July 9, 2011

REVIEW : SURAT KECIL UNTUK TUHAN


Saat menonton sebuah film yang mengadaptasi dari sebuah novel yang sukses luar biasa, saya tidak pernah memberi ekspektasi yang tinggi. Bagaimanapun, novel dan film adalah dua media yang berbeda. Imajinasi yang kita bayangkan mungkin saja berbeda dengan imajinasi dari sutradara. Film adaptasi bisa dikatakan sukses saat film tersebut mampu menceritakan kembali isi dari novel dengan caranya sendiri tanpa menghilangkan esensi cerita karya yang diangkat. Yang sering salah kaprah adalah film adaptasi harus sama persis dengan karya yang diadaptasi. Ini susah. Ketika Habiburrahman El Shirazy memutuskan untuk membuat Dalam Mihrab Cinta menjadi semirip mungkin dengan novelnya yang terjadi kemudian justru sebuah bumerang. Film menjadi tidak enak untuk diikuti. Beberapa film hasil adaptasi karya sastra yang bisa dikategorikan terpuji dalam satu dekade terakhir hanya berkutat pada Gie, Laskar Pelangi, Mereka Bilang Saya Monyet, Eiffel I'm In Love, Badai Pasti Berlalu dan Ayat-Ayat Cinta. Sisanya, sangat mudah untuk dilupakan.

Surat Kecil Untuk Tuhan berangkat dari novel sukses berjudul sama karangan Agnes Davonar yang mengangkat kisah perjuangan seorang gadis berusia 13 tahun bernama Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam melawan kanker ganas yang menggerogoti tubuhnya. Sebuah kisah yang sangat inspiratif, mengingatkan saya pada perjuangan Aya dalam 1 Litre of Tears. Sama-sama gadis belia penuh semangat, sama-sama berjuang melawan penyakit langka, dan sama-sama menguras air mata. Artis pendatang baru, Dinda Hauw, bermain total dan cukup meyakinkan sebagai Keke. Dia bahkan merelakan rambut panjang indahnya untuk dibabat habis. Gadis cantik dengan akting yang mumpuni ini adalah satu-satunya yang menarik dari Surat Kecil Untuk Tuhan. Film drama ini gagal menghadirkan sebuah melodrama tearjerker yang terjalin apik. Naskahnya terlalu dangkal, konflik dihadirkan dengan hambar dan tak ada chemistry sama sekali diantara para pemain. Alex Komang yang berperan sebagai ayah dari Keke disia-siakan oleh naskah buatan Beby Hasibuan. Aktor berkualitas ini tak mampu membuat penonton bersimpati padanya, di beberapa adegan terkesan over acting.

Siapa nama sahabat-sahabat Keke? Bagaimana karakter mereka? Apa fungsi mereka? Sayangnya, Harris Nizam tidak memberikan jawaban atas segala pertanyaan ini kepada penonton. Sebuah kesalahan yang sangat fatal. Yang saya lihat di layar bioskop hanyalah sejumlah gadis SMP yang cengeng dan bikin ruang terlihat sesak. Saya tahu, mereka difungsikan sebagai penyemangat Keke. Mereka adalah sosok sahabat sejati. Mereka adalah salah satu alasan bagi Keke untuk tetap berjuang melawan kanker jaringan lunak yang dideritanya. Tapi kenapa para penyemangat ini malah justru selalu nangis di sepanjang film? Akibatnya, saya justru tertawa terpingkal-pingkal alih-alih menangis tersedu-sedu. Apalagi tidak ada chemistry diantara keenam sahabat karib ini dan mereka membawakan peran masing-masing dengan datar. Karena lemahnya naskah, kehadiran mereka menjadi terasa tak penting dan ditampilkan sekadar untuk menggugurkan kewajiban saja. Malahan, foto-foto yang muncul saat credit title bergulir justru lebih membuat hati merasa terenyuh.

Ya, sepanjang film kita hanya mengenal siapa itu Keke. Orang-orang terdekat dan berjasa di sekitarnya seakan tak penting untuk diceritakan karena ini adalah kisah tentang Keke. Padahal penonton perlu tahu lebih dalam mengenai sahabat Keke dan keluarga Keke. Tiba-tiba saja, ayah dan ibu Keke dikisahkan berpisah, kakaknya yang bernama Chika terlibat masalah dan air mata pun kembali tumpah. Bagaimana bisa saya ikut terharu dengan perjuangan Keke sementara saya tidak mengetahui latar belakang keluarga dan sahabatnya? Semua dimunculkan secara tiba-tiba. Harris Nizam dan Beby Hasibuan terlalu memaksa untuk membuat Surat Kecil Untuk Tuhan untuk menjadi tontonan penguras air mata yang malah membuatnya menjadi melelahkan dan membosankan. Presentasi visualnya pun tak jauh berbeda dengan apa yang biasa saya lihat di sinetron. Pada akhirnya, Surat Kecil Untuk Tuhan hanya menarik bagi mereka yang mudah tersentuh saat menyaksikan sinetron atau FTV. Jika Anda bukan termasuk golongan tersebut, maka film ini hanya akan membuat Anda tertidur pulas di dalam bioskop.

Poor

Trailer :

2 comments:

  1. Hihihi parah banget ya filmnya.. Tapi untuk saya sih kadang memang sulit juga melepas niatan utk membandingkan mana itu novel dan mana itu film jika sikonnya saya fans beraat.Hehe makanya gw strees full ma film Laskar Pelangi, tim Riri Riza menurunkan tingkat kualitas citra Laskar Pelangi kedepannya.IMO jangan diinget..

    ReplyDelete
  2. Harus dibiasakan untuk memisahkan antara novel dan film ya, moan. Aku pun awalnya seperti itu terhadap Harry Potter, tapi karena memang film dan novel susah untuk bersahabat, maka lupakan versi novelnya ketika menyaksikan versi filmnya. Nikmati saja imajinasi sang sutradara :) Mengenai film Surat Kecil Untuk Tuhan ini kesalahan bukan terletak pada persis atau tidaknya dalam mengadaptasi, tapi kepada dramatisasi yang berlebihan.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch