December 11, 2010

REVIEW : THE CHRONICLES OF NARNIA : THE VOYAGE OF THE DAWN TREADER

"So, if there are no wars to fight, then why are we here ?" - Edmund

Setelah memberikan hasil penjualan tiket yang kurang memuaskan dalam Prince Caspian, Walt Disney akhirnya memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang versi film dari The Chronicles of Narnia dan menyerahkan sepenuhnya kepada Walden Media selaku pemegang hak perilisan. Yang beruntung menggantikan Disney dalam memegang hak distribusi adalah 20th Century Fox. Perubahan juga terjadi di kursi penyutradaraan dan tim penulis naskah dimana yang sebelumnya dikomandoi oleh Andrew Adamson kali ini dipegang oleh Michael Apted. Dengan adanya beberapa perubahan ini publik tentu berharap hasil akhir dari The Voyage of the Dawn Treader bisa lebih baik dari film sebelumnya terlebih dengan durasi yang lebih pendek kemungkinan besar Apted akan lebih memfokuskan pada kisah petualangannya.

Bersetting satu tahun setelah serangkaian kejadian di film kedua, Lucy (Georgie Henley) dan Edmund (Skandar Keynes) 'dititipkan' di rumah sepupu mereka yang manja dan menyebalkan, Eustace (Will Poulter) sementara orang tua dan kakak mereka sibuk dengan urusan masing - masing. Tinggal satu atap dengan seseorang yang menunjukkan kebenciannya kepada kita secara terang - terangan tentu bukanlah hal yang menyenangkan dan itulah yang dialami oleh Lucy dan Edmund. Di saat mereka bertiga meributkan tentang keberadaan Narnia, mendadak sebuah lukisan di kamar mereka 'hidup' dan memindahkan mereka secara sekejap ke dalam dunia Narnia. Terdampar di lautan luas, mereka ditolong oleh Caspian (Ben Barnes) yang saat ini telah menjadi raja di Narnia. Eustace yang tak tahu menahu soal Narnia tentu menjadi sangat kebingungan, bahkan Lucy dan Edmund yang sudah akrab saja masih tak mengerti mengapa mereka bisa kembali ke negeri ini. Pada akhirnya mereka bertiga pun bergabung bersama awak kru kapal Dawn Treader, kapal warisan ayah Caspian, untuk membantu Caspian menemukan tujuh bangsawan yang menghilang. Tujuan menemukan para bangsawan ini tidak lain karena mereka memiliki pedang yang bisa menyelamatkan Narnia dari kekuatan magis jahat yang tengah mengintai. Perjalanan tentu tak berlangsung mudah karena sejumlah cobaan menguji kekuatan fisik, mental dan persahabatan mereka.


Apakah The Voyage of the Dawn Treader berakhir memuaskan ? Sayangnya, tidak terlalu. Saya akui memang dibandingkan Prince Caspian, The Voyage of the Dawn Treader jauh lebih enak buat diikuti. Tapi, setiap menit yang bergulir, terutama di paruh awal, masih terasa begitu membosankan meskipun kali ini durasinya 30 menit lebih pendek. Bergerak dengan cepat, ringan dan cerah nyatanya tidak membantu sama sekali. Berkali – kali saya berusaha dengan sangat keras untuk mencegah agar mata saya tidak menutup karena saking mengantuknya. Humor pun bisa dibilang gagal mengenai sasaran, terasa garing, aneh dan terkesan childish, hanya beberapa yang bisa membuat saya menyunggingkan senyum. Keputusan Christopher Markus dan tim untuk ‘menyederhanakan’ isi novel tampaknya merupakan keputusan yang kurang bijak. Bagi mereka yang belum pernah membaca novelnya tentu akan merasa kebingungan terhadap beberapa bagian karena tidak mendapatkan penjelasan yang lebih detail. Ya, saya rasa naskah adalah kelemahan utama dari The Voyage of the Dawn Treader. Naskahnya terasa begitu dangkal dan monoton, sialnya Markus dan tim baru menyadari kesalahan mereka di 30 menit terakhir.


Dewa penyelamat dari The Voyage of the Dawn Treader adalah special effects yang dimanfaatkan dengan sangat baik. Bujet sebesar $150 juta tidak disia – siakan begitu saja, Angus Bickerton dan Jim Rygiel berusaha agar duit sebanyak itu tidak terbuang percuma. Kerja keras mereka berdua bersama tim special fx menghasilkan sebuah visualisasi yang menakjubkan dan sanggup penonton tercengang. Sepanjang film The Voyage of the Dawn Treader memang banyak bergantung pada pemanfaatan special effects, namun tak bisa disanggah bahwa adegan di saat kapal Dawn Treader diserang oleh ‘makhluk misterius’ di penghujung film adalah kinerja terbaik. Two thumbs up. Pujian juga patut disematkan kepada David Arnold atas music score yang indah, megah dan menggugah hati. Berkat dia, setiap adegan di The Voyage of the Dawn Treader yang lembek terasa lebih hidup. Georgie Henley dan Skandar Keynes semakin matang disini. Chemistry antara keduanya menjadi semakin kuat dan pendalaman karakternya juga layak dipuji. Namun yang mencuri perhatian justru Will Poulter yang berperan sebagai sepupu manja nan menyebalkan. Kadang terlihat agak lebay, namun dia sukses membuat penonton gemas dan ingin menceburkannya ke lautan.


Bagaimanapun juga, The Lion, The Witch and The Wardrobe masih tetap menjadi yang terbaik dari seri film The Chronicles of Narnia. Dengan naskah yang lebih berisi dan kompleks, film pertama tersebut tidak jatuh menjadi membosankan malahan sebaliknya. Namun memasuki Prince Caspian, nilai hiburannya menjadi memudar dan walaupun The Voyage of the Dawn Treader terdapat peningkatan, masih belum bisa menandingi apa yang dihasilkan oleh The Lion, The Witch and The Wardrobe. Overall, hanya pemanfaatan special effects super canggih dan teknologi 3D sajalah yang menjadi kekuatan dari film ini. Meski sudah berusaha untuk tampil lebih cerah dengan alur yang cepat, pada kenyataannya The Voyage of the Dawn Treader masih menjadi film yang membosankan terkecuali di 30 menit terakhir.

Nilai = 6/10 (Acceptable)


2 comments:

  1. to be honest gue tau film ini ada pas nonton film sampah ala scary movie berjudul epic movie. belum ada niat nonton film originalnya. mengingat masih berseri hehe.... kecuali harpot pastinya. entah kenapa gue punya kebiasaan liat film seri kalo udah selesai semua hahaha for example scream, fast furious, dll

    ReplyDelete
  2. Emang agak bingung ngikutin ceritanya. Tapi cukuplah buat film fantasi biasa

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch