December 31, 2011

REVIEW : SHERLOCK HOLMES: A GAME OF SHADOWS


"Slow and steady wins the race." - Sherlock Holmes

Guy Ritchie mengakhiri Sherlock Holmes dengan sebuah adegan yang membuat para penggemar tidak sabar untuk menantikan kelanjutannya, Irene Adler (Rachel McAdams) rupanya bekerja untuk Professor Moriarty. Tak ada penampakan wajah dari sang professor, hanya suaranya saja. Berbagai spekulasi mengenai siapa yang akan memerankan musuh abadi Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.) pun bermunculan. Yang paling santer terdengar adalah Brad Pitt. Pasangan dari Angelina Jolie ini merupakan salah satu yang paling vokal mengenai ketertarikannya untuk terlibat dalam proyek sekuel dari Sherlock Holmes, apalagi bintang Troy ini pernah bekerjasama dengan Ritchie di Snatch. Sang sutradara enggan untuk memberikan banyak komentar mengenai kepastian apakah Pitt adalah Professor Moriarty. Dan, ketika akhirnya Jared Harris terpilih, banyak pihak yang merasa kecewa karena kadung mengharapkan Brad Pitt. Namun saya pribadi tidak mempermasalahkan hal ini, selama sang aktor bisa bermain bagus, kenapa tidak? Harris pun pada akhirnya mampu membuktikan bahwa dia layak memerankan Professor Moriarty dalam Sherlock Holmes: A Game of Shadows. Jika pada akhirnya terasa kurang greget, maka naskah buatan Kieran Mulroney dan Michele Mulroney dianggap yang paling bertanggung jawab.

Bagi yang mengharapkan Sherlock Holmes: A Game of Shadows sebagai sebuah film yang sarat dengan aksi, Guy Ritchie akan memuaskan Anda dengan berbagai adegan aksi yang ditampilkan dengan elegan, bergaya, dan tentunya Ritchie banget. Tapi akan sangat mengecewakan bagi siapapun yang berharap jilid kedua ini akan menjadi lebih kelam, lebih banyak misteri, dan lebih mencekam, dengan kehadiran Professor Moriarty (Jared Harris). A Game of Shadows sebenarnya memiliki premis yang menarik lantaran jalan ceritanya terinspirasi dari cerpen karya Arthur Conan Doyle yang berjudul The Final Problem, akan tetapi kenyataan yang terjadi ternyata tak berbanding lurus, setidaknya bagi saya. Misteri yang ditawarkan kurang menarik karena sejak awal penonton telah mengetahui siapa yang menjadi dalang di balik semua kejadian. Dengan dibongkarnya identitas pelaku sejak dini, maka tumpuan satu-satunya untuk menjadikan film ini menarik adalah cat-and-mouse chase antara Holmes dan Moriarty yang sayangnya tidak diberi porsi yang cukup oleh tim penulis skenario dan Ritchie. Mereka justru lebih asyik menyoroti fluktuasi hubungan antara Holmes dengan Dr. John Watson (Jude Law) yang kian lama menjadi kian mirip pasangan ketimbang sahabat. Mencoba untuk menyaingi pasangan Brokeback, eh?


Sherlock Holmes khawatir, pernikahan Watson dengan Mary Morstan (Kelly Reilly) akan membuat sang BFF (Best Friend Forever-Red) meninggalkannya sendiri dalam memecahkan berbagai kasus. Dan ya, Watson memang memiliki rencana seperti itu. Akan tetapi Watson mengurungkan niatnya setelah dia dan sang mempelai perempuan turut menjadi target pembunuhan dari Professor Moriarty. Mau tak mau, mereka berdua pun ikut serta membantu Holmes untuk menggagalkan rencana sang professor yang berniat menciptakan krisis di industri senjata Eropa yang memungkinkan terciptanya perang dalam skala besar. Dalam kasus teranyarnya ini, duo paling keren dalam sejarah karya sastra detektif ini tidak berjuang sendirian. Mereka mendapatkan bantuan penuh dari kakak Sherlock, Mycroft Holmes (Stephen Fry), serta Simza (Noomi Rapace), wanita gypsy yang saudaranya disinyalir memiliki hubungan dengan komplotan yang dibentuk oleh Moriarty. Sepanjang 128 menit, penonton diajak untuk mengikuti petualangan konyol dari Holmes, Watson, dan Simza. Saya sebut konyol lantaran Holmes versi Ritchie ini digambarkan seperti telah hilang kewarasannya, menjadi kian eksentrik, dan berlebihan. A Game of Shadows pun menjelma menjadi sebuah perjalanan panjang yang melelahkan.

Pun begitu, A Game of Shadows masih memiliki sejumlah amunisi yang membuat saya rela untuk tetap duduk manis hingga film berakhir. Slow motion sequences yang menjadi ciri khas dari film pertama, kembali dihadirkan dengan frekuensi kemunculan yang lebih banyak. Beberapa terkesan sebagai sempilan semata, tapi adegan kejar-kejaran di hutan Jerman berhasil divisualisasikan dengan cantik. Gabungan antara efek khusus, sinematografi serta editing yang cantik, membuat adegan ini sulit untuk dilupakan begitu saja. Di luar sektor teknis yang memang menjadi andalan dwilogi ini, departemen akting pun turut berjasa dalam menyelamatkan A Game of Shadows. Robert Downey Jr. dan Jude Law yang telah melebur dengan karakter masing-masing mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam urusan membangun chemistry, sementara Stephen Fry nampak santai membawakan perannya. Jared Harris tak mengecewakan, hanya saja tim penulis naskah tidak memberinya ruang lebih untuk mengeksplor karakter salah satu penjahat paling berbahaya ini. Rachel McAdams yang menggoda hanya tampil selewat saja dan selebihnya diserahkan kepada Noomi Rapace yang kehadirannya tak lebih dari sekadar tempelan semata. Nampaknya, usaha untuk tampil bermewah-mewahan dengan memperbanyak sajian laga berbuntut pada pengorbanan terhadap sektor naskah. Misteri tak menarik, karakterisasi beberapa karakter terasa dangkal, dan jalan cerita pun monoton.

Acceptable

December 26, 2011

REVIEW : MISSION: IMPOSSIBLE - GHOST PROTOCOL


Mission: Impossible jilid 4? Melihat seorang Tom Cruise yang tahun depan berusia kepala 5 adu jotos dengan sekumpulan penjahat tengik dan bergelantungan di gedung pencakar langit? Hmmm.. setidaknya masih lebih bisa diterima ketimbang menyaksikan opa Harrison Ford beraksi kembali sebagai Indiana Jones tempo hari. Dengan sambutan hangat yang diterima Mission: Impossible III dari kritikus maupun penonton, maka sekuel dirasa perlu untuk dibuat. Saya mafhum, selama tim memiliki bekal yang cukup untuk meneruskan misi tak masuk akal dari Ethan Hunt (Tom Cruise). Beruntung, Cruise memiliki alasan yang kuat karena berhasil menemukan sutradara, naskah, dan tim produksi yang solid. Mission: Impossible – Ghost Protocol berhasil menyajikan sebuah hiburan kelas atas yang menyenangkan. Berdiri tegap di atas dua prekuelnya, hanya sedikit di bawah film pertama yang cerdas itu. Di bawah penanganan Brad Bird, sutradara film animasi terpuji; Iron Giant, The Incredibles, dan Ratatouille, seri Mission: Impossible kembali cemerlang setelah sebelumnya sedikit ternoda saat John Woo dan J.J. Abrams agak sedikit berlebihan memerlakukan instalmen ini.

Brad Bird nyaris tidak memberikan kesempatan bagi penonton untuk menghela nafas lega selama 132 menit. Sajian aksi yang memacu adrenalin ditimpangi dengan intrik spionase yang memikat dan humor yang renyah, saya dipaksa untuk tetap bertahan di kursi bioskop seraya menikmati popcorn asin yang gurih serta Cola yang menyegarkan. Nikmat tiada duanya. Sejak menit pertama, Mission: Impossible – Ghost Protocol digeber dengan serangkaian adegan yang mengasyikkan plus mengundang penasaran. Di Budapest, seorang agen IMF bernama Trevor Hanaway (Josh Holloway) diketahui telah dibunuh oleh pembunuh bayaran yang dingin, Sabine Moreau (Lea Seydoux). Belum sempat saya mencerna apa yang sesungguhnya terjadi, dengan sigap adegan melompat jauh ke Moscow, ke sebuah penjara dimana kita bertemu dengan Ethan Hunt. Apa yang telah dia lakukan sehingga mendekam di penjara Russia yang dingin? Anda harus mencari tahu sendiri. Sedikit petunjuk, ini masih memiliki keterkaitan dengan film sebelumnya. Misi penyelamatan Hunt dilakukan oleh Jane Carter (Paula Patton) dan Benji Dunn (Simon Pegg). IMF (Impossible Mission Forces) memerintahkan ketiga agen ini untuk menemukan seorang teroris asal Rusia, Kurt Hendricks (Michael Nyqvist), yang berencana mewujudkan perang nuklir.


Belum sempat Hendricks ditemukan, tim IMF pimpinan Hunt difitnah yang berujung pada munculnya Ghost Protocol, keberadaan IMF beserta seluruh operasinya disangkal oleh pemerintah Amerika Serikat. Namun Ethan Hunt tidak menyerah begitu saja. Dengan bantuan dari seorang analis intelijen, William Brandt (Jeremy Renner), Hunt memburu Hendricks hingga ke belahan dunia lainnya, dari Dubai hingga Mumbai. Dan kita pun patut bersyukur atas kemajuan teknologi serta berterima kasih kepada Brad Bird yang bersikeras untuk mengambil gambar dengan IMAX untuk adegan-adegan tertentu alih-alih kamera 3D. Adegan yang memperlihatkan Ethan Hunt ‘memanjat’ Burj Khalifa dan bergelantungan di ketinggian ratusan meter dari permukaan tanah, berhasil terekam dengan sangat apik dan sesuatu banget. Mengetahui fakta bahwa Tom Cruise melakukan sendiri adegan ini membuatnya terasa lebih spesial. Saya memang menyaksikan film ini di layar bioskop biasa, akan tetapi efek yang dihasilkan dari adegan Burj Khalifa ini sungguh terasa. Berulang kali ratusan penonton lain berteriak miris, dan saya yang memiliki Aeroacrophobia (takut akan tempat tinggi terbuka) sukses mengucurkan keringat dingin. Robert Elswit, sang sinematografer, mampu memunculkan serangan vertigo ringan kepada penonton.

Sekali ini, Mission: Impossible – Ghost Protocol mempunyai tim yang mengagumkan, baik on screen maupun off screen. Betapa beruntungnya Tom Cruise mempunyai rekan-rekan yang hebat; Jeremy Renner yang cerdas, Paula Patton yang cantik namun berbahaya, serta Simon Pegg yang tidak pernah gagal membuat saya tertawa. Chemistry yang terjalin diantara para personil terasa padu, hangat, dan mengasyikkan. Seandainya instalmen ini dilanjutkan, semoga mereka berempat plus Ving Rhames kembali bersatu. Tentu saja dengan penggalian karakter yang lebih dalam. Karena ini adalah film tentang kembalinya Ethan Hunt ke dunia spionase, maka Andre Nemec dan Josh Appelbaum tidak memberikan porsi yang memadai bagi berkembangnya karakter lain. William Brandt mendapatkan porsi minim yang efektif, sementara Jane Carter dan Benji Dunn sedikit terlupakan. Padahal akan sangat menarik jika mengetahui latar belakang dua karakter seru ini secara lebih mendalam. Ah, agaknya saya terlalu rakus dengan mengharapkan kesempurnaan dari berbagai lini untuk film ini. Bagaimanapun, Mission: Impossible – Ghost Protocol telah berhasil menjalankan misinya untuk menghibur penonton dengan amat baik. Cepat, cerdas, seru, penuh intrik, ledakan disana-sini, lucu, menegangkan, dan keren. Sebuah paket komplit yang secara mengejutkan datang dari sebuah film yang pada awalnya dianggap tidak perlu keberadaannya.

Exceeds Expectations

December 24, 2011

REVIEW : GARUDA DI DADAKU 2


"Kita jatuh bukan karena batu besar, tapi karena kerikil!" - Wisnu

Sepakbola merupakan olahraga yang sangat populer di Indonesia. Anehnya, hanya segelintir sineas di Indonesia yang berani membesut film yang bersentuhan olahraga ini bahkan ketika film buatan Ifa Isfansyah, Garuda di Dadaku, secara mengejutk
an berhasil menorehkan angka di atas 1,4 juta penonton pada tahun 2009 silam sekalipun. Kebanyakan cenderung memilih untuk menelurkan karya-karya yang aman, dalam artian proses produksinya mudah, murah, dan cepat. Tidak mengherankan jika perfilman lokal didominasi oleh film yang bertema seragam. Hasrat para pecinta olahraga untuk menyaksikan olahraga favoritnya diwujudkan ke dalam bentuk film layar lebar pun tak tersalurkan. Beruntung masih ada beberapa pekerja film yang cermat melihat peluang. Rudi Soedjarwo dan Hanung Bramantyo yang disebut-sebut sebagai salah satu sineas terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, bersaing di tahun 2011 ini dalam menghasilkan sebuah film tentang sepakbola. Jika Hanung Bramantyo memulainya dari awal, maka Rudi Soedjarwo menerima tongkat estafet dari Ifa Isfansyah untuk melanjutkan kisah Bayu (Emir Mahira) dalam Garuda di Dadaku 2. Naskah masih tetap ditangani oleh Salman Aristo yang baru-baru ini menggarap naskah Sang Penari.

Impian Bayu untuk menjadi bagian dari timnas sepakbola Indonesia U-13 berhasil terwujud. Tidak tanggung-tanggung, dia turut diangkat menjadi kapten tim karena dinilai memiliki kemampuan bermain yang handal. Tentu saja Salman Aristo tidak akan selamanya membiarkan Bayu untuk bersuka cita. Proses pendewasaan diri Bayu menjadi konflik utama yang disuguhkan dalam Garuda di Dadaku 2. Berbagai cobaan mendera Bayu dari segala arah, seakan tak mengenal ampun. Tim yang dipimpinnya berulang kali menghadapi kegagalan yang berakibat pada dipecatnya sang pelatih, Harri Dotto (Dorman Boerisman). Penggantinya adalah seorang pelatih muda yang sangat disiplin, ambisius dan keras, Wisnu (Rio Dewanto) yang cara melatihnya membuat Bayu merasa tidak nyaman. Wisnu pun mendatangkan seorang pemain berbakat dari Makassar, Yusuf (Muhammad Ali), yang dalam waktu singkat mencuri perhatian banyak pihak, termasuk sahabat Bayu, Heri (Aldo Tansani), yang semakin lama semakin akrab dengan Yusuf. Ketika lapangan tidak lagi menyenangkan bagi Bayu, rumah pun turut berasa seperti neraka terlebih dengan hadirnya Rudi (Rendi Krisna) yang merenggangkan hubungan Bayu dengan sang ibu, Wahyuni (Maudy Koesnadi). Di sekolah, permasalahan datang dari ketua kelompok belajarnya, Anya (Monica Sayangbati), yang ‘meneror’ Bayu dengan deadline tugas dan tidak mau tahu posisi Bayu sebagai kapten timnas.


Garuda di Dadaku 2 dihadirkan dalam alur dan stuktur cerita yang padat, dialog yang bernas, serta penggarapan dari Rudi Soedjarwo yang tidak kalah menarik dari Ifa Isfansyah. Salman Aristo memasukkan sindiran-sindiran halus kepada pemerintah, dan tak lupa menjumput beberapa referensi dari apa yang tengah hangat di dunia sepakbola Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, semisal kisruh kongres PSSI, pelatih timnas yang diberhentikan secara tidak hormat, hingga atlit sepakbola yang menjadi artis infotainment. Politisasi Sepakbola yang disuntikkan ke dalam film bisa jadi akan sulit dicerna bagi penonton cilik, namun ini menjadi hiburan tersendiri bagi penonton yang akrab dengan dunia sepakbola lokal. Jika dalam prekuelnya penonton melihat bagaimana perjuangan Bayu demi menggapai impiannya, maka disini penonton melihat upaya Bayu menyikapi berbagai macam problematika kehidupan sebagai bagian dari proses pendewasaan diri. Rudi Soedjarwo dan Salman Aristo memutar balik apa yang terjadi di film sebelumnya, sehingga formula ‘hero to zero’ diterapkan disini. Bayu dituntut untuk bersikap dewasa dan membuang sikap egois yang menghinggapinya dalam menghadapi setiap rintangan yang ada.

Ada konsekuensi yang harus diterima ketika tim memutuskan untuk menumpuk sejumlah konflik agar film menjadi padat. Terlalu banyaknya lapisan konflik justru membuat Rudi Soedjarwo kebingungan dalam menentukan prioritas. Penggaliannya terasa kurang dalam dan tidak ada dinamika pada hubungan antar karakter. Setiap karakter yang memiliki koneksi dengan Bayu ditampilkan selewat saja, tak berkesan. Bromance antara Bayu, Heri, dan Yusuf, bagi saya, ditampilkan agak berlebihan karena terkesan terlalu cengeng. Malah menggelikan. Namun yang paling saya sesalkan, pertandingan sepakbola yang seharusnya menjadi momen penting, tidak begitu ditonjolkan. Gegap gempita dalam Tendangan Dari Langit, tidak saya temukan disini. Beruntung, Rudi Soedjarwo memiliki tim yang solid di sisi teknis dan akting. Garuda di Dadaku 2 terbantu editing yang dinamis, pengambilan gambar yang indah dan kekuatan akting setiap pemainnya. Emir Mahira sanggup menampilkan emosi yang dibutuhkan dengan pas, luwes dan believable, sementara Rio Dewanto membuktikan kepada khalayak ramai bahwa dia adalah aktor yang patut diperhitungkan. Masih segar di ingatan bagaimana Rio Dewanto tampil begitu kemayu di Arisan! 2 dan sekarang dia menjelma menjadi pelatih yang macho, tegas dan berwibawa. Kelemahan memang masih ditemukan disana sini, itu sangat manusiawi. Sekalipun tak bisa menyaingi jilid pertamanya yang sedemikian renyah, Garuda di Dadaku 2 menutup tahun 2011 ini dengan indah. Saya masih percaya, masa depan cerah menanti perfilman Indonesia.

Acceptable

December 16, 2011

REVIEW : SUNNY


"Teman ada saat masa-masa sulit." - Lim Na-Mi

Film mengenai persahabatan sejumlah gadis ABG sudah jamak dibuat. Dari Indonesia, Ada Apa Dengan Cinta? adalah yang paling populer, menjadi salah satu tonggak kebangkitan perfilman nasional. Baru-baru ini pun kita disodori sebuah film persahabatan dari Thailand yang mendapatkan sambutan hangat pula di Indonesia, Crazy Little Thing Called Love. Ada sebuah benang merah yang bisa ditarik dari kedua film tersebut. Sama-sama menyoal romansa yang memorak morandakan persahabatan. Sebuah plot yang sesungguhnya telah basi tanpa sesuatu yang baru, berulang kali mengalami bongkar pasang dengan sedikit modifikasi disana-sini namun uniknya tidak pernah membosankan untuk disimak. Jika diteliti lebih dekat, sesungguhnya Ada Apa Dengan Cinta? dan Crazy Little Thing Called Love saling bertolak belakang. Film yang satu tentang cewek cantik dari geng populer yang jatuh cinta pada cowok kutu buku, maka yang satu tentang cewek culun yang kesengsem dengan cowok tampan populer. Korea Selatan yang tanpa henti menghasilkan film bermutu dan diprediksi mampu menjelma sebagai pusat perfilman Asia, tak mau kalah. Kang Hyung-chul, pembesut film komedi seru yang laris, Scandal Makers, melahirkan Sunny sebagai tandingan. Secara tema, Sunny tak berbeda jauh dengan dua film di atas. Maka, dimana posisi Sunny diantara Ada Apa Dengan Cinta? dan Crazy Little Thing Called Love?

Sunny tak membicarakan cinta dengan ceriwis layaknya para pendahulu. Dari segi penuturan, Sunny mengingatkan pada Now and Then-nya Demi Moore dengan memakai alur maju mundur yang mencampur begitu saja masa lalu dan masa kini. Kang Hyung-chul tidak pernah memberikan detail yang banyak untuk menggambarkan setting. Petunjuk yang diberikan kepada penonton hanya berupa lagu yang sering diperdengarkan di sejumlah adegan. Saat seorang penyiar radio sekolah menyebut tembang milik Cyndi Lauper, “Girls Just Want to Have Fun” sebagai lagu paling populer kala itu, penonton tentu sudah bisa menebak Sunny mengambil setting di tahun berapa. Film dibuka dengan pertemuan tidak sengaja dari dua sahabat lama, Lim Na-Mi (Yoo Ho-Jeong) dan Ha Chun-Hwa (Jin Hee-Kyung) di sebuah rumah sakit setelah 25 tahun lamanya berpisah. Ha Chun-Hwa mengidap kanker dan usianya diperkirakan tidak melebihi dua bulan. Satu keinginan terakhir yang dititipkan Chun-Hwa kepada Na-Mi sebelum dia tutup usia adalah bertemu dengan anggota “Sunny”, geng yang dipimpinnya kala SMA. Sepanjang kurang lebih 124 menit, penonton diajak untuk mengikuti petualangan Na-Mi dalam mencari anggota Sunny yang lain. Di sela-sela pencarian, masa lalu Sunny diungkap. Na-Mi remaja (Shim Eun-Kyung) adalah siswi pindahan dari sebuah kota kecil di Korea Selatan. Dengan kepribadiannya yang menyenangkan, tidak sulit bagi Na-Mi untuk segera berbaur dengan siswi-siswi lain.


Sekalipun memiliki gaya bertutur yang nyaris serupa dengan Now and Then, kedua film ini jauh berbeda. Now and Then cenderung optimis dalam memandang kehidupan, dibuktikan dengan masa dewasa dari setiap tokoh yang digambarkan mampu menggapai apa yang disebut sebagai American Dreams. Sunny mencoba untuk realistis, yang berarti berjalan suram dan kemungkinan besar akan berjalan tidak sesuai dengan harapan mayoritas penonton. Konflik yang dihadapi oleh Chun-Hwa remaja (Kang So-Ra) pun jauh lebih berat ketimbang Samantha Albertson (Gaby Hoffman). Jika Now and Then adalah versi perempuan dari Stand by Me, maka Sunny adalah versi perempuan dari Friend. Para anggota Sunny tidak dihadapkan pada permasalahan seputar menstruasi, cinta pertama, urban legend, atau payudara yang membesar, tetapi kenakalan remaja. Mereka tidak segan-segan melakukan tawuran dengan geng cewek lain. Ujian persahabatan yang disodorkan oleh Kang Hyung-Chul tidak bersinggungan dengan masalah asmara, melainkan bagaimana mereka menyikapi persoalan internal karena kesalahpahaman atau ketika pihak luar mengintervensi. Romantisme hanya dijadikan sebagai bumbu penyedap saja. Ancaman sesungguhnya bagi Sunny adalah Sang-Mi (Cheon Woo-Hee), teman sekelas mereka yang bermasalah. Rupanya Sang-Mi pernah memiliki masa lalu yang suram dengan Ha Chun-Hwa.

Sunny adalah tipikal film drama Korea kebanyakan yang memulai kisahnya dengan penuh keceriaan, namun seiring berjalannya film menjadi kian suram dan mengharu biru. Tapi, Sunny tidak sesederhana itu. Humornya renyah dan berkelas, tidak jarang pula menjadikan budaya populer Korea sebagai referensi. Konflik yang dihadirkan mengena, menyentuh dan sanggup mengaduk-aduk emosi. Sunny tidak hanya sekadar membawa kita untuk tertawa, tersentuh, dan menangis, tetapi juga menghendaki setiap penontonnya untuk berkontemplasi setelah menyaksikannya. Sesuatu yang jarang ditemukan dalam sebuah film remaja. Seperti sebuah ungkapan, “manusia boleh berencana tapi Tuhan yang menentukan.” Mungkin itu yang ingin disampaikan oleh Kang Hyung-Chul melalui film yang terinspirasi dari masa remaja sang ibunda ini. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, 1 minggu kemudian, apalagi 25 tahun kemudian. Adegan yang memerlihatkan Na-Mi dewasa sedang menonton sebuah video yang dibuat ketika dia masih SMA adalah momen paling menyentuh sekaligus menyakitkan dari film ini. Impian gagal terwujud. Prestasi akademik tidak selamanya menjadi penentu kesuksesan di masa mendatang. Na-Mi, Chun-Hwa, dan Jin-Hee (Hong Jin-Hee) membuktikan bahwa kesuksesan seseorang lebih ditentukan pada nasib baik, keberuntungan, dan kerja keras. Saya jadi teringat ketika berkumpul bersama teman-teman seperjuangan di sebuah organisasi kampus. Salah satu dari kami nyeletuk, “seperti apa ya kita di 10 tahun mendatang?”. Only God knows what will happen to us.

Exceeds Expectations

December 4, 2011

REVIEW : ARISAN! 2


"Teman datang dan pergi. Tapi sahabat sejati, selalu di hati." - Meimei

Saat seseorang menyebut arisan, pikiran kita secara otomatis melanglang buana kepada sejumlah ibu-ibu yang tengah asyik ngerumpi, membicarakan semua hal dengan ceriwis, sok tahu, sinis dan tak jarang, pedas. Arisan merupakan salah satu acara yang paling saya sukai, selain resepsi pernikahan. Bukan arisan ibu-ibu tentu saja, tetapi arisan keluarga. Bertemu sanak saudara, saling melepas rindu, curhat, dan bercanda ria, mampu menghilangkan kepenatan hidup yang seakan tiada habisnya menerjang. Di era dimana nyaris tiada lagi ruang pribadi, arisan telah berkembang menjadi berbagai macam bentuk. Bagi sosialita di Jakarta, arisan mampu bernilai miliaran rupiah hingga tidak terhingga nilainya. Arisan bukanlah merupakan sebuah kebutuhan, melainkan hanya untuk menguatkan eksistensi mereka. Inilah yang mencoba untuk dikulik oleh Nia Dinata melalui Arisan!, delapan tahun silam. Bersama dengan Joko Anwar, Nia Dinata membongkar sisi kelam dari ibukota melalui sudut pandang lain. Bukan mengintip kehidupan masyarakat kelas sosial bawah yang berjuang menggapai impian, tetapi masyarakat kelas atas yang glamor dan bergelimangan harta yang hidup dalam kepalsuan.

Kepalsuan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan para sosialita di ibu kota, setidaknya itu menurut Nia Dinata melalui Arisan! 2. Tidak ada yang alami dalam kehidupan mereka, baik itu wajah, ciuman hingga persahabatan. Semuanya palsu, fake. Menarik rasanya melongok kehidupan lima sahabat dari Arisan! menjalani kehidupan sebagai sosialita setelah delapan tahun. Lita (Rachel Maryam) yang menjadi seorang ibu tunggal memutuskan untuk terjun ke ranah politik, Andien (Aida Nurmala) menjanda setelah kematian suaminya dan mencari ‘mangsa’ untuk dinikmati setiap malam, Nino (Surya Saputra) dan Sakti (Tora Sudiro) telah berpisah, sementara Meimei (Cut Mini) menyepi ke Lombok. Dalam Arisan! 2, storyline dari Andien dan Lita tidak dijadikan sebagai prioritas utama, malah terasa hanya sekadar sempilan belaka demi memberi ruang lebih kepada Meimei, Nino, dan Sakti. Problematika yang dihadapi oleh Meimei merupakan pokok permasalahan dari Arisan! 2. Sebuah rahasia disimpan rapat oleh Meimei kepada keempat sahabatnya. Kepergiannya ke Lombok bukan hanya untuk menikmati hidup, namun lebih dari itu.


Dipenuhi dengan dialog-dialog cerdas berisi nan menohok, akting yang memukau dan bahasa gambar yang terangkai dengan indah, Arisan! 2 adalah sebuah film yang menyenangkan untuk ditonton. Kepalsuan ibukota dipaparkan secara gamblang disini. Hanya saja sepeninggal Joko Anwar, Arisan! 2 terasa kurang nyinyir dan sinis dalam urusan mengkritisi kehidupan masyarakat perkotaan zaman sekarang. Pun begitu, naskah olahan Nia Dinata tetap menohok. Beberapa kali saya merasa tertampar dengan dialog-dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokoh rekaannya. Sisi kelam Jakarta (atau bahkan malah Indonesia?) dari berbagai tingkatan sosial dan usia diungkap satu persatu dengan gaya yang manis, tanpa adanya kesan menceramahi. Gorengan yang dicampur dengan plastik, suntik botox, kepo, hingga generasi eksis yang merasa perlu apapun dipamerkan melalui situs jejaring sosial. Kekasih Nino yang kemayu, Okta (Rio Dewanto), merupakan perwakilan dari generasi eksis. Citra cowok macho yang melekat pada Rio Dewanto berhasil dilepaskan demi menghidupkan karakter Okta yang kemayu, manja dan menyebalkan. Berulang kali Rio Dewanto berhasil memancing tawa penonton, terlebih karakternya mengingatkan perilaku anak muda zaman sekarang. Setiap momen indah diabadikan, lalu dipamerkan melalui jejaring sosial. Seakan dunia perlu tahu apa yang sedang dia lakukan.

Jika ada yang menyebut Arisan! 2 sebagai versi Indonesia dari Sex and the City 2, maka itu sangat bisa dimaklumi. Pameran busana yang glamor, mewah, dan penuh warna tersebar di sepanjang film. Nia Dinata pun tidak memberikan asupan konflik yang mencukupi. Konflik yang dihadapi oleh Meimei dan keempat sahabatnya dihadirkan dengan sangat ringan, kelewat ringan malah. Bahkan untuk sekali ini, Nia Dinata lebih senang mengajak grup rumpi ini jalan-jalan ketimbang asyik bergosip dalam arisan. Ya, sekalipun masih memakai judul Arisan!, kegiatan arisan sedikit sekali dimunculkan. Nyaris tidak ada. Beruntung Nia Dinata tidak melakukan blunder yang sama dengan Michael Patrick King yang justru mengeksploitasi sekumpulan wanita tidak sadar umur dalam perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Para pemain tetap solid. Mereka telah melebur dengan karakter masing-masing. Tujuan ke Gili Trawangan pun didasari motif yang kuat. Sekalipun Nia Dinata kurang berhasil untuk mengoneksikan penonton dengan perjalanan spiritual Meimei secara emosional yang seharusnya menjadi poin penting dari Arisan! 2, Nia Dinata mampu menyuguhkan sebuah tontonan yang menghibur. Agaknya Nia Dinata hanya ingin mengajak kita bersenang-senang tanpa perlu memikirkan jalan cerita yang berat dan berfilosofis.

Exceeds Expectations

December 3, 2011

REVIEW : POCONGGG JUGA POCONG


"Cinta itu seperti kentut. Ditahan sakit, dikeluarin malu." - Dimas

Mengapa industri perfilman Indonesia memiliki obsesi yang berlebihan terhadap makhluk bernama pocong? Entah sudah berapa ratus judul film tentang pocong yang telah dibuat di Indonesia. Baik itu yang digarap dengan serius, biasa-biasa saja hingga semrawut tidak karuan. Bagi pelaku perfilman di Indonesia, pocong merupakan komoditas panas yang sangat dipuja karena mampu mempertebal isi dompet. Seandainya saja pocong bisa menuntut, maka ratusan orang akan digiring ke meja hijau. Eksploitasi terhadap pocong semakin lama semakin tidak bisa diterima. Makhluk ini telah kehilangan wibawanya di hadapan jutaan umat manusia. Bahkan, pocong pun sekarang merambah ke dunia maya dan dunia tulis menulis. Nah lho! Pocong atau @poconggg yang eksis di jagad jejaring sosial, sama sekali tidak menyeramkan. Cenderung konyol malah. Kicauannya diikuti jutaan pengguna Twitter. Pocong masa kini ini digandrungi remaja karena kicauannya yang lucu dan seringkali mewakili isi hati pengikutnya. Setelah sukses dengan akun jejaring sosial, @poconggg atau Arief Muhammad, menjajal dunia tulis menulis melalui sebuah novel berjudul Poconggg Juga Pocong, yang menjadi cikal bakal munculnya film berjudul sama. Jujur saja, saya tidak pernah tertarik untuk mengikuti kicauan dari @poconggg. Namun ketika novelnya dilempar ke pasaran, saya penasaran. Seperti apa sih isi novel paling fenomenal saat ini? Tidak perlu dibahas panjang lebar, yang pasti tidak menarik sama sekali. Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, garing dan jayus. Pun begitu, saya mengakui idenya lumayan kreatif.

Saat Maxima Pictures berniat untuk menuangkan tulisan Arief Muhammad ke dalam layar lebar, belum apa-apa saya sudah pusing. Terlebih Maxima menggandeng Chiska Doppert, anak emas dari Nayato Fio Nuala. Mereka memiliki jejak rekam yang kurang bagus di industri. Untuk urusan skenario, Maxima menyerahkannya kepada sang penulis novel, Arief Muhammad, dan dibantu oleh Haqi Ahmad, dengan harapan film tidak terlalu melenceng dari novel. Pertanyaan yang timbul sekarang, bagaimana Poconggg Juga Pocong diperlakukan oleh Chiska Doppert? Secara garis besar, Poconggg Juga Pocong bertutur mengenai kisah cinta dua anak muda yang tidak bisa bersatu lantaran berbeda dunia. Dunia dalam arti sesungguhnya. Dalam perjalanan pulang setelah menonton di bioskop, Dimas (Ajun Perwira) berniat untuk mengutarakan isi hatinya kepada Sheila (Saphira Indah). Sayangnya kedua belah pihak masih malu-malu untuk mengakui yang sebenarnya. Sebuah kesalahpahaman pun tercipta yang berujung kepada kecelakaan naas yang menewaskan Dimas. Di alam baka, Dimas berubah wujud menjadi pocong. Dia berkenalan dengan Kuntilanak Bondol (Nycta Gina) dan geng pocong keren pimpinan Anjaw (Rizky Mocil). Berpindah ke alam lain ternyata tidak menyurutkan cinta Dimas kepada Sheila. Dimas berniat untuk menyatakan cintanya. Ketika mengetahui Sheila didekati oleh Adit (Guntur Triyoga), Dimas galau setengah mati. Kunti yang selalu setia menemani Dimas dalam perjuangannya mendekati Sheila mencoba mengingatkan, bagaimanapun Dimas dan Sheila tidak akan pernah bisa bersatu karena alam mereka berdua sudah jauh berbeda. Satu-satunya cara untuk mendamaikan hati adalah dengan mengikhlaskan. Namun Dimas pantang mundur, sebelum dia bisa menyatakan cintanya kepada Sheila.

Mengadaptasi bukanlah perkara mudah. Ini bukan hanya mengenai memindahkan tulisan dari sumber asli ke bentuk baru secara utuh. Diperlukan pula sedikit bumbu disana sini dan penyesuaian dengan medium baru sehingga hasil akhir mampu diterima oleh masyarakat. Itulah mengapa film adaptasi dari karya sastra seringkali sedikit berbeda dengan sumber yang diadaptasi. Ketika dipaksakan untuk sesetia mungkin dengan sumber, maka yang terjadi adalah Poconggg Juga Pocong the Movie. Naskah yang diolah Arief Muhammad dan Haqi Ahmad nyaris tidak memiliki perbedaan dengan versi novel. Ini menjadi masalah lantaran versi novel tidak memiliki kronologi alur yang jelas dan seringkali melompat kesana kemari bak pocong kepanasan. Dan ini terjadi pula dalam film. Beberapa kali saya menemukan adegan yang tidak memiliki keterkaitan dengan adegan sebelum atau sesudahnya. Humornya pun masih tetap kriuk kriuk, garing bukan kepalang. Susah sekali untuk tertawa terbahak-bahak sepanjang 78 menit. Bukankah film komedi itu seharusnya mampu mengundang tawa renyah penonton? Jika gagal, siapa yang patut dipersalahkan? Sejumlah adegan yang difungsikan untuk memicu tawa, malah berakhir hambar dan tak membekas. Beruntung, tim memiliki Nycta Gina. Ketika Ajun Perwira dan Rizky Mocil membuat saya mengernyitkan dahi, Nycta Gina dengan luwes mencuri perhatian. Dia paham betul apa yang seharusnya dia lakukan.

Dunia absurd rekaan Arief Muhammad ini mampu diterjemahkan ke dalam bahasa visual dengan cantik oleh Chiska Doppert. Harus diakui sutradara yang sempat dikira sebagai alter ego dari Nayato Fio Nuala ini memang mengalami kemajuan yang cukup baik disini. Untuk sekali ini, Chiska Doppert beruntung ketiban naskah yang digarap cukup baik, sekalipun memiliki masalah dalam konjugasi. Ketika komedi yang diluncurkan ternyata gagal meledak dengan dahsyat, maka sisi romantis pun menjadi tumpuan harapan. Ajaibnya, Poconggg Juga Pocong malah lebih terasa sisi romantisnya ketimbang komedinya. Terima kasih kepada Ian Aprianto atas sinematografi indahnya. Momen-momen indah Dimas dengan Sheila berhasil terekam dengan baik, begitu pula ketika Dimas menyaksikan Sheila sedang asyik berduaan dengan Adit. Romantis, getir, tapi tetap konyol. Yang cukup disayangkan, Ajun Perwira gagal menghidupkan karakter Dimas baik ketika masih menjadi manusia maupun setelah bertransformasi menjadi pocong. Nyaris tidak ada emosi. Simpati penonton pun gagal tertanam kepada Dimas. Poconggg Juga Pocong juga tidak memberikan latar belakang yang jelas terhadap tokoh-tokoh inti, terutama Dimas. Kita hanya mengetahui sedikit biodatanya melalui batu nisan, sementara Sheila hanya diperlihatkan memiliki rumah yang megah. Pondasi naskah akan terasa lebih kokoh seandainya Chiska Doppert dan tim lebih memperhatikan hal ini. Sekalipun demikian, Poconggg Juga Pocong secara mengejutkan ternyata cukup menghibur bagi saya. Setidaknya bayang-bayang kelam terhadap Kambing Jantan the Movie seketika sirna. Komedinya memang kurang berhasil memancing tawa renyah, akan tetapi atmosfir romantis dapat diciptakan dengan baik.

Acceptable
Mobile Edition
By Blogger Touch