaingan sengit diantara mereka terus terjadi hingga... sesuatu terjadi. Dan... Dekan Hardscrabble (Helen Mirren) memindahkan mereka ke jurusan lain. Tak ingin mimpinya melayang begitu saja, Mike pun mencari cara untuk membuktikan diri. Satu-satunya cara terbaik yang kemudian hadir adalah bergabung dengan fraternity kasta bawah, Oozma Kappa, dan musuh bebuyutannya, Sulley, dalam acara tahunan ‘Scare Games’. 

Well... Pixar did it again! Memang, Monsters University bukanlah salah satu karya terbaik yang diproduksi oleh Pixar, tapi sebagai sebuah film bahkan yang awalnya dipandang sebelah mata, ini sama sekali tidak mengecewakan. Jauh dari kata buruk, dan malahan, saya sangat menikmati setiap menitnya. Dan Scanlon, yang bertindak sebagai sutradara, mampu menyuguhkan sebuah hidangan dengan kadar hiburan yang terbilang tinggi. Penonton dibawa ke dalam jalinan pengisahan yang tidak hanya lucu, tetapi juga seru dan menyentuh. Seperti biasa, keriangan dipadukan dengan cantik bersama kehangatan. Setelah gegap gempita yang sedemikian mengasyikkan dimana saya tertawa puas berkali-kali, 15 menit terakhir kita dibawa kepada suasana yang emosional. Tidak mencapai tahapan seperti apa yang telah dilakukan oleh Toy Story 3, namun masih terbilang cukup efektif untuk membuat hati ini terenyuh melihatnya. Menunjukkan dengan jelas betapa magis dari Pixar belum sepenuhnya luntur. 

Dengan alur cerita yang sangat mudah ditebak, maka Monsters University pun sepenuhnya bergantung kepada skrip, pengisi suara, serta penggarapan. Beruntung, trio penulis skrip (Daniel Gerson, Robert L. Baird, serta Dan Scanlon) menyadari sepenuhnya hal tersebut. Mereka menyelipkan cukup banyak kejutan serta momen-momen yang tak terlupakan dalam elemen penceritaan sehingga sekalipun kita dapat menebak dengan mudah apa yang terjadi berikutnya, namun masih ada rasa semangat untuk mencari tahu kejutan apa lagi yang diberikan. Salah satu adegan yang paling mengesankan dalam film (dan bisa dikatakan, ini adalah ‘highlight’) adalah tatkala kompetisi ‘Scare Games’ diselenggarakan di perpustakaan. So much fun! Saya sangat berharap ini dapat diaplikasikan secara langsung di kehidupan nyata – sekalipun sangat mustahil. Haha. Disamping trio penulis skrip, jajaran pengisi suara pun menjalankan tugasnya dengan sangat baik; duo Billy Crystal – John Goodman dengan chemistry yang begitu kompak, Helen Mirren yang berkarisma, hingga Bill Hader dalam kemunculan singkat namun sangat mencuri perhatian. 

Pada akhirnya, keajaiban yang diidam-idamkan oleh para penggemar, memang tidak sepenuhnya kembali mencuat ke permukaan. Monsters University bukanlah sebuah mahakarya, tapi ini adalah sebuah peningkatan yang baik setelah dua film terakhir yang tergolong ‘di bawah rata-rata’ untuk ukuran Pixar. Perpaduan antara kesenangan dalam rangkaian kisah yang seru dan lucu dengan kehangatan dalam jalinan cerita persahabatan yang manis melebur secara sempurna. Menawarkan apa yang diharapkan ketika menyimak sebuah ‘summer blockbuster’. Selama ekspektasi tidak membumbung terlampau tinggi (karena ini adalah karya Pixar, maka segalanya kudu mencengangkan), maka Anda akan dengan mudah untuk jatuh hati kepada Monsters University. Jenaka, seru, cerdas, sekaligus menyentuh. Film yang menghibur.

NB: Jangan terlambat masuk karena ada film pendek The Blue Umbrella yang unik dan manis sebelum film utama diputar. Jangan pula terburu-buru keluar ada sebuah post-credits scene yang lucu di penghujung film. 

Exceeds Expectations

1 comment:

  1. Touche. Outstanding arguments. Keep up the great work.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch