January 12, 2013

REVIEW : THE IMPOSSIBLE


"Close your eyes, think of something nice." - Maria 

Di tengah sukacita perayaan Natal dan gegap gempita dalam menyambut pergantian tahun, sebuah kunjungan yang sama-sekali tidak diharapkan menyambangi Samudra Hindia pada pagi hari yang cerah ceria di 26 Desember 2004. Siapapun tidak ada yang menyangka jika aktivitas di esok hari yang tampaknya akan berjalan tidak berbeda dengan hari kemarin akan terinterupsi oleh gelombang Tsunami yang mengamuk dan menyerbu ke daratan. Tsunami mematikan yang menghempas 14 negara – beberapa diantaranya adalah Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand – ini merenggut kurang lebih 230 ribu jiwa. Sontak, kehidupan jutaan keluarga di berbagai negara pun tidak lagi sama, termasuk keluarga Belon yang kisah perjuangan hidup mereka saat Tsunami memporakporandakan Khao Lak, Thailand, diangkat ke layar lebar dengan tajuk The Impossible. Adalah Juan Antonio Bayona, sutradara asal Spanyol, yang memulai karir film panjangnya melalui The Orphanage yang ditunjuk sebagai sutradara. Di bawah penggarapan Bayona, The Impossible pun menjelma layaknya The Orphanage, hanya saja... berkali-kali lipat lebih menyeramkan. Tsunami jelas lebih berhasil dalam menciutkan nyali penonton disertai debaran jantung yang begitu cepat serta menimbulkan efek traumatis ketimbang para makhluk halus. 

The Impossible menyoroti keluarga Bennett yang tengah melancong ke sebuah resor mewah di Khao Lak, Thailand, selama libur Natal dan tahun baru. Maria (Naomi Watts) dan Henry (Ewan McGregor) berencana untuk menjalani family time bersama ketiga putra mereka; Lucas (Tom Holland), Thomas (Samuel Joslin), dan Simon (Oaklee Pendergast), setelah hari demi hari disibukkan dengan rutinitas pekerjaan yang melelahkan. Rencana untuk bersantai ria dan mengistirahatkan tubuh serta pikiran bersama keluarga rupanya hanya tinggal sekadar rencana. Tanggal 26 Desember 2004, matahari bersinar cerah menggoda para turis untuk menghabiskan waktu di luar, entah untuk bermain air atau sekadar jalan-jalan. Keluarga Bennett memutuskan menjalani pagi itu di kolam renang resor. Segalanya tampak baik-baik saja, tenang melenakan. Akan tetapi, tiba-tiba para turis merasakan getaran, jendela-jendela bergoyang, burung terbang berputar, dan kemudian disusul suara gemuruh yang terdengar keras dan menakutkan. Belum sempat mereka menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, ombak setinggi 30 meter menerjang resor dan menghancurkan segalanya. Maria dan Henry hanyut terseret arus yang mengalir deras tanpa ampun, memisahkan mereka dari Henry, Thomas, serta Simon yang tak jelas rimbanya. 

Juan Antonio Bayona tidak berpanjang-panjang dalam memperkenalkan keluarga Bennett kepada penonton. Hanya dalam hitungan waktu belasan menit, Tsunami telah menunjukkan batang hidungnya dan menyapu daratan Khao Lak. Kinerja tim efek khusus beserta sinematografer, Oscar Faura, dalam memberikan gambaran mengenai terjangan Tsunami patut mendapatkan acungan dua jempol. Terasa begitu nyata dan mencekam. Penggabungan antara rekaman asli dengan materi yang di-shoot di Spanyol, sangat mulus. Bagusnya, penonton pun diajak untuk terlibat ke dalam film. Saat peristiwa memilukan tersebut terjadi, kita seolah-olah menjadi salah satu dari turis yang tengah bersantai ria di sekitar kolam renang. Lalu, gelombang itu datang, melenyapkan segala sesuatu di sekitar, dan mengombang-ambingkan kita di arus yang mengalir deras. Pada titik ini saya memikirkan bagaimana perasaan para korban Tsunami saat menyaksikan ‘reka ulangnya’ di layar lebar. Setidaknya, bagi saya, selama dua hari seusai menyimak film ini kerap dihantui oleh mimpi buruk dan perasaan tidak nyaman setiap mendengar suara gemuruh. Terdengar menggelikan dan berlebihan? Tapi inilah yang sesungguhnya terjadi. 

Salah satu kekuatan dari The Impossible adalah penekanannya yang sangat kuat terhadap detil. Inilah yang acapkali diabaikan oleh film-film yang kisahnya beranjak dari peristiwa serupa – Anda bisa memasukkan ‘film Tsunami abal-abal’ buatan sineas kita yang rilis setahun silam – sehingga tidak ada yang bisa penonton dapatkan seusai menontonnya kecuali rasa kecewa dan jengkel. Dalam The Impossible, setiap departemen menjalankan tugas masing-masing dengan semestinya. Tidak hanya tim efek khusus serta sinematografer yang patut mendapatkan pujian, tetapi juga departemen tata rias, art direction, serta musik skor. Lihat bagaimana cara mereka menggambarkan Khao Lak usai terjangan Tsunami, luka-luka yang menghiasi tubuh Maria beserta para korban, serta suasana rumah sakit yang riuh. Membuat saya geleng-geleng kepala saking rapi dan detilnya. Saya pun menyesali keputusan saya dalam membawa serta makanan ringan ke dalam gedung bioskop yang pada akhirnya tidak tersentuh lantaran kehilangan selera makan melihat bagaimana tim tata rias menunjukkan keahlian mereka dalam ‘menggoreskan’ luka ke tubuh setiap pemain, khususnya Naomi Watts, yang membuat siapapun yang melihatnya miris. 

Ketidakberdayaan manusia saat dihadapkan kepada alam yang menggila, cinta kasih dari orang tua yang tidak kenal lelah, hingga ketidakmungkinan yang mungkin terjadi di dalam setiap bencana disorot habis-habisan oleh Juan Antonio Bayona beserta penulis skrip, Sergio G. Sanchez. Ketika air telah surut, ancaman sepertinya tidak lagi menghadang, bukan berarti perkara telah selesai. Justru di sinilah tantangan yang sebenarnya dimulai. Bagaimana membangun kembali kehidupan setelah tubuh ini dihinggapi begitu banyak luka dan trauma yang nyaris mustahil untuk disembuhkan. Dan inilah yang terjadi kepada The Impossible. Dimulai sebagai sebuah ‘disaster movie’, paruh kedua film beralih menjadi ‘survival drama’ sekaligus ‘tearjerker movie’ yang akan menguras emosi Anda habis-habisan. Apabila Anda tergolong orang yang mudah menitikkan air mata, maka ada baiknya membawa bekal tissue kala memutuskan untuk menonton The Impossible. Dada ini sesak dibuatnya dan banjir bandang melanda pelupuk mata, mengucur deras tak tertahankan. Juan Antonio Bayona memberikan sebuah potret yang riil dengan dramatisasi yang diolah sedemikian rupa sehingga sekalipun terkadang terasa sedikit berlebihan, namun tetap efektif dalam membuat mata penonton sembab. 

The Impossible adalah sebuah sajian pembuka di awal tahun yang menggetarkan hati. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan ada sebuah film produksi dari luar Hollywood – ini buatan Spanyol – yang sanggup memotret tragedi kemanusiaan di penghujung 2004 tersebut dengan luar biasa. Ketika Clint Eastwood membuka Hereafter dengan Tsunami yang membabi buta menyeruak ke daratan, saya berdecak kagum dibuatnya dan mengira tidak akan ada yang mampu melampauinya, setidaknya dalam waktu dekat. Namun film garapan Juan Antonio Bayona ini membuktikan bahwa saya salah. The Impossible adalah salah satu dari sejumlah film yang patut dirayakan dengan tepuk tangan menggema memenuhi gedung bioskop seusai film selesai diputar. Trio pemain utamanya; Naomi Watts, Ewan McGregor, dan Tom Holland bermain sungguh cemerlang sementara departemen efek khusus, tata rias, hingga musik skor saling menopang satu sama lain. Ini adalah sebuah melodrama dengan penggarapan yang sangat serius dan patut mendapat perhatian lebih dari pecinta film. Tidak hanya mampu memberikan gambaran bagaimana Tsunami meluluhlantakkan Khao Lak dengan sangat nyata dan mencekam, tetapi juga sanggup mengaduk-aduk emosi penonton dengan dramatisasinya yang ampuh dalam membuat pelupuk mata basah. Usai menyaksikan The Impossible, teman saya yang biasanya jarang berkomentar berbisik, “film yang horror banget.”

Outstanding



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch