March 19, 2012

REVIEW : HUGO


" If you've ever wondered where your dreams come from, you look around... this is where they're made."

Sulit untuk tidak mencintai Hugo. Ini adalah sebuah surat cinta yang ditujukan oleh Martin Scorsese khusus untuk sinema. Isinya berupa ungkapa
n hati dari seseorang yang sangat mengagumi keindahan dan magis dari sebuah film. Sebagai pecinta film, rasanya hampir mustahil tidak terpukau dengan film terbaru dari sineas spesialis film-film bertemakan gangster dan kekerasan ini. Wujud kecintaannya terhadap sinema, dan untuk pertama kalinya setelah hampir 50 tahun berkarir, diwujudkan dalam bentuk film untuk segala umur! Tidak tanggung-tanggung, Hugo hadir dalam versi 3D! Selalu ada pertama kali bagi setiap orang. Keputusan Scorsese untuk menjajal ranah baru tentu bukannya tanpa alasan atau sekadar mengikuti tren belaka. Dengan membesut film keluarga, tentu pasarnya akan lebih luas sehingga pesan yang ingin disebarkan dapat diterima oleh banyak orang dari setiap lapisan usia. Pemakaian 3D pun bukan hanya sekadar gimmick, melainkan dibutuhkan untuk membuat Hugo terasa lebih emosional, lebih nyata, dan dekat dengan hati. Simak saja opening scene-nya yang luar biasa cantik. Sekalipun ini film debutnya dalam 3D, Scorsese telah terlihat seperti maestro. Dia memerlihatkan kepada dunia bagaimana seharusnya sebuah film 3D dibuat.

Naskah dari John Logan berpijak pada novel unik karangan Brian Selznick, The Invention of Hugo Cabret. Yang perlu dicatat, petualangan yang diusung oleh Hugo ini tidak sedikitpun mendekati Harry Potter, justru lebih mirip dengan Oliver Twist. Maka mengharapkan Hugo Cabret berpetualang di dunia fantasi hanya akan membuat Anda mendengus kecewa. Alurnya cenderung realistis. Bisa dikatakan, Hugo adalah cerminan hidup dari sang pembesutnya, dan bisa jadi Anda. Bukan mengenai kehidupan sebagai bocah yatim tunawisma, melainkan bagaimana sihir dari sinema mengubah jalan hidup seseorang. Hugo Cabret (Asa Butterfield) tidak memiliki siapapun dalam hidupnya. Ayahnya (Jude Law) tewas dalam sebuah kebakaran di museum saat sedang bekerja. Setelah sang ayah tiada, Hugo diasuh oleh pamannya yang pemabuk, Claude (Ray Winstone). Dia dipaksa tinggal di stasiun, lebih tepatnya diantara dinding-dinding stasiun, dan membantu Claude merawat jam-jam yang berada di stasiun Gare Montparnasse, Paris, Prancis. Belum reda duka Hugo atas kepergian sang ayah, Claude pun pergi tak tahu rimbanya. Jadilah Hugo yang kini bertanggung jawab atas jalannya jarum-jarum jam secara teratur.

Hidup seorang diri di sebuah stasiun yang besar tentu bukanlah perkara mudah. Untuk menyambung hidup, Hugo menjadi pencuri. Inspektur Gustave (Sascha Baron Cohen) menjadi musuh bebuyutannya. Bagaikan Tom dalam Tom & Jerry, Gustave seakan tak pernah mengenal kata menyerah untuk menangkap Hugo dan mengirimkannya ke panti asuhan seperti yang telah dia lakukan kepada anak jalanan sebelumnya. Selain Gustave, Hugo pun harus berhadapan dengan pemilik toko mainan yang sinis (Ben Kingsley) yang mengambil paksa buku catatan miliknya. Demi mendapatkannya kembali, si bocah gelandangan ini meminta bantuan kepada Isabelle (Chloe Grace Moretz). Isabelle menyanggupi, dengan satu syarat, dia ingin Hugo mengajaknya bertualang. Petualangan inilah yang dinanti-nanti oleh para pecinta film. Martin Scorsese mengajak para penonton untuk memelajari sejarah sinema awal. Ayah Hugo dikisahkan pernah terkesima dengan sebuah film berjudul Voyage to the Moon buatan George Méliès. Sutradara asal Prancis ini merupakan salah satu pionir lahirnya sinema. Voyage to the Moon menjadi karyanya yang paling terkenal dan merupakan film fiksi ilmiah pertama yang dibuat. Karakter Méliès ini memegang peranan yang sangat penting dalam Hugo.

Tujuan utama dari Hugo Cabret adalah menemukan satu komponen yang hilang dari automaton, robot berbentuk manusia yang menjadi proyek ambisius sang ayah. Apabila Hugo mampu mendapatkannya, maka sebuah tabir misteri terungkap. Untuk ukuran film keluarga, sayangnya, Hugo masih terbilang cukup berat untuk dinikmati bagi anak-anak sekalipun Scorsese sangat terampil dalam menyatukan nuansa drama yang menyentuh, romansa yang syahdu, komedi yang menggelitik, dan sedikit aksi dengan dukung efek khusus yang memesona. Paruh awalnya terasa kurang menggigit, namun memasuki babak petualangan Hugo dan Isabelle, plot mulai terasa cihuy. Yang menjadikan Hugo menarik adalah ketepatan dalam memasukkan serangkaian kejadian bersejarah ke dalam sebuah kisah fiksi. Perkenalan dengan George Méliès adalah bagian terbaik dari film ini. Awalnya, beliau adalah seorang pesulap dan pembuat mainan. Tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Lumiere bersaudara dalam Arrival of a Train at La Ciotat, Méliès banting setir menjadi sineas. Jatuh bangun dari sang pionir digambarkan cukup akurat oleh Scorsese, termasuk dengan memasukkan potongan-potongan film buatan Méliès. Sebuah suguhan yang menakjubkan dari sutradara peraih Oscar melalui The Departed ini. Hugo menunjukkan bagaimana indahnya sebuah film tatkala dikerjakan dengan segenap rasa cinta. Bersanding dengan The Artist yang tidak kalah cantiknya, Hugo adalah sebuah pilihan yang tepat bagi Anda yang ingin merayakan sinema.

Outstanding

2 comments:

  1. huaaa pas banget baru kemaren nonton. Memang bagus filmnya. Dan memang Hugo ini termasuk buku/film yang menurutku bukan untuk konsumsi anak-anak. :)
    Jadi pengen baca bukunya... :D
    Oh btw, suka banget sama Asa, pertama lihat di The Boy in the Striped Pajamas udah sukaa. :D


    PS: bertualang, Bang Taris, bukan berpetualang. *dikeplak* :P

    ReplyDelete
  2. Wah, film ini banyak dapet review bagus ya...

    Lawan kata-nya John Carter nich ya...?

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch