September 28, 2012

REVIEW : PREMIUM RUSH


"I like to ride. Fixed gear. No brakes. Can't stop. Don't want to, either." - Wilee

Terburu-buru mencari pom bensin terdekat untuk mendapatkan ‘Premium’. Itulah inti cerita dari... film yang tengah diputar di pikiran saya saat ini. Ha, tentu saja Premium Rush tidaklah berkisah seputar seseorang yang kebingungan mencari premium lantaran tangki bensin mobilnya sudah berada dalam tahapan kritis sementara dia tengah dikejar ‘deadline’ untuk menuntaskan sebuah misi maha penting. Istilah ‘Premium Rush’ disini berarti bayaran tambahan untuk kurir sepeda apabila mampu menyelesaikan pekerjaannya secara cepat dan tepat. Dengan mengambil seting New York City, film besutan David Koepp ini mencoba menawarkan sebuah ketegangan yang berbeda untuk Anda. Apabila selama ini adegan kejar-kejaran dalam film aksi yang kerap Anda saksikan melibatkan kendaraan bermotor macam mobil, taksi, bis, atau motor, maka di sini, Anda akan melihat sepak terjang dari pesepeda. Atau tepatnya, para kurir di ‘The Big Apple’ yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Bisa Anda bayangkan betapa menegangkannya melihat para penggowes mengebut kencang di jalanan New York yang super padat dengan taksi dan pejalan kaki dimana-mana. Salah sedikit saja perhitungan, dapat berakibat fatal. 

Wilee (Joseph Gordon-Levitt) menggunakan peta di ponsel cerdasnya untuk melacak lokasi tujuan yang dengan bergaya diwujudkan dalam bentuk animasi 3D. Mengadopsi style Guy Ritchie dari dwilogi Sherlock Holmes dimana strategi Sherlock untuk beberapa detik ke depan ditampilkan dalam slow motion, Koepp pun menghadirkannya dalam cara yang kurang lebih sama namun Wilee mendapat lebih banyak opsi dengan durasi ‘premonition’ lebih pendek serta tampilan grafis berbentuk garis marka. Untuk peristiwa yang terjadi di dalam film ini sendiri sebenarnya hanya memakan waktu kurang lebih dua jam, terhitung sejak pengiriman pertama di awal film. Di beberapa adegan, Koepp menyisipkan flashback guna memberikan informasi tambahan untuk penonton. Apa yang menjadi inti persoalan di Premium Rush sebenarnya sangat sederhana, kalau tidak mau disebut klise. Wilee yang disebut kurir sepeda terbaik oleh mantan kekasihnya, Vanessa (Dania Ramirez), mendapat tugas untuk menghantarkan sebuah paket rahasia dari Nima (Jamie Chung) dalam bentuk amplop. Tipis dan ringan, seakan bukan benda yang penting. Akan tetapi, sesuatu yang terlihat kecil dan seakan bukan ancaman, malah membuat Wilee mengalami hari terberat sepanjang karirnya sebagai kurir. 

Setelah musim panas berakhir, bioskop mulai kekeringan stok film aksi yang memacu adrenalin. Terakhir, penonton disuguhi pertarungan Alice dengan para zombie nakal yang tentu sudah Anda ketahui sendiri bagaimana pendapat saya mengenai film ini dari review yang telah saya publish beberapa hari lalu. Beruntung masih ada semangat dan harapan di genre lain sehingga langkah kaki ke bioskop pun tak terhenti. Setelah minggu-minggu yang berjalan dengan damai, muncul Premium Rush. Anda yang mengharapkan sebuah tontonan dengan kedalaman cerita serta berbagai kesempurnaan nyaris di semua lini, maka film ini bukanlah pilihan yang tepat. David Koepp hanya ingin mengajak Anda bersenang-senang, mengitari kota New York dengan adrenalin yang terus terpompa sepanjang film. Sungguh sebuah film yang seru, menyenangkan, dan menegangkan. Yang membuatnya sedap untuk disantap, Koepp tidak memergunakan layar hijau atau memaksimalkan polesan CGI demi menghadirkan sajian yang ‘wah’ di mata namun terasa kosong tak meninggalkan kesan. Para pemain terjun langsung melakukan ‘bicycle chase scene’ sehingga terasa lebih nyata. Plot boleh saja tidak istimewa dan telah berulang ditemukan di film lain, namun kecermatan Koepp dalam mengolah aksi bertensi tinggi, penampilan apik Joseph Gordon-Levitt dan Michael Shannon yang membuat saya ingin menonjoknya serta tampilan grafis yang unik, membuat film ini asyik untuk dinikmati. Penonton dapat merasakan sensasi dari sepeda yang melaju kencang di keramaian kota tanpa dilengkapi dengan rem di Premium Rush. Mendebarkan.

Exceeds Expectations



September 26, 2012

REVIEW : RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA


"Pada akhirnya setiap orang akan menyadari bahwa seluruh usianya habis hanya untuk memahami cinta yang sangat sedikit." 

Seorang kawan pernah berkata kepada saya, “enak ya kalau punya duit segunung, bisa ngapa-ngapain. Pasti aku bahagia banget.” Dari pandangan dia, tolak ukur kebahagiaan seseorang dapat dilihat berdasarkan berapa banyak jumlah uang yang dia miliki saat ini. Itu berarti, dia menentang pernyataan ‘money can’t buy happiness’. Hmmm... jika dipikir-pikir, apakah memang uang bisa membeli kebahagiaan? Bagi saya, ini kembali ke definisi ‘bahagia’ bagi masing-masing orang. Pernyataan ini pun bersifat relatif, sebagian kalangan mengiyakan, sebagian kalangan menolak untuk meyakininya. Saya pribadi cenderung netral, tidak memihak keduanya. Namun saya pun tidak munafik bahwa hidup memang lebih terasa nyaman saat ada uang di sisi kita. Tapi tentu saja, pernyataan tersebut tidak memiliki makna sedangkal itu. Ada semacam bahan untuk perenungan dari sebuah kalimat yang terdiri dari tidak lebih dari lima kata ini. Apabila Anda ingin merenunginya, menelusurinya lebih dalam, dan memelajarinya, ada baiknya Anda menyaksikan film terbaru besutan Viva Westi, Rayya Cahaya di Atas Cahaya. Sebuah film Indonesia yang sangat indah yang mengulik perjalanan seseorang yang mempertemukannya dengan jati dirinya yang sebenarnya serta menemukan makna lain dari kebahagiaan. 

Sang tokoh utama adalah Rayya (Titi Sjuman), aktris nomor satu di Indonesia yang labil, menyebalkan, dan senantiasa ingin dipahami. Benar-benar merasa perlu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah seorang diva. Sapto (Sapto Soetarjo) dari manajemen Rayya merencanakan sebuah proyek pembuatan biografi sang diva. Dia mengutus Kemal (Alex Abbad) untuk memotret Rayya di berbagai lokasi. Baru juga perjalanan dimulai, muncul konflik diantara mereka berdua yang berujung pada pemecatan Kemal. Rayya sendiri tengah dirundung kemalangan setelah dia dicampakkan oleh kekasihnya, Bram (Rico Marpaung), yang ternyata diam-diam telah menikahi perempuan lain. Kegalauan inilah yang mengubah Rayya dari seorang diva labil biasa menjadi seorang drama queen sejati. Tidak ada yang mampu mengatasinya kecuali Arya (Tio Pakusadewo), seorang fotografer kawakan yang menggantikan posisi Kemal. Perjalanan yang awalnya tidak lebih dari sekadar sesi foto ini menjadi terasa lebih berharga setelah Arya berhasil membuat Rayya perlahan-lahan membuka diri. Keakraban dengan cepat tumbuh setelah Rayya mengetahui bahwa Arya juga mengalami problematika pelik terkait urusan asmara. Sosok Arya serta wong-wong cilik yang dijumpai selama perjalanan membuka mata Rayya dan memberinya pembelajaran hidup. Berkat mereka, Rayya tersadar bahwa kebahagiaan tidak melulu dari hal-hal yang besar yang seringkali penuh dengan kepalsuan. Hal-hal kecil yang seringkali kita anggap sepele pun mampu memberikan kebahagiaan. Intinya, bahagia itu sederhana. 

Alih-alih menuturkan kisah menggunakan bahasa informal ‘lo, gue’ yang santai, Rayya Cahaya di Atas Cahaya memilih jalan untuk memakai bahasa formal, setidaknya dalam 40 menit pertama. Tidak hanya formal, tak jarang dialog-dialog olahan Emha Ainun Najib pun sangat puitis bernilai sastra tinggi. Sarat makna, dan juga sarat estetika. Lumayan membuat frustrasi memang, terutama bagi penonton yang terbiasa mendengarkan percakapan dengan bahasa yang lugas serta ‘to the point’. Cak Nun dan Viva Westi kerap berbasa-basi, bermain-main dengan kata. Saya pun sempat mengalami masa-masa dimana saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencerna ujaran para tokoh. Ada makna yang cukup dalam yang terkandung di dalamnya. Penonton diminta untuk berkontemplasi, atau menjadikannya sebagai bahan diskusi yang menyenangkan bersama teman seraya menyeruput secangkir teh hangat. Apabila hanya bergantung pada kekuatan naskah semata, Rayya Cahaya di Atas Cahaya berpotensi terjemurus ke jurang kebosanan. 

Disinilah para pemain memegang peranan penting untuk menghidupkan film. Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo memberikan performa yang gemilang, terang bersinar sepanjang film, serta memberikan chemistry yang kokoh. Hebatnya, tidak hanya mereka berdua yang berakting apik. Para bintang pendukung yang hanya kebagian jatah satu dua adegan, bermain total seolah-olah mereka menanggung beban berat layaknya pemain utama. Tim kasting terbukti jeli memilih pemain. Tapi tentu saja, siapapun sulit untuk menyangkal bahwa kekuatan utama dari film ini terletak pada sinematografinya. Ipung Rachmat Syaiful berhasil mengabadikan gambar-gambar cantik di sepanjang pantura, Jogja, hingga Bali. Bidikan gambarnya membuat saya spontan mengucap ‘Subhanallah’ berulang kali sepanjang film. Benar-benar memanjakan mata. Viva Westi patut bersyukur memiliki jajaran pemain dan kru seperti ini. Rayya Cahaya di Atas Cahaya menjadi sebuah ‘comeback’ yang sempurna bagi Viva Westi setelah mengalami masa-masa suram dengan film berkualitas cetek. Dia berhasil menghadirkan sebuah film yang istimewa dengan isian berupa pembelajaran hidup serta sentilan-sentilan mengenai masalah sosial kehidupan.

Exceeds Expectations



September 23, 2012

REVIEW : TED


"Ted, you mean everything to me, and so does Lori. I mean, I'm just trying to find a way to keep you both in my life." - John 

Apakah Anda pernah melewati sebuah masa dimana Anda berharap mainan atau boneka milik Anda bisa hidup dan mengajak bermain bersama? Mengucap doa, atau malah justru merapal mantra, tapi keajaiban yang dinanti-nantikan tidak kunjung menghampiri. Saat usia semakin bertambah dan pikiran semakin matang, kita pun menyadari bahwa harapan masa lalu ini adalah sebuah kekonyolan yang hanya mungkin terjadi di alam mimpi atau sebuah film. Pun begitu, jauh di dalam lubuk hati, saya masih menyimpan secercah pengharapan walau akal sehat menolaknya. Seth MacFarlane yang namanya melejit berkat serial animasi kurang ajar, Family Guy, mengulik permasalahan ini dalam film panjang perdananya, Ted. Dia menciptakan sebuah karakter berbentuk boneka beruang yang dapat berbicara. Ini bukan pertama kalinya bagi MacFarlane melahirkan sebuah karakter yang absurd atau berwujud binatang yang dapat berbicara karena sebelumnya dia telah memunculkannya dalam Family Guy, American Dad! maupun The Cleveland Show. Tidak berbeda dengan para pendahulunya, Ted (disuarakan oleh Seth MacFarlane) pun mempunyai bentuk fisik yang bikin gemes namun senantiasa nyinyir, berperilaku kasar, cabul, dan kurang ajar. 

Sejatinya, Ted tak lebih dari sekadar ‘buddy movie’ yang menyoroti dua sahabat yang enggan untuk tumbuh dewasa dan segala bentuk konsekuensi yang mau tak mau kudu diterima sebagai sebuah jawaban atas pilihan yang telah mereka buat. Yang membuatnya sedikit berbeda adalah pilihan MacFarlane untuk menempatkan sesosok boneka beruang yang bisa berbicara sebagai si ‘antagonis’ dalam kerumitan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidup. Dengan begini, film pun memasukkan unsur fantasi ke dalamnya. Si ‘protagonis’ adalah John Bennett (Mark Wahlberg), pria berusia 35 tahun dengan pekerjaan mentok di tempat persewaan mobil. Sang kekasih, Lori (Mila Kunis), gerah melihat John tidak kunjung belajar untuk bertanggung jawab atau membuat keputusan sementara sebentar lagi usia memasuki kepala empat. Lori melihat Ted sebagai virus yang harus disingkirkan dari kehidupan John. Akan tetapi, tentu saja tidak mudah untuk meminta Ted pergi begitu saja meninggalkan John terlebih mereka telah bersahabat sejak John masih berusia 8 tahun. Kala itu, John cilik (Bretton Manley) yang kesepian, melayangkan harapan ke bintang jatuh untuk menghidupkan boneka beruang miliknya. Tak dinyana, Tuhan menjawab permintaan John cilik. Ted hidup, dan dengan segera menjelma menjadi bintang cilik kesayangan publik. 

Tanpa dibekali bakat yang mumpuni, popularitas Ted dengan cepat meredup. Penonton tidak dibiarkan untuk melihat proses jatuhnya seorang bintang tanpa bakat karena itu bukanlah yang menjadi inti cerita dari Ted. Setting waktu dimajukan hingga 27 tahun ke depan, dan kita langsung menyaksikan kehidupan dua sahabat yang berantakan ini. Si Teddy Bear telah menjelma menjadi boneka yang pemalas, gemar berpesta, dan main perempuan. Hidupnya dihabiskan sebagian besar di atas sofa seraya menghirup ganja dan menonton ‘Flash Gordon’. Tidak ada masa depan cerah yang membayangi, maka sungguh wajar jika Lori terpaksa memberi ultimatum kepada John untuk memilih dia atau sang sahabat. Perkara seperti ini telah Anda saksikan berulang kali dalam film yang berbeda-beda, dan mayoritas memberikan konklusi yang kurang lebih sama. Dalam Ted, MacFarlane dan kedua rekan di departemen penulisan naskah, Alec Sulkin dan Wellesley Wild, pun tak berusaha untuk menyajikan alur konflik yang berbeda. Justru keklisean inilah yang membuat penonton mudah terkoneksi dengan film. Penonton merasa iba kepada Lori, dan jengkel kepada Ted maupun John. Terberkatilah para penulis yang dianugerahi para bintang yang bermain di atas rata-rata disini. Selain Mark Wahlberg dan Seth MacFarlane yang tidak perlu diragukan lagi pesonanya, film juga mendapat sokongan akting mumpuni dari Mila Kunis, Giovanni Ribisi sebagai penggemar berat yang menyeramkan, serta Joel McHale yang memainkan peran sebagai bos Lori. Semenjak bertransformasi menjadi angsa hitam, Kunis kian matang saja dari film ke film. Disini pun dia mampu mengimbangi performa Wahlberg dan MacFarlane yang kuat mendominasi. 

Apabila Anda sudah terbiasa menyaksikan komedi dengan rating R (17 tahun ke atas) khas Amerika maupun serial-serial ciptaan MacFarlane, khususnya Family Guy yang mempunyai tone yang sangat mirip dengan film ini, maka Anda tidak akan lagi terkejut dan mampu melahap film ini dengan hati riang gembira. Layaknya tingkah laku si boneka beruang, Ted pun luar biasa kasar. Ledakan tawa penonton di dalam gedung bioskop diciptakan melalui komedi fisik, jokes yang bersinggungan dengan kentut, serta mulut kotor Ted yang sepertinya sangat perlu dicuci dengan sabun. Tidak terhitung berapa jumlah selebriti, ‘pop culture’ serta isu sensitif yang diserang dengan sangat kejam dan tanpa ampun di sepanjang film. Yang membekas di ingatan saya, beberapa diantara ‘korban’ meliputi Katy Perry, Pink Floyd, Superman versi Brandon Routh, Bridget Jones' Diary, Octopussy, Airplane!, Sinead O’Connor, Taylor Lautner, Susan Boyle, kepercayaan tertentu hingga serangan 9/11. Walaupun terkadang keterlaluan, khususnya bagi masyarakat Timur yang masih menjunjung tinggi unggah-ungguh, namun saya berhasil tertawa terbahak-bahak nyaris sepanjang film. It’s hilariously funny, dude! Trio MacFarlane, Sulkin, dan Wild, telah menciptakan sebuah film komedi fantasi yang bagi saya nampak sebagai ‘Christmas movie’ yang penuh dengan kegilaan, sentilan, lucu, menyenangkan, namun tetap punya hati. Penonton memang tak henti-hentinya dibawa dari satu pesta ke pesta lain, hanya mengikuti Ted dan John untuk menyia-nyiakan waktu berharga mereka, namun pada akhirnya penonton diajak untuk merenungi makna dari kedewasaan, tanggung jawab, komitmen serta belajar membuat keputusan.

Outstanding 



September 22, 2012

REVIEW : RESIDENT EVIL: RETRIBUTION


"My name is Alice, and this is my world." - Alice

Apakah Anda pernah menyaksikan sebuah film aksi dengan gelaran tendangan, tembakan, dan ledakan yang maksimal namun membuat Anda menguap lebar-lebar, atau malah bahkan tertidur pulas? Saya pernah mengalaminya sekali saat menyaksikan Transformers: Revenge of the Fallen yang mana menahan kelopak mata agar tidak menutup adalah hal tersulit yang saya alami kala itu. Serangkaian film dar der dor bercita rasa buruk banyak saya temui setelah film tersebut, akan tetapi tidak sampai membuat saya tidur-tidur meong. Saya mulai bisa mengatasinya. Akan tetapi... hal ini kembali terulang tatkala saya menyaksikan Resident Evil: Retribution tempo hari di layar lebar. Rasa kantuk yang maha dahsyat menyerang, padahal sebelum film utama dimulai, semangat menggelora di dalam dada. Tak sabar menyaksikan perjuangan Alice (Milla Jovovich) melawan zombie-zombie keluaran Umbrella Corporation untuk kelima kalinya. Menit demi menit berlalu, dan secara perlahan, semangat mulai meredup digantikan oleh rasa bosan yang tidak tertahankan. Tidak pernah saya sebosan ini menyaksikan jilid dari Resident Evil. Titik jenuh mulai menampakkan diri. 

Resident Evil: Retribution melanjutkan ending dari Resident Evil: Afterlife yang menggoda penonton dengan kemunculan Jill Valentine (Sienna Guillory) yang ‘membelot’ dan berbalik memusuhi Alice setelah dicuci otak oleh Umbrella. Jika Anda belum berkesempatan menyaksikan jilid sebelumnya, tidak perlu khawatir. Dengan baik hati, Alice menceritakan kembali apa saja yang telah terjadi di seri pertama hingga keempat. Pelarian yang sukses di seri keempat, nyatanya tidak berlangsung sukses. Alice kembali terdampar di pusat eksperimen Umbrella yang kali ini berlokasi di bawah laut Moskow, sementara rekan-rekan seperjuangannya tidak diketahui rimbanya. Beberapa karakter yang dikisahkan telah menemui ajalnya, atau sebelumnya memegang jabatan sebagai ‘heroes’ dan ‘villains’, mengalami perombakan disini dengan harapan menciptakan kejutan untuk penonton dan mendatangkan lebih banyak Dollar. Saya mengerti, ini bisnis. Tapi lama-lama, franchise ini lebih menyerupai soap opera dengan bumbu action horror fantasy. Nah, apabila Jill Valentine malah justru menjadi ‘villain’, Albert Wesker (Shawn Roberts) yang awalnya adalah musuh utama Alice, berubah menjaadi sekutu. Tujuan kerjasama ini adalah menyelamatkan manusia, yang menjadi target utama bisnis Umbrella, dari kepunahan. Wesker menitahkan Ada Wong (Li Bingbing) dan sekumpulan pria jagoan yang salah satunya adalah Luther West (Boris Kodjoe) untuk mengeluarkan Alice dari tempat yang berwujud simulasi kota-kota besar di dunia sebelum Alice tertangkap oleh Jill, Rain Ocampo (Michelle Rodriguez), dan pasukannya, serta tentu saja, para zombie nakal. 

Mengharapkan Resident Evil dibekali dengan skrip yang tergarap matang, tentu tak ada bedanya dengan pungguk yang merindukan bulan. Tak akan pernah terjadi. Lagipula, itu tak berkaitan dengan semangat yang diusung oleh jilid ini. Paul W.S. Anderson tidak ambil pusing mengenai kualitas penceritaan, dia hanya ingin menampilkan adegan aksi yang bergaya dan menghibur penonton. Nah, yang menjadi pertanyaan, dengan mengulangi hal yang sama berulang kali, copy paste dari jilid sebelumnya tanpa ada perubahan yang berarti, apakah akan membuat franchise yang membesarkan namanya ini tetap enak untuk dinikmati? Masih banyak penonton yang rupanya masa bodoh, sehingga ‘wake up call’ untuk Anderson tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Bisa jadi, seri keenam dan ketujuh yang saat ini tengah dirancang, hanyalah sekadar repetisi dari Retribution, Afterlife, maupun seri-seri lainnya. Saya pribadi sudah tidak lagi menemukan kesenangan disini. Kualitas 3D yang tidak lebih baik dari film sebelumnya, dan terkadang malah hanya membuat saya pusing, memperburuk segalanya. 

Ini masih belum ditambah dengan penampilan para pemainnya yang memprihatinkan. Penonton memang mendapat kesempatan untuk melihat sisi lain Michelle Rodriguez, yang merupakan salah satu bagian terbaik dari film ini, namun selebihnya tak termaafkan. Milla Jovovich mulai terlihat ogah-ogahan dan setengah hati memerankan Alice, sedangkan Li Bingbing yang baru sekali ini muncul dalam franchise ini, lebih menyerupai robot ketimbang manusia. Para jagoan prianya, jangan diharapkan. Jika ada yang benar-benar membuat saya peduli dengan film ini adalah koreografi laganya yang tertata apik. Pengaruh dari film-film aksi dari Asia, khususnya Thailand, kentara sekali. Anderson sendiri mengakuinya. Cukup disayangkan, adegan tarung tangan kosong yang lebih memanfaatkan olah tubuh serta keahlian dan kekuatan fisik ini muncul terlambat. Andaikata Anderson menggebernya sejak awal, film bisa jadi tak semembosankan ini. Ah, tapi tak apalah, saya masih bisa menerimanya. Setidaknya masih ada yang bisa dibanggakan dari Resident Evil: Retribution. Final fight sequence, serta special effects yang harus diakui makin halus, menyelamatkan muka film ini dan membuatnya masih berada dalam posisi aman, walau sedikit lagi terjerumus ke zona merah.

Poor



September 21, 2012

REVIEW : RADIO GALAU FM


"Kenapa ya cewek itu terlihat lebih cantik ketika dia udah bukan milik kita lagi ?" - Bara 

Ada apa dengan galau? Mengapa kata yang satu ini bisa sedemikian populernya di kalangan generasi nunduk? Apa yang membuatnya spesial hingga nyaris di setiap ucapan, terselip kata yang satu ini? dan yang lebih penting, apa sebenarnya definisi yang tepat dari galau? Baiklah, saya akan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan mengubek-ubek berbagai laman di dunia maya untuk mencari tahu definisi dari galau, kata terpopuler di tahun 2010’an. Tik tok, tik tok *satu jam kemudian...* Baiklah, setelah saya membaca kamus secara intensif dan berselancar di dunia maya selama kurang lebih satu jam, akhirnya saya menemukan pengertian galau. Galau mempunyai arti sibuk beramai-ramai, sangat ramai, dan berkacau tidak karuan. Jadi, dapat disimpulkan berdasarkan kamus, seseorang yang sedang galau adalah seseorang yang dalam keadaan atau pikiran yang tidak karuan. Kacau. Sumpek. Dilema. Jika dikaitkan dengan film Radio Galau FM, maka galau yang dimaksud berkaitan erat dengan problematika asmara. 

G-word ini sejatinya bukanlah sesuatu yang baru di industri hiburan. Sejumlah lagu telah mempergunakannya. Namun galau baru menemukan ketenarannya ketika laman jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya untuk terus berkicau digemari oleh masyarakat. Selebritis dunia maya mengapungkannya kembali. Segera saja, publik mengikuti. Memanfaatkan momentum, lahirlah sebuah akun bernama Radio Galau FM yang mengkhususkan untuk berkicau perihal kegalauan dalam hal asmara, sebuah topik yang mudah menggaet perhatian remaja. Setelah berhasil mengumpulkan pengikut hingga mencapai ratusan ribu, versi buku pun segera diluncurkan, dan tidak perlu menunggu lama untuk melihatnya diterjemahkan ke dalam bentuk visual. Yang beruntung mendapat kesempatan untuk mengolah naskah versi film dari radio yang senantiasa galau ini adalah Haqi Ahmad, penulis skenario muda berbakat yang juga menggarap naskah versi film dari fenomena Twitter lainnya, Poconggg Juga Pocong. Kali ini dia bekerja sama dengan Iqbal Rais. Mengumpulkan barisan pemain berwajah segar, Radio Galau FM, secara mengejutkan, lebih sedap untuk disantap ketimbang si Poconggg. 

Jalan ceritanya klise. Anda bisa menemukannya dengan mudah di FTV yang tayang saban hari, seputar kisah cinta segibanyak di kalangan pelajar yang mengenakan seragam putih abu-abu. Bara Mahesa (Dimas Anggara) yang bermimpi menjadi penulis, tengah galau. Hingga tahun keduanya di SMA, belum ada gadis yang nemplok padanya (Kayak nyamuk aja, nemplok...). Sang kakak dengan tingkah lakunya yang luar biasa ajaib, kerap meledeknya. Meski diberkahi wajah yang rupawan, Bara tetap menghabiskan malam Minggunya di dalam kamar, duduk menghadap layar laptop, dan mengejar mimpinya menjadi penulis. Tak sekalipun berkencan. Segalanya berubah saat seorang adik kelas bernama Velin (Natasha Rizki) mengajaknya berkenalan. Dari yang awalnya malu-malu meong, secara perlahan Bara dan Velin menjadi semakin lengket. Muncullah percikan asmara. Bara memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Velin setelah beberapa hari hubungan mereka tiada kejelasan. Velin menerima. Bersama Velin, Bara memasuki hidup baru yang penuh warna, indah dan menyenangkan. Kegalauan Bara berakhir... hanya untuk sementara. Setelah memasuki bulan kedua, mulai terlihat peringai asli masing-masing. Velin tidak lagi gadis manis yang polos dan ceria. Bara gerah. Di saat hubungan mereka memburuk, hadir Diandra (Alisia Rininta). Bara menjadikan Diandra sebagai pelarian, padahal dia dan Velin masih belum putus. Nah lho! 

Di bawah penanganan Iqbal Rais, kisah klise tentang sejumlah ABG yang galau karena cinta tidak terkesan murahan. Sekalipun jalan cerita semacam ini sudah berulang kali ditampilkan, namun dia sanggup mengemasnya dengan menggoda sehingga penonton betah untuk duduk di kursi bioskop hingga film berakhir. Konfliknya mengalir wajar tidak berlebihan, dan humor serta situasi kocak yang disajikan pun mampu mengundang tawa renyah tanpa perlu mengambil jalur slapstick. Yang menjadikan Radio Galau FM lebih bersinar ketimbang kisah Poconggg yang absurd adalah para pemainnya yang mampu bermain apik, tak hanya menjual tampang belaka. Dimas Anggara, Alisia Rininta, dan Indri Giana boleh saja berusaha keras untuk menarik perhatian penonton, akan tetapi Natasha Rizki yang ekspresif, senantiasa mencuri perhatian setiap kali dia tampil. Jengkel melihat kelakuannya yang manja dan penuntut, namun iba ketika Bara meminta putus kepada Velin. Sulit untuk menyangkal bahwa gadis ini memiliki bakat. Saya pun penasaran dengan kiprah Natasha Rizki berikutnya di dunia akting. Yang cukup saya sayangkan, sepanjang film, penonton tidak diberi tahu latar belakang Velin dan Diandra, semuanya tentang Bara. Andaikan para karakter pendukung ini diberi porsi lebih, film akan menjadi lebih menarik. Radio Galau FM memang bukanlah film romansa dari Indonesia yang termanis tahun ini, namun yang jelas, merupakan salah satu yang menghibur. Setidaknya isi filmnya tidak seburuk desain posternya.

Acceptable



September 18, 2012

REVIEW : MAMA CAKE


"Everything happens for a reason."

Mama Cake mencoba memberikan suguhan yang berbeda di tengah-tengah iklim perfilman Indonesia yang telah mencapai titik jenuh. Sutradara debutan, Anggy Umbara, tidak terjebak dalam kisah percintaan yang melankolis atau horor dengan bumbu komedi yang sama sekali tidak lucu yang kerap dibidik oleh para sineas saat ini yang enggan untuk mengambil resiko. Sebagai sutradara anyar, Anggy Umbara malah justru nekat keluar dari ‘comfort zone’ dengan melahirkan sebuah film yang (maunya) eksentrik dan segar. Mama Cake mengambil jalur road movie yang tergolong jarang dilalui oleh para sineas lokal lantaran dianggap tak mampu menambah pundi-pundi Rupiah secara cepat. Untuk visualisasinya, film ini sedikit banyak terinspirasi dari style Scott Pilgrim vs the World yang ala komik dengan panel, grafis penuh warna, serta dialog atau dentuman suara yang diperlihatkan dalam bentuk kata-kata yang memenuhi layar dalam berbagai bentuk font. Jika saya berhenti menulis sampai disini, maka Mama Cake nampak sebagai sebuah film yang menjanjikan. Sayangnya, tulisan ini masih belum berakhir, kawan-kawan. 

Tiga sahabat, Raka (Ananda Omesh), Willy (Boy William), dan Rio (Arie Dagienkz), kudu menempuh perjalanan Jakarta-Bandung yang digambarkan Willy dengan Pamer Paha - Padat Merayap Tanpa Harapan – di Sabtu pagi demi memenuhi permintaan terakhir Nenek Raka (Nani Widjaja) yang menginginkan brownies kukus Mama Cake yang dibeli langsung dari pusatnya di Bandung. Mereka hanya diberi waktu sekitar lima jam, dan pukul satu siang harus sudah berada di Jakarta. Sesuatu yang mustahil, tentu saja. Kecuali, mobil yang mereka tumpangi mendadak bisa terbang dan melenggang di udara dengan mulus (Tenang, ini tidak benar-benar terjadi dalam film, hanya imajinasi saya belaka). Layaknya sebuah road movie, perjalanan yang dilalui oleh para tokoh utama ini tidaklah semulus yang dibayangkan. Mereka menabrak seorang penyebrang jalan (Fajar Umbara) yang anehnya tidak terluka sedikitpun meski tertabrak dengan cukup keras. Dan, itulah awal mula dari serangkaian musibah aneh yang datang silih berganti seakan tiada akhir yang menimpa ketiga sahabat ini. 

Baiklah, setelah saya memberikan kesempatan kepada Anda untuk mengetahui jalan cerita dari film ini secara ringkas tanpa membocorkan beberapa adegan penting seperti yang dilakukan oleh sinopsis resminya, maka saya akan melanjutkan kalimat yang menggantung di akhir paragraf pertama. Harus diakui, Mama Cake mempunyai jalinan penceritaan yang menarik yang mampu membuat penonton untuk tetap menyimak film ini hingga credit title bergulir. Perjuangan Raka untuk mendapatkan sekotak Mama Cake ditampilkan dengan sangat mengasyikkan. Barisan pemainnya pun bermain dengan sangat baik. Trio penulis naskah, Anggy Umbara, Hilman Mutasi, dan Sofyan Jambul, tidak hanya berhasil menyuguhkan tontonan yang seru, tetapi juga menghibur dan sarat akan pesan moral. Akan tetapi, akan tetapi.... yang sungguh sangat disayangkan, mereka mengambil jalur yang salah untuk mengemas pesan moral yang hendak disampaikan. Alih-alih diterjemahkan ke dalam bahasa gambar yang menuntut penonton untuk memaknai sendiri setiap gambar yang disorotkan ke layar, Anggy Umbara dan kawan-kawan malah justru merangkainya dalam bentuk kata-kata. Dijelaskan. Alhasil, film pun menjadi luar biasa cerewet dan menggurui. 

Saya pun bertanya-tanya, apakah benar saya sedang berada di bioskop menonton film? Ini lebih seperti sedang menghadiri sebuah pengajian, mendengarkan ceramah agama. Bukannya tercerahkan, hati malah jengkel. Kuping pun panas. Dahsyatnya, film super ceriwis ini membentang panjang. Durasinya mencapai 143 menit! Ya, Anda tidak salah baca, 143 menit. Banyak adegan dan dialog yang terasa mubazir. Dipangkas menjadi 100 menit pun tidak akan berpengaruh banyak. Anggy Umbara terlalu asyik ceramah dalam film perdananya ini sehingga lupa bahwa film bukanlah media yang tepat untuk menyalurkan minatnya ini. Andaikan saja Mama Cake tidak memiliki durasi yang kelewat panjang, tidak kelewat cerewet seperti nenek-nenek, dan tidak menganggap film mempunyai peranan yang sama dengan mimbar Masjid, maka Mama Cake bisa berkali-kali lipat lebih menarik dan menyenangkan dari sekarang. Sungguh sangat disayangkan.

Acceptable



September 7, 2012

REVIEW : TEST PACK: YOU'RE MY BABY


"Apa adanya kamu, sudah melengkapi hidupku." - Rachmat 

Saat Anda berada di semester akhir bangku kuliah, pertanyaan yang paling bikin kuping panas adalah “kapan wisuda?.” Setelah toga terpasang dengan anggun di kepala, giliran diberondong pertanyaan, “kapan menikah?.” Seusai melenggang di pelaminan, belum juga masa-masa untuk berbulan madu berakhir, pertanyaan lain yang tergabung dalam ‘trilogi pertanyaan sensitif’ mengusik, “kapan mempunyai anak?.” Memiliki momongan, seringkali dianggap sebagai salah satu barometer suksesnya sebuah pernikahan. Belum lengkap jika tidak ada ocehan si kecil di rumah. Saat mertua telah menimang seorang cucu, maka teror akan sedikit mereda. Nah, bagaimana jika sepasang suami istri yang telah menahun berumah tangga namun masih belum diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk mendapat momongan? Memalukan sekaligus memilukan, tentu saja. Tema yang super sensitif inilah yang disorot oleh Ninit Yunita dalam novelnya yang berjudul Test Pack. Dilempar ke pasaran untuk pertama kali pada tahun 2005, novel ini telah bolak-balik masuk percetakan sebanyak 13 kali hingga sekarang. Starvision yang baru saja bersuka cita berkat Perahu Kertas meledak di pasaran, melirik novel ini untuk diangkat ke layar lebar dengan Monty Tiwa sebagai sutradara. 

Ketika mendengar judul Test Pack, belum apa-apa masyarakat sudah keburu skeptis. Maklum, selama bertahun-tahun disodori film komedi esek-esek berjudul nyerempet dengan kualitas penggarapan ala kadarnya meninggalkan trauma yang cukup mendalam bagi penonton. Belum apa-apa, sudah keburu suudzon. Rilisan terbaru dari Starvision yang naskahnya dikelola oleh Adhitya Mulya ini tidak bermain-main dengan belahan dada, paha atau selangkangan untuk menarik penonton ke bioskop. Ini murni sebuah film drama komedi romantis yang sarat pesan positif bagi Anda yang tengah membina rumah tangga atau berniat membawa hubungan Anda dengan kekasih ke jenjang pernikahan. Test Pack mengajak Anda untuk berkontemplasi memikirkan makna dan tujuan dari pernikahan. Terdengar berat? Tenang saja, segala macam problematika disajikan secara santai. Humor-humor saru yang diselipkan untuk mencairkan suasana dikemas elegan dan cerdas, tanpa sedikit pun terkesan vulgar. Naskah bernas Adhitya Mulya diwujudkan dalam bentuk bahasa gambar dengan cekatan oleh Monty Tiwa. Sejak menit pertama, Test Pack telah mencuri perhatian. Komedinya yang menggelitik berpadu secara pas dengan dramanya yang menguras emosi. 

Akar permasalahan dari Test Pack adalah pasangan suami istri yang telah tujuh tahun hidup berdampingan namun tak kunjung dikaruniai keturunan. Pasangan tersebut diberi nama Rachmat (Reza Rahadian) dan Tata (Acha Septriasa). Ibu Rachmat (Ratna Riantiarno) tidak pernah lelah menelpon anak dan menantunya setiap hari hanya untuk bertanya, “kapan kalian mau punya anak?.” Tata bahkan sampai memborong test pack, sepertinya tidak ada satupun produk test pack di Indonesia yang terlewatkan olehnya. Namun dari berpuluh-puluh test pack yang ‘dikoleksinya’, tak satupun yang membawa kabar yang membahagiakan. Lelah karena usaha tidak kunjung membuahkan hasil, pasangan ini berobat ke dr Peni (Oon Project Pop). Semenjak disuntik hormon kesuburan, emosi Tata menjadi tak stabil. Tangisan histeris kerap kali pecah. Rachmat hanya bisa bersabar mendampinginya sembari menangani pasangan rempong yang berkonsultasi kepadanya, Pak dan Ibu Sutoyo (Jaja Mihardja dan Meriam Bellina). Seakan masih belum cukup cobaan mendera Rachmat, hadir Shinta (Renata Kusmanto), mantan kekasih Rachmat, yang mengharapkan munculnya ‘CLBK’ setelah dia diceraikan oleh suaminya. 

Test Pack istimewa berkat akting ciamik dari dua bintang utamanya, Reza Rahadian dan Acha Septriasa. Selepas Heart, kemampuan akting Acha Septriasa kian terasah dari film ke film. Disini, dia terlihat semakin matang. Sepertinya, akan semakin banyak produser yang tertarik untuk memasangnya di garda depan dalam beberapa tahun ke depan. Sementara Reza Rahadian yang akhir-akhir ini semakin membosankan dengan penampilan yang begitu-begitu saja, tampak segar. Mereka berdua berhasil menghadirkan chemistry yang ‘cakep banget’. Di tangan mereka, tokoh-tokoh ciptaan Ninit Yunita terasa hidup dan nyata. Saya merasa sangat mengenal Rachmat dan Tata, serta turut merasakan betapa beratnya cobaan yang harus mereka lalui. Inilah yang kerap diabaikan oleh para sineas film lokal. Membuat penonton terkoneksi dengan para tokoh utama sehingga kita peduli pada nasib mereka. Kegemilangan Reza dan Acha mendapat dukungan penuh dari para pemain pendukung seperti Meriam Bellina, Jaja Mihardja, dan Oon Project Pop yang membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. Penuh tawa canda dan keceriaan hingga pertengahan film, Test Pack memasuki bagian mengharu biru yang emosional di paruh kedua ditandai dengan adegan slo-mo yang tergarap cantik, Tata menghampiri suaminya dengan emosi yang bergejolak membawa hasil tes laboratorium yang disembunyikan Rachmat. Gelak tawa digantikan air mata. Perpindahan ini disampaikan dengan mulus oleh Monty Tiwa yang menjadikan Test Pack sebagai karya terbaik darinya, serta menempatkan sutradara yang baru saja menghasilkan Sampai Ujung Dunia yang tak kalah manis ini sebagai salah satu sutradara berbakat di Indonesia saat ini.

Exceeds Expectations




September 2, 2012

REVIEW : THE BOURNE LEGACY


"Jason Bourne was just the tip of the iceberg." - Eric Byer 

Setelah tiga film Jason Bourne yang sukses meraup ratusan juta Dollar serta menuai pujian dari berbagai pihak, rasanya kok sayang ya jika franchise ini dihentikan begitu saja sekalipun The Bourne Ultimatum telah memberikan sebuah konklusi yang memuaskan. Pihak studio tentu tidak akan keberatan untuk menggelontorkan uang berapapun jumlahnya demi terwujudnya jilid keempat dari petualangan manten agen rahasia CIA ini. Tapi, tapi... Paul Greengrass telah memutuskan untuk ‘walk out’ dari proyek, begitu juga dengan Matt Damon. Lantas apa yang bisa diperbuat? Apakah dengan menciptakan sebuah reboot semacam The Amazing Spider-Man dengan tim utama yang sama sekali baru, sekuel dengan melakukan recast untuk mencari pengganti Damon, atau malah sebuah spin-off? Ada banyak kemungkinan. Namun, the show must go on, meski tidak ada lagi Damon maupun Greengrass yang telah membawa franchise ini ke puncak kejayaan melalui The Bourne Supremacy dan The Bourne Ultimatum. Beruntung, Tony Gilroy yang telah menggarap naskah franchise ini sejak jilid pertama tidak ikut-ikutan kabur seperti kedua rekannya. Malahan, dia digamit untuk mengarsiteki The Bourne Legacy terlebih dia memiliki jejak rekam pernah menghantarkan film debutnya, Michael Clayton, untuk bertarung di Oscar. 

Pertanyaannya, akan dibawa kemana The Bourne Legacy ini? Bagian kreatif memutuskan untuk tetap berada di jalur instalmen, alih-alih reboot. The Bourne Legacy mungkin lebih tepat disebut sebagai sidequel. Meski nama Bourne masih dicatut sebagai judul film, pada kenyataannya sosok ini tidak pernah muncul dalam film, kecuali dalam wujud foto atau sebatas nama diucapkan oleh tokoh lain. Tony Gilroy yang turut menulis naskah, kali ini ditemani oleh saudaranya, Dan Gilroy, menciptakan jagoan anyar bernama Aaron Cross (Jeremy Renner). Sejak awal film yang dimulai di lokasi pelatihan regu operasi khusus Alaska hingga pertengahan film, Gilroy menggoda penonton dengan menyembunyikan identitas dari sang tokoh utama sehingga muncul dugaan-dugaan bahwa Renner adalah Jason Bourne. Hingga akhirnya foto Bourne muncul, maka penonton pun mingkem. Atau jangan-jangan ada twist di akhir kisah? Ah sudahlah, jangan terlalu banyak berspekulasi. Haha. Sepak terjang dari Aaron Cross ini mengambil latar waktu bersamaan dengan The Bourne Ultimatum tatkala Bourne disibukkan dengan upayanya untuk mengekspos Blackbriar dan Treadstone. Sebagai pengait, sekaligus untuk menyegarkan ingatan penonton, ditampilkan foto, percakapan, hingga tayangan video yang berhubungan dengan film sebelumnya. 

Tidak seperti Bourne versi Doug Liman, apalagi Paul Greengrass, yang penuh dengan adegan aksi yang diramu intens dan digeber sejak menit pertama, Gilroy memilih pendekatan lain untuk memulai kisah. Bagi yang mengharapkan The Bourne Legacy akan disesaki dengan adegan kejar-kejaran, baku hantam, dan ledakan tanpa jeda, maka bersiap untuk kecewa. Bourne versi Gilroy ini sangat ceriwis dalam bertutur. Sekitar 40 menit pertama, kesabaran penonton – terutama yang tidak menggemari film penuh dialog – benar-benar diuji. Dialog-dialog panjang digunakan untuk menghantarkan kisah. Kita dipertemukan dengan tokoh-tokoh lama macam Pamela Landy (Joan Allen), Noah Vosen (David Strathairn), dan Ezra Kramer (Scott Glenn), serta kehadiran tokoh anyar Eric Byer (Edward Norton), yang kebakaran jenggot saat mengetahui Jason Bourne masih hidup. Disampaikan dengan dialog serba panjang nan rumit yang seringkali terasa melelahkan untuk diikuti, maka kubu penonton hampir dapat dipastikan terbagi menjadi dua. Di satu sisi memuji kelihaian Gilroy dalam meramu sebuah kisah spionase dengan naskah yang tergarap cermat menimbulkan rasa penasaran, namun di sisi lain menyumpahi keputusan sang sutradara yang berlama-lama menggiring penonton dalam ketidakpastian. Hingga satu jam pertama, penonton masih belum mendapatkan info film ini akan bertutur mengenai apa. 

Ketegangan mulai terasa saat Dr. Donald Foite (Zeljko Ivanek) secara membabi buta membantai para staf dan peneliti di laboratorium, dan menyisakan Dr. Martha Shearing (Rachel Weisz) yang gagal dihabisinya. Belum pulih dari trauma berat, sekelompok orang menyantroni rumah Martha. Beruntung Aaron Cross berhasil menyelamatkan Martha tepat waktu. Setelah bak bik buk dan dar der dor, terungkap fakta bahwa Aaron adalah satu-satunya agen di Outcome yang selamat dan kini menjadi target buruan pemerintah yang tengah mengeliminasi sejumlah operasi rahasia di seluruh dunia. Dia mencari Martha demi memeroleh pil yang konon diciptakan untuk meningkatkan kinerja fisik dan otak. Gagal mendapatkan, mereka berdua pun terbang ke Manila dimana pabrik pemroduksi obat-obatan itu berlokasi. Setelah Cross dan Shearing mendarat di Manila, Anda mendapatkan apa yang Anda tunggu-tunggu sejak awal film. Dengan masih menerapkan style yang tidak jauh berbeda, minus kamera yang sekali ini tidak terlalu ‘bergoyang’, Gilroy membawa penonton ke dalam sebuah suguhan sinematik yang memukau. Adegan kejar-kejaran diramu dengan intens. Lompat sana, lompat sini, mengarungi perkampungan padat penduduk. Yang menjadi ‘highlight’ dari film ini tentunya adegan Cross menunggangi sepeda motor bersama Shearing menghindari kejaran seorang supersoldier yang diperintah Byer untuk menghabisi mereka berdua menembus lalu lintas Manila yang mengerikan. 

Tanpa ada upaya untuk mencontek ‘kemesraan’ antara Matt Damon dengan Julia Stiles dan Franka Potente, duet Jeremy Renner dan Rachel Weisz berhasil membawa daya tarik tersendiri. Tidak melakoni peran yang sama dengan Damon, membuat Renner terhindar dari ‘teori perbandingan’. Aaron Cross di tangan Renner, tampak gagah. Setelah tiga film besar yang melibatkan dirinya meledak dimana-mana, maka tidak sulit bagi dia untuk menggaet hati para produser untuk menempatkannya di garda depan film-film aksi berbujet besar setelah ini. Anda yang tidak menyukai sosok Renner pun sulit menampik bahwa dia adalah pilihan yang tepat untuk franchise ini. Dan melihat raihan Dollar yang masih terus menanjak, bukan sesuatu yang mengherankan jika sepak terjang Aaron Cross akan berlanjut ke seri-seri berikutnya. Bisa jadi, dia akan berkolaborasi dengan Jason Bourne. Who knows. Terlebih, The Bourne Legacy juga bukan produk yang gagal, dinilai dari berbagai segi. Melihat pencapaian film sebelumnya, maka sesuatu yang wajar jika publik berharap lebih kepada jilid keempat ini. Disamping itu, masih perlu waktu untuk beradaptasi dengan karakter baru bernama Aaron Cross ini. Pun begitu, The Bourne Legacy tidaklah mengecewakan. Dimulai dengan perlahan-lahan, Gilroy menutup The Bourne Legacy dengan aksi gila-gilaan serba cepat yang mendebarkan. Bersedia untuk menanti sekuelnya? Tentu saja.

Acceptable 



Mobile Edition
By Blogger Touch