November 30, 2012

REVIEW : HELLO GOODBYE


"Kamu jangan marah sama perpisahan. Memaki perpisahan sama aja kamu mengutuk pertemuan." - Indah

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Korea Selatan melesak ke posisi atas sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler, setidaknya bagi warga Asia. Popularitas negara ini terbantu oleh produk dari industri hiburan mereka yang tergabung dalam ‘Korean Wave’ yang telah hampir satu dekade menjadi virus yang menginfeksi generasi muda. Tidak hanya Indonesia yang mengakui pesona Negeri Gingseng ini. Sebelumnya, Thailand melalui film bertajuk Hello Stranger telah menyoroti bagaimana fenomena demam Korea merebak di kalangan muda-mudi negara yang dipimpin oleh Raja Rama IX tersebut. Alurnya klasik, dua orang asing yang berasal dari negara yang sama tidak sengaja berjumpa dengan rasa benci atas satu sama lain sebelum akhirnya benih-benih cinta tumbuh. Akan tetapi cara kemasnya yang menarik membuat film menjadi enak untuk disimak. Beberapa tahun berselang setelah Hello Stranger dilempar ke pasaran, Indonesia mengikuti langkah dari negara tetangga. Film perdana Titien Wattimena sebagai sutradara, Hello Goodbye, memboyong setting ke Korea Selatan – atau dalam film ini bertempat di Busan. Konflik yang diangkat pun tak berbeda jauh dengan Hello Stranger hanya saja dituturkan lebih kalem, lebih dewasa, dan lebih manis di sini. 

November 28, 2012

REVIEW : MOUSEHUNT


"He's Hitler with a tail. He's "The Omen" with whiskers. Even Nostradamus didn't see him coming!" - Ernie 

Beberapa hari terakhir ini saya terhinggapi virus ‘susah move-on’ yang tengah mewabah di berbagai penjuru dunia dan menyerang manusia tanpa mengenal batasan usia, agama, suku, status sosial, maupun jenis kelamin. Sebuah ‘virus’ yang sangat berbahaya. Hanya saja, bukanlah persoalan asmara yang saya hadapi, melainkan... ya Anda tahu sendiri, berkaitan dengan hobi, yang ya Anda tahu sendiri... film. Di tengah pikiran yang sumpek lantaran tak kunjung menemukan gairah membara untuk menyelesaikan omong kosong bernama skripshit, mendadak saya ingin menyaksikan ulang film-film penuh kenangan manis. Maksudnya disini, film-film yang saya tonton di tiga tahun pertama tatkala rasa cinta kepada film mulai bersemayam di hati mungil ini. Maka Anda jangan terheran-heran jika dalam beberapa minggu ke depan Cinetariz akan dihiasi film-film yang disorotkan pertama kali ke layar putih lebar pada tahun 1996 hingga 1998. Dalam perjalanan melongok ke masa lampau, pilihan pertama jatuh kepada MouseHunt yang memasuki bioskop-bioskop Indonesia pada tahun 1998. Ketertarikan saya kepada film ini lebih disebabkan oleh rasa ingin tahu dan kepolosan anak SD. Bagaimana mungkin sebuah film yang nampaknya aman dan ditargetkan untuk konsumsi keluarga – dinilai dari tampilan poster utama dan poster ‘movie stills’ – mendapat cap ‘Dewasa’ dari LSF? Hmmm... Dan saat saya menyaksikannya, pertanyaan itu masih belum terjawab. Jawaban baru saya dapatkan, 14 tahun kemudian! Ouch. 

November 24, 2012

REVIEW : LANGIT KE-7



"Gua tuh mau punya pacar sekali tapi yang berkualitas. Ngapain punya banyak pacar tapi kacangan semua gitu." - Dania 

Jika pada akhirnya Langit Ke-7 tidak memenuhi harapan sejumlah pihak, setidaknya film ini masih bisa berbangga karena memiliki trailer yang menarik, sinopsis resmi yang bebas spoiler, serta desain poster yang rupawan. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh film Indonesia kebanyakan. Ditunjuk untuk mengomandoi Langit Ke-7 adalah Rudi Soedjarwo yang akhir-akhir tengah menikmati menjadi sutradara film untuk konsumsi keluarga terutama setelah memperoleh respon positif dari berbagai kalangan. Dalam film panjangnya yang ke-22 ini, Rudi Soedjarwo kembali ke genre yang melambungkan namanya dalam percaturan perfilman Indonesia. Di sini, sekali lagi, beliau menjadikan lima gadis yang tergabung dalam suatu ‘geng’ sebagai sorotan utama layaknya Ada Apa Dengan Cinta?. Hanya saja, kelima gadis ini telah duduk di bangku kuliah dan persoalan yang mereka hadapi... jauh lebih pelik. Para gadis yang beruntung ketiban peran utama ini pun merupakan wajah-wajah segar yang belum pernah seliweran di layar lebar. Mereka adalah hasil dari penjaringan ‘Clear Hair Model’ yang di perhelatan sebelumnya telah bekerja sama dengan Rudi Soedjarwo dan membuahkan sebuah film televisi. Dan kali ini, memanfaatkan bakat-bakat baru – termasuk penulis naskah debutan, Virra Dewi – hadirlah sebuah film drama romantis dengan balutan fantasi berjudul Langit Ke-7 yang dilempar ke bioskop-bioskop nasional sejak 22 November 2012 silam. 

November 21, 2012

REVIEW : THE TWILIGHT SAGA: BREAKING DAWN - PART 2


"I thought we would be safe forever. But "forever" isn't as long as I'd hoped." - Bella

Tidak ada franchise yang beranjak dari novel berseri yang lebih fenomenal ketimbang The Twilight Saga. Bagaimana tidak, dari sejumlah franchise yang mengambil sumber dari karya sastra, hanya kisah percintaan terlarang antara manusia dan vampir ini yang mampu mengumpulkan basis massa dan pembenci dalam jumlah yang sama besarnya. Ketika salah satu seri dilempar ke bioskop, para penggemar dengan segera berbondong-bondong menyesaki bioskop seolah itu adalah satu-satunya hari dimana film tersebut diputar sementara ‘haters’ memenuhi linimasa dengan segala nyinyiran dan cibiran terbaik mereka untuk seri ini. Anda tidak akan menemukan segala kehebohan ini dalam Harry Potter, The Hunger Games, apalagi The Lord of the Rings. Dan, franchise yang fenomenal ini pun telah memasuki edisi terakhirnya dalam The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II. Layaknya seri penutup dari penyihir remaja asal Inggris, seri penutup dari ‘sparkling vampire’ ini pun sejatinya dibuat untuk satu film yang kemudian diputuskan untuk dipecah menjadi dua demi memuaskan hasrat ‘fans’ yang tentunya mengharapkan perlakuan istimewa sebelum berpisah dengan sang idola. Saya sesungguhnya cukup penasaran dengan cara Bill Condon menutup franchise yang jilid terakhirnya ini mengusung tagline yang terbilang berani, ‘the epic finale that will live forever’. Akankah The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II menjadi sebuah penutup yang epik atau malah justru anti-klimaks? 

November 15, 2012

REVIEW : WRECK-IT RALPH


"I'm bad, and that's good. I will never be good, and that's not bad. There's no one I'd rather be then me." - Ralph 

Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap mencuri-curi waktu untuk bermain ding dong di bioskop usai jam sekolah. Saya tidak bisa mengingat secara pasti judul game yang kerap saya mainkan – hanya bisa mengingat bahwa kebanyakan berjenis ‘fighting games’, namun satu yang jelas adalah Street Fighter. Oh tentu saja, ini permainan semua orang, bukan? Ketika akhirnya ‘rahasia kotor’ saya ini terbongkar, orang tua membelikan Nintendo sehingga saya tidak lagi keluyuran dan membuang-buang recehan. Dan, Nintendo ini berjasa merekatkan hubungan antar anggota keluarga. Kami memiliki hari dan jam tertentu untuk bertanding melawan satu sama lain memainkan game mengenai tank yang sialnya lagi-lagi saya lupa judulnya. Tahun demi tahun berlalu, teknologi berkembang sedemikian pesat, Nintendo perlahan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh PlayStation dimana pada tahun-tahun awal saya berhasil diracuni oleh unyu-unyu ‘racing games’ macam Chocobo Racing dan Crash Team Racing. Setelah sempat menjadi maniak game selama beberapa tahun, saya akhirnya meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan demi game demi fokus kepada pendidikan *uhuk!*, dan tentunya hobi saya yang utama, film. Sekian lama tidak menyentuh konsol permainan, hati ini mendadak rindu kala beberapa hari lalu menyimak Wreck-It Ralph di layar bioskop. Tidak menyangka sama sekali jika film yang awalnya sempat saya remehkan ini ternyata mampu merebut hati saya dengan mudahnya dan seketika bertengger di posisi puncak ‘Film Animasi Terfavorit 2012’ bersanding bersama Frankenweenie

November 13, 2012

REVIEW : PARANORMAL ACTIVITY 4


"There's something in the street." - Alex 

Seusai sebuah franchise dimana muncratan darah dan alat-alat penyiksa tubuh manusia digeber sedemikian rupa serta menjadi sebuah pemandangan yang biasa dikhatamkan pada instalmen ketujuh pada tahun 2010 silam, Halloween tidak bermurung hati lantaran sang pengganti telah ditemukan. Paranormal Activity, sebuah film horor berbujet murah yang menerapkan teknik kamera handheld layaknya The Blair Witch Project, secara mengejutkan sanggup mencetak ‘hit’ di tangga box office setelah mengundang jutaan penonton untuk ditakut-takuti di dalam bioskop. Tak hanya penonton, para kritikus pun mencintai film ini. Dengan raihan angka yang terbilang sangat tinggi – terutama jika diukur menggunakan perbandingan bujet yang harus digelontorkan – maka bukan sesuatu yang mengejutkan saat sang kreator, Oren Peli, memutuskan untuk melanjutkan aktivitas paranormal di layar lebar. Didukung oleh basis penggemar yang besar, Paranormal Activity pun rutin menelurkan sekuel setiap tahun dengan hasil yang memuaskan meski jilid-jilid yang mengikutinya ini ditanggapi dingin oleh kritikus. Dan memang, setelah jilid awal yang cukup seram, kelanjutan dari seri ini tidak lebih dari sekadar repetisi. Kecuali Anda adalah penggemar berat, maka setiap sekuel, khususnya Paranormal Activity 4 yang baru saja dilempar ke pasaran, hanya akan membuat Anda tertidur pulas di dalam bioskop dan baru terbangun di menit-menit terakhir. 

November 5, 2012

REVIEW : SKYFALL


"Mommy was very bad." - Silva

Seperti biasa, saya duduk manis di dalam bioskop ditemani segelas minuman bersoda serta berondong jagung asin yang menggoyang lidah hanya beberapa menit sebelum film utama dimulai demi menghindari trailer yang kerapkali mengumbar spoiler tanpa diminta. Untuk sesi kali ini, saya mengajak partner in crime tercinta untuk melahap Skyfall bersama supaya dapat berdiskusi ringan seusai menonton. Setelah beberapa iklan dari sponsor berseliweran di depan saya, lampu mulai diredupkan pertanda film segera dimulai. Dengan tampuk kepemimpinan ditempati oleh Sam Mendes, rasa penasaran pun menguasai diri. Akan seperti apa jadinya James Bond di tangan seorang sutradara yang terbiasa mengolah sajian drama bernuansa muram penuh pendalaman karakter dengan konflik utama yang seringkali tidak jauh-jauh dari kehidupan rumah tangga atau keluarga? Berdasarkan apa yang diutarakan oleh Mendes dalam sebuah wawancara, Skyfall sedikit banyak terinspirasi kepada cara Christopher Nolan memerlakukan Batman dalam The Dark Knight. Maka bukan sesuatu yang mengejutkan apabila film ini akan terasa lebih gelap ketimbang dua pendahulunya dari ‘generasi Daniel Craig’, Casino Royale dan Quantum of Solace

Mobile Edition
By Blogger Touch