April 30, 2011

REVIEW : IN A BETTER WORLD


In a Better World, film peraih Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film, mungkin tak sepopuler Biutiful di Indonesia. Bahkan meskipun sudah menggondol Golden Globe sebelumnya, film asal Denmark ini masih dianggap sebelah mata dan kalah populer dibanding Dogtooth, Biutiful bahkan Incendies. Namun setelah saya melihat In a Better World, saya mafhum kenapa para juri Oscar memilihnya sebagai pemenang. Saya juga sama sekali tidak keberatan. Berbalut melodrama yang cukup mendayu – dayu, tersimpan berbagai pesan mengenai kehidupan yang menyentil dan disampaikan dengan tidak menggurui. Ada sesuatu yang bisa didapatkan setelah menyaksikan In a Better World. Tampaknya Susanne Bier tidak hanya ingin ‘memberi’ dunia yang lebih baik kepada para karakter di filmnya, tetapi juga kepada para penontonnya. Bagi yang sudah akrab dengan karya – karya Bier tentu sudah akrab dengan cara penyampaiannya. Sekali lagi, setelah After the Wedding yang memukau itu, Bier menambahkan unsur – unsur kemanusiaan ke dalam In a Better World.

Sejatinya film berjudul asli Hǽvnen ini memiliki plot yang sangat sederhana dengan pengemasan yang sederhana pula. Saya bisa saja menuliskan bahwa ini adalah film mengenai persahabatan dua bocah yang merindukan kasih sayang dari orang tua. Namun tentu tak akan menarik jika saya hanya memberi premisnya saja tanpa memberi gambaran bagaimana plot lengkapnya. Dua bocah yang saya maksud adalah Elias (Markus Rygaard) dan Christian (William Jǿhnk Nielsen). Kedua bocah ini mengalami permasalahan yang berat dalam keluarga yang membuat sisi pemberontak dalam diri mereka muncul ke permukaan. Jika Elias bisa dibilang masih agak ‘lembut’, maka Christian sudah dalam tahap ekstrim. Christian bahkan tak segan memukul seorang bocah yang kerap mengganggu Elias dengan sebuah pompa ban dan mengancamnya dengan pisau. Persahabatan antara Elias dan Christian terjalin saat keduanya mulai menyadari bahwa mereka mengalami nasib yang sama. Christian baru saja ditinggal oleh ibunya yang meninggal karena kanker, sementara kedua orang tua Elias sedang berada dalam proses perceraian. Ayah Elias, Anton (Mikael Persbrandt), absen dalam kehidupan Elias demi menjadi dokter sukarelawan di kamp pengungsi Sudan.


Merasa kesepian ditambah dengan orang tua yang acuh tak acuh membuat Elias dan Christian menjadi semakin dekat dan sering kumpul bareng di gedung kosong di pelabuhan. Seiring berjalannya film, penonton menyadari bahwa sesungguhnya dua sahabat ini memiliki sifat yang bertolak berlakang. Elias yang agak penakut ini sebenarnya memiliki sifat pemaaf, namun sikapnya yang labil membuatnya mudah terpengaruh dengan Christian yang pendendam. Kisah mulai memanas tatkala Anton diganggu oleh orang asing yang kasar. Di hadapan Elias dan Christian, Anton mengajarkan pelajaran moral dengan tidak membalas perlakuan kasar orang asing tersebut dan bersedia memaafkannya. Justru Christian yang tersulut. Bersama dengan Elias, dia merencakan untuk membalas dendam dengan meledakkan mobil orang asing tersebut. Kisah persahabatan Elias dengan Christian ini berjalan paralel bersama kisah Anton di Sudan. Menangani pasien – pasien korban kekejaman Big Man, Anton mengalami sebuah dilema saat dimintai pertolongan Big Man yang terluka parah. Meski sangat membencinya, namun jauh di lubuk hatinya dia tidak tega membiarkannya. Anton berharap mungkin bantuan ini bisa mengubah Big Man menjadi manusia yang lebih baik. Tapi apa benar bisa begitu ? Mungkin saja dunia ini bisa menjadi lebih baik jika semua manusia memiliki sikap seperti Anton. Kekerasan memang tak seharusnya dibalas dengan kekerasan karena pada akhirnya itu tak menyelesaikan masalah.

Tapi sebagai manusia, Anton juga tidak sempurna. Pilihan yang harus dihadapi oleh Anton sangat dilematis karena dia harus memilih antara menyelamatkan nyawa jutaan manusia yang tak berdaya dan memberi dukungan moral kepada anaknya. Pada akhirnya, dia memilih opsi pertama yang justru mengakibatkan Elias terkapar di rumah sakit karena Anton lebih sibuk memikirkan nasib korban Big Man yang tidak dikenalnya ketimbang anaknya sendiri. Disini Bier ingin membuka mata penonton bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah. Konsekuensinya berat jika melalaikan tugas sebagai orang tua. Apa pilihan Anton bisa dibenarkan ? Anton jelas memiliki hati yang mulia, tapi bukan orang tua yang baik. Di tangan Mikael Persbrandt, Anton terlihat manusiawi. Karakternya menjadi menyebalkan semenjak Anton terlihat lebih peduli dengan korban Big Man ketimbang putranya yang sedang terlibat masalah besar. Kekesalan penonton muncul karena Anton tidak paham mana yang lebih penting untuk diprioritaskan. Memang dibutuhkan sebuah tragedi untuk menyadarkan para orang tua semacam ini. Duet maut antara William Jǿhnk Nielsen dan Markus Rygaard terlihat natural serta believable. Sebagai tokoh kunci di In a Better World, keduanya bermain kuat dan cemerlang. Naskah sederhana nan menyentuh racikan Anders Thomas Jensen berhasil diterjemahkan dengan sempurna oleh Susanne Bier ke bentuk film. Pada akhirnya, In a Better World menunjukkan kepada dunia bahwa tidak perlu biaya dan special effects yang jor joran untuk menarik perhatian para juri Oscar. Yang dibutuhkan hanyalah kisah sederhana dengan pesan yang kuat. Itu saja.


No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch