September 2, 2012

REVIEW : THE BOURNE LEGACY


"Jason Bourne was just the tip of the iceberg." - Eric Byer 

Setelah tiga film Jason Bourne yang sukses meraup ratusan juta Dollar serta menuai pujian dari berbagai pihak, rasanya kok sayang ya jika franchise ini dihentikan begitu saja sekalipun The Bourne Ultimatum telah memberikan sebuah konklusi yang memuaskan. Pihak studio tentu tidak akan keberatan untuk menggelontorkan uang berapapun jumlahnya demi terwujudnya jilid keempat dari petualangan manten agen rahasia CIA ini. Tapi, tapi... Paul Greengrass telah memutuskan untuk ‘walk out’ dari proyek, begitu juga dengan Matt Damon. Lantas apa yang bisa diperbuat? Apakah dengan menciptakan sebuah reboot semacam The Amazing Spider-Man dengan tim utama yang sama sekali baru, sekuel dengan melakukan recast untuk mencari pengganti Damon, atau malah sebuah spin-off? Ada banyak kemungkinan. Namun, the show must go on, meski tidak ada lagi Damon maupun Greengrass yang telah membawa franchise ini ke puncak kejayaan melalui The Bourne Supremacy dan The Bourne Ultimatum. Beruntung, Tony Gilroy yang telah menggarap naskah franchise ini sejak jilid pertama tidak ikut-ikutan kabur seperti kedua rekannya. Malahan, dia digamit untuk mengarsiteki The Bourne Legacy terlebih dia memiliki jejak rekam pernah menghantarkan film debutnya, Michael Clayton, untuk bertarung di Oscar. 

Pertanyaannya, akan dibawa kemana The Bourne Legacy ini? Bagian kreatif memutuskan untuk tetap berada di jalur instalmen, alih-alih reboot. The Bourne Legacy mungkin lebih tepat disebut sebagai sidequel. Meski nama Bourne masih dicatut sebagai judul film, pada kenyataannya sosok ini tidak pernah muncul dalam film, kecuali dalam wujud foto atau sebatas nama diucapkan oleh tokoh lain. Tony Gilroy yang turut menulis naskah, kali ini ditemani oleh saudaranya, Dan Gilroy, menciptakan jagoan anyar bernama Aaron Cross (Jeremy Renner). Sejak awal film yang dimulai di lokasi pelatihan regu operasi khusus Alaska hingga pertengahan film, Gilroy menggoda penonton dengan menyembunyikan identitas dari sang tokoh utama sehingga muncul dugaan-dugaan bahwa Renner adalah Jason Bourne. Hingga akhirnya foto Bourne muncul, maka penonton pun mingkem. Atau jangan-jangan ada twist di akhir kisah? Ah sudahlah, jangan terlalu banyak berspekulasi. Haha. Sepak terjang dari Aaron Cross ini mengambil latar waktu bersamaan dengan The Bourne Ultimatum tatkala Bourne disibukkan dengan upayanya untuk mengekspos Blackbriar dan Treadstone. Sebagai pengait, sekaligus untuk menyegarkan ingatan penonton, ditampilkan foto, percakapan, hingga tayangan video yang berhubungan dengan film sebelumnya. 

Tidak seperti Bourne versi Doug Liman, apalagi Paul Greengrass, yang penuh dengan adegan aksi yang diramu intens dan digeber sejak menit pertama, Gilroy memilih pendekatan lain untuk memulai kisah. Bagi yang mengharapkan The Bourne Legacy akan disesaki dengan adegan kejar-kejaran, baku hantam, dan ledakan tanpa jeda, maka bersiap untuk kecewa. Bourne versi Gilroy ini sangat ceriwis dalam bertutur. Sekitar 40 menit pertama, kesabaran penonton – terutama yang tidak menggemari film penuh dialog – benar-benar diuji. Dialog-dialog panjang digunakan untuk menghantarkan kisah. Kita dipertemukan dengan tokoh-tokoh lama macam Pamela Landy (Joan Allen), Noah Vosen (David Strathairn), dan Ezra Kramer (Scott Glenn), serta kehadiran tokoh anyar Eric Byer (Edward Norton), yang kebakaran jenggot saat mengetahui Jason Bourne masih hidup. Disampaikan dengan dialog serba panjang nan rumit yang seringkali terasa melelahkan untuk diikuti, maka kubu penonton hampir dapat dipastikan terbagi menjadi dua. Di satu sisi memuji kelihaian Gilroy dalam meramu sebuah kisah spionase dengan naskah yang tergarap cermat menimbulkan rasa penasaran, namun di sisi lain menyumpahi keputusan sang sutradara yang berlama-lama menggiring penonton dalam ketidakpastian. Hingga satu jam pertama, penonton masih belum mendapatkan info film ini akan bertutur mengenai apa. 

Ketegangan mulai terasa saat Dr. Donald Foite (Zeljko Ivanek) secara membabi buta membantai para staf dan peneliti di laboratorium, dan menyisakan Dr. Martha Shearing (Rachel Weisz) yang gagal dihabisinya. Belum pulih dari trauma berat, sekelompok orang menyantroni rumah Martha. Beruntung Aaron Cross berhasil menyelamatkan Martha tepat waktu. Setelah bak bik buk dan dar der dor, terungkap fakta bahwa Aaron adalah satu-satunya agen di Outcome yang selamat dan kini menjadi target buruan pemerintah yang tengah mengeliminasi sejumlah operasi rahasia di seluruh dunia. Dia mencari Martha demi memeroleh pil yang konon diciptakan untuk meningkatkan kinerja fisik dan otak. Gagal mendapatkan, mereka berdua pun terbang ke Manila dimana pabrik pemroduksi obat-obatan itu berlokasi. Setelah Cross dan Shearing mendarat di Manila, Anda mendapatkan apa yang Anda tunggu-tunggu sejak awal film. Dengan masih menerapkan style yang tidak jauh berbeda, minus kamera yang sekali ini tidak terlalu ‘bergoyang’, Gilroy membawa penonton ke dalam sebuah suguhan sinematik yang memukau. Adegan kejar-kejaran diramu dengan intens. Lompat sana, lompat sini, mengarungi perkampungan padat penduduk. Yang menjadi ‘highlight’ dari film ini tentunya adegan Cross menunggangi sepeda motor bersama Shearing menghindari kejaran seorang supersoldier yang diperintah Byer untuk menghabisi mereka berdua menembus lalu lintas Manila yang mengerikan. 

Tanpa ada upaya untuk mencontek ‘kemesraan’ antara Matt Damon dengan Julia Stiles dan Franka Potente, duet Jeremy Renner dan Rachel Weisz berhasil membawa daya tarik tersendiri. Tidak melakoni peran yang sama dengan Damon, membuat Renner terhindar dari ‘teori perbandingan’. Aaron Cross di tangan Renner, tampak gagah. Setelah tiga film besar yang melibatkan dirinya meledak dimana-mana, maka tidak sulit bagi dia untuk menggaet hati para produser untuk menempatkannya di garda depan film-film aksi berbujet besar setelah ini. Anda yang tidak menyukai sosok Renner pun sulit menampik bahwa dia adalah pilihan yang tepat untuk franchise ini. Dan melihat raihan Dollar yang masih terus menanjak, bukan sesuatu yang mengherankan jika sepak terjang Aaron Cross akan berlanjut ke seri-seri berikutnya. Bisa jadi, dia akan berkolaborasi dengan Jason Bourne. Who knows. Terlebih, The Bourne Legacy juga bukan produk yang gagal, dinilai dari berbagai segi. Melihat pencapaian film sebelumnya, maka sesuatu yang wajar jika publik berharap lebih kepada jilid keempat ini. Disamping itu, masih perlu waktu untuk beradaptasi dengan karakter baru bernama Aaron Cross ini. Pun begitu, The Bourne Legacy tidaklah mengecewakan. Dimulai dengan perlahan-lahan, Gilroy menutup The Bourne Legacy dengan aksi gila-gilaan serba cepat yang mendebarkan. Bersedia untuk menanti sekuelnya? Tentu saja.

Acceptable 



1 comment:

  1. what??? adegan aksi sedikit?

    mending w simpen duit w buat Retribution sama Ted.. wahahaha!!!
    XD

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch