April 17, 2012

REVIEW : BATTLESHIP


Transformers di air. Itulah kesan pertama yang didapat sesaat setelah menyaksikan trailernya kala diputar beberapa saat sebelum Hugo dimulai. Dan, kesan pertama tak pernah salah. Ketika mengetahui bahwa film ini akan memiliki premis yang kurang lebih sama dengan film robot tersebut, ditambah kenyataan bahwa Battleship berangkat dari permainan sederhana buatan Hasbro, maka menaruh harapan yang setinggi langit tidak akan memberikan kepuasan apapun. Menurut Paul dalam artikelnya yang berjudul “How to Determine Bad Movie From a Good One”, film yang diangkat dari sebuah permainan cenderung lemah dalam naskah karena tidak mempunyai materi dasar yang mencukupi. Maka satu-satunya cara untuk menikmati Battleship adalah dengan membuang semua logika dan menikmati saja apa yang tersaji di layar tanpa memedulikan alur ceritanya yang sudah barang tentu setipis kertas. Saat Anda berhasil menikmatinya, saya ucapkan selamat. Apabila tidak, maka silahkan bergabung dengan saya di kedai kopi terdekat dan membicarakan film lain.

Paruh pertama dari film buatan Peter Berg ini adalah saat-saat paling menyiksa. Kita diperkenalkan dengan sang tokoh utama, Alex Hopper (Taylor Kitsch), yang tentu saja merupakan seorang pecundang yang sama sekali tidak bisa diandalkan. Dia menaruh hati kepada Samantha (Brooklyn Decker), seorang terapis fisik sekaligus putri kesayangan dari perwira tinggi di angkatan laut, Vice Admiral Shane (Liam Neeson). Adegan pembuka film ini sedikit banyak mengingatkan saya pada Star Trek versi J.J. Abrams. Perkenalan Alex dengan Sam bermula di sebuah bar. Tidak mengetahui apapun mengenai gadis ini, Alex merasa perlu mencuri hati si gadis, dengan cara mencuri burrito di minimarket. Dibuka dengan adegan yang niatnya ingin menjadi lucu namun garing, Battleship lalu berubah haluan secara cepat tatkala saudara Alex, Stone (Alexander Skarsgard), jengah melihat kelakuan Alex yang kekanak-kanakan. Stone memaksa adiknya untuk bergabung dengan angkatan laut. Mulai dari sini, tanpa perlu memiliki bola kristal atau kemampuan untuk meramal, apa yang terjadi berikutnya sudah dapat ditebak dengan mudah.

Alex kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di angkatan laut yang berbeda jauh dengan kebiasaannya sehari-hari. Pasukan Alien yang datang dari sebuah planet yang memiliki kemiripan dengan bumi (Sebentar, saya tidak sedang menonton Melancholia atau Another Earth, kan?) dengan tujuan yang tidak dipedulikan oleh siapapun, menginvasi bumi. Sekali lagi, mereka menjadikan Amerika sebagai pusat pendaratan. Kali ini bukan di Washington DC, melainkan berpindah ke Kepulauan Hawaii. Seperti halnya yang sudah-sudah, di balik segala serangan maut yang dilancarkan, Alien ini sesungguhnya punya misi yang mulia. Dia membantu seorang anak Adam untuk menemukan jati dirinya, mendewasakan diri, dan menyelamatkan jutaan umat manusia. Untuk mencapainya, maka seseorang yang disayangi namun tidak mempunyai peranan penting untuk film harus dimusnahkan terlebih dahulu. Tentunya sekaligus untuk menambah efek dramatis. Ucapkan selamat tinggal kepada Alexander Skarsgard. Lebih cepat dia pergi, semakin baik bagi dia. Setidaknya penonton tidak akan terlalu mengingat akting buruknya.

Supaya film tidak terlalu tegang dan membosankan (sayangnya sudah terlanjur terjadi sejak menit pertama. Boring!), maka Peter Berg menambahkan dua tokoh yang difungsikan sebagai pencair suasana. Perkenalkan, Ordy (Jesse Plemons) dan Cal (Hamish Linklater), tokoh dengan skill yang mumpuni dan otak yang cemerlang, namun senantiasa bertindak bodoh nyaris sepanjang film. Kenapa pancingan gelak tawa harus selalu berasal dari tokoh yang bertingkah laku bodoh? Bagi saya, mereka tidak lucu, lebih tepat disebut menyebalkan. Nyaris saja menyamai duo robot menjengkelkan, Wheelie dan Brains, dari Transformers: Revenge of the Fallen seandainya Raikes (Rihanna) tidak datang untuk ‘menyelamatkan’. Saya secara sukarela menawarkan diri untuk membantu siapapun yang memiliki niatan mengampanyekan Rihanna di Razzie Awards tahun depan. Dia sangat pantas setidaknya untuk mengantongi satu nominasi. Memasuki paruh kedua, Battleship bergerak sedikit lebih baik. Pertempuran antara kapal tempur milik Amerika Serikat dengan Alien berlangsung intens. Lumayan mengobati kekecewaan lantaran uang dan waktu yang terbuang percuma menyaksikan pertunjukkan yang membosankan dalam satu jam pertama. Kebahagiaan ini sayangnya berlangsung hanya sekejap saja. Peter Berg kalah telak dari James Cameron dalam urusan bagaimana cara menampilkan adegan kapal tenggelam secara epik. Battleship tak ada apa-apanya disandingkan dengan Titanic, yang notabene dibuat 15 tahun lalu. Belum lagi cara melumpuhkan Alien yang ternyata sebelas dua belas dengan ending Signs dan War of the Worlds yang menggelikan itu. Blah. Dengan hanya mengandalkan efek khusus yang jor-joran seperti ini, dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun mendatang, Battleship akan segera terlupakan. Transformers jilid pertama pun masih jauh lebih menyenangkan untuk ditonton ketimbang Battleship.

Poor

2 comments:

  1. Gw suka lho sama Battleship, keren, bener2 sesuai dengan Genre dan Tema-nya...

    Action-SciFi sama Perang AL...

    =D

    ReplyDelete
  2. Yang gue cuma inget di film ini adalah scoring waktu rekaman cctv si taylor nyolong burrito di swalayan, itu ngingetin ke film warkop DKI banget.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch